Aroma 1: Aku Terlalu Jauh Darimu

188 2 0
                                    


Padang, 3 Februari 2009

Terjebak di tengah-tengah entah cairan apa, mengelilingiku, mengepung, membuat aku tak bisa keluar karena aroma menyengat yang dihasilkannya itu langsung masuk ke dalam otakku. Entah datangnya dari mana. Warnanya hitam pekat, mampu memunculkan kerlip ketika cahaya menimpanya, meskipun sedikit mengandung minyak, tetapi tidak begitu terlihat. Dan, tak ada cahaya di sana, gelap, tapi juga bukan malam. Sangat hitam, suram, dan menakutkan.

Tidak ada celah untuk aku keluar menjauh dari cairan sialan itu. Aku tak bisa terus-terusan menutup hidung. Aroma itu menusuk menembus otakku dan membuat apa yang aku lihat menjadi bergoyang, memunculkan beragam bentuk aneh yang mulanya mengecil, lambat laun menjadi besar dan aku tak bisa menopang tubuhku sendiri. Kakiku tak berjalan tetapi bergerak kanan kiri depan belakang. Tiba-tiba saja kunang-kunang mengerubungi pandanganku. Aku merasa tubuhku lebih ringan dan tak bergerak kembali. Aroma itu semakin menusuk hingga membuat napasku tersengal dan aku tak merasakan apa-apa lagi. Tidak, itu bukan sarkasme, tapi untungnya itu hanya mimpi.

***

Aku kembali mendengar cerita yang sama. Tidak pernah membosankan, karena ia tahu bagaimana menciptakan obrolan masa lalu agar tetap terasa baru. Selembar kertas yang sudah berwarna coklat ini masih tetap berada di tanganku. Bukan aku belum selesai membacanya, tetapi terkagum kata demi kata yang berisi kalimat sederhana tetapi mampu membentuk prosa dan menjadi satu cerita menarik.

Aku seperti mengenal bagaimana karakter sang penulis dan aku tahu betul seberapa bermaknanya dalam hidup Vendra. Aku melihat bagaimana ia menceritakan saudara sedarahnya, Fauzi Saputra, melalui beberapa bukti kenangan yang sekarang ia bawa ke Jakarta.

Ia pernah memintaku untuk menjaga buku catatannya. Banyak berisi cerita kenangan masa kecilnya bersama Fauzi. Aku tahu catatan itu hanya sebatas kenangan seorang kakak bersama sang adik, tetapi tetap saja itu sangat berharga. Jika aku memegang sebentar pun, keinginan mengetahui dan membukanya pasti akan ada. Aku menolak dan ia kembali menarik tangannya saat menyodorkan agenda itu kepadaku.

Kover depannya pernah terbuka sedikit, dan maaf, dari jarak yang tidak jauh aku melihat sekilas lembar depannya tertulis '2007' dan beberapa coretan lainnya yang entah tidak terbaca jelas.

Secepat itukah Vendra mulai mengabadikan kenangannya? Harusnya aku juga begitu ya? Agar aku tahu masa lalu mana yang menyedihkan dan menyenangkan. Aku merasa, bahwa aku juga mempunyai kenangan yang perlu diabadikan. Namun, tanganku ini sulit menulis. Eh bukan, tapi otakku yang tidak bisa menggerakkan tangan untuk merangkai kata. Coba saja aku bisa, pasti sudah berapa buku yang penuh oleh curhatan hatiku. Sepertinya itu cara efektif agar tidak terus-terusan memendam perasaan. Tapi... Bagaimana kalau buku itu terbaca orang? Mereka tahu semua apa yang aku rasakan. Tahu siapa orang yang aku benci dan siapa yang aku sayang. Apa harus memilah-milah? Perihal baik-baik saja yang ditulis? Tidak bisa! Perkara yang membelenggu perasaan sangat banyak. Tidak bisa dipilah-pilah begitu.

Hingga sekarang buku catatan milik Fauzi tidak berada di tangan siapa pun. Aku pernah melihatnya di atas kotak bersama tumpukan kertas, buku, dan barang-barang kecil lain saat ia sedang merapikan kamarnya. Terlihat kertas-kertas yang sudah berwarna coklat, sepertinya barang-barang itu sudah tersimpan lama. Aku tahu betul, ia tidak akan pernah menghilangkan satu barang pun jika itu memang berharga baginya. Mungkin semua yang bermakna baginya disimpan rapih dalam kotak itu dan tidak ada yang tertinggal di Padang. Sifat perfeksionisnya terkadang mampu menyelamatkan hal-hal kecil. Tak salah jika kopi menjadi salah satu minat di dalam dirinya.

Malam ini aku mendengar kembali kerinduannya dengan Fauzi. Aku tahu sebenarnya kau menginginkan kedekatan bersamanya, bukan?

Dua cangkir kopi pahit seduhanku kali ini mengobati kerinduannya dengan Fauzi. Ia tidak melakukan kesibukan lain malam ini, hanya ada aku, dia, dan dua cangkir kopi buatanku.

Monolog KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang