Aroma 7 : Terima Kasih, Ve

14 0 0
                                    

KOPNAT sudah terlihat ramai dengan beberapa orang yang tidak asing bagiku. Mereka para roaster, petani kopi, eksportir kopi, barista yang sering aku temui di beberapa kedai, dan pecinta kopi yang mukanya tidak asing bagiku. Pelataran kedai sudah ramai dengan beberapa pecinta kopi yang menunggu acara cupping dimulai.

"Aku kira kau tidak datang," kata Grey yang tiba-tiba sudah berada di sampingku. Tanpa jawaban, kuhanya tanggapiia dengan mengangkat alis kedua mataku pelan. "Untung aku tidak terlambat, masih tiga puluh menit lagi kan ya," lanjutnya sambil menengok ke arah pintu kedai. Beberapa detik kemudian sudah mengarahkan pandangannya padaku lagi.

"Har, bisa ajarkan aku bagaimana cara mencicipi rasa kopi dari acara cupping nanti?" Tanyanya dengan kerut mata yang menunjukkan permohonan kuat.

"Ya, buang dulu permen karetmu," kataku sedikit menaikkan kepala. Kebiasaannya mengunyah permen karet kerap kali dilakukan saat berada di perjalanan. Agar lebih santai dan mengurangi kecanggungan katanya.

"Tapi ini baru," ujarnya dengan nada bantahan khasnya yang sedikit memonyongkan bibir. Aku suka ketika ia berekspresi seperti itu.

"Kalau mau coffee cupping, mulut harus netral tiga puluh menit sebelumnya. Jadi, mau tidak mau harus buang permen karetmu itu, lalu minum air putih. Buat mulutmu senetral mungkin," kataku dengan nada yang sedikit meninggi. Lalu, ia mulai mengeluarkan bungkus permen karet yang ada di saku celananya. Ia selalu tahu aturan ketika mengunyah permen karet. Selalu dibungkus ketika membuang. Ketika permen karetnya sudah terbuang kami memasuki kedai. Sudah terlihat bincang-bincang beberapa pelaku kopi dan terlihat Pak Surya masih mengobrol bersama roaster. Selain itu, meja untuk upacara cupping juga masih ditata oleh beberapa server kedai dan barista, termasuk Vendra. Ruangan juga tak ada wewangian parfum yang menyengat. Memang itulah aturan yang harus dilakukan. Aroma parfum yang menyengat bisa mengganggu konsentrasi cupping.

Aku melangkah mendekati Pak Surya untuk menyapanya sebentar. Grey mengerti apa yang akan aku lakukan, ia langsung menuju pada meja cupping untuk sekadar melihat-lihat atau mungkin menyapa Vendra.

"Untung kau datang. Ke mana saja, saya hubungi tak pernah bisa. Bagaimana dengan kopi Petung? Menu kopi tiga bulan ini rasanya kurang memuaskan pelanggan. Banyak yang merekomendasikan arabika Petung. Saya rasa itu cocok untuk tiga bulan berikutnya. Saya menunggumu untuk tahu hasilnya," tanya Pak Surya usai aku mengajaknya bersalaman.

"Bermasalah, Pak. Aku masih belum bisa menemukan cara menghentikan hama," kataku lirih. Aku terpaksa mengatakannya. Tampak mimik mukanya berubah. Seperti raut muka kecewa.

"Ya sudah. Kita lihat dari sesi cupping ini dulu. Mungkin ada yang cocok menurutmu untuk menjadi menu selanjutnya," katanya kemudian.

"Ada jenis darimana saja ini, Pak?"

"Ada enam singel origin lima arabika dan satu robusta, semuanya dari tanah Jawa Tengah. Di-roasting dua hari lalu. Arabika Bongso dan Dieng Batur dari Lereng Sumbing, Wonosobo. Arabika Posong, Tlahap, dan Wonotirto dari Lereng Sindoro, Temanggung, sedangkan robusta dari Pekalongan, namanya kopi Owa Jawa. Saya ingin uji coba robusta dari pekalongan itu, Har. Rekomendasi roaster yang saya kenal di Pekalongan, katanya lumayan enak," ujarnya sambil menghitung dengan jarinya. Hanya ada anggukan dariku.

"Har," katanya. Aku kembali mengarahkan mataku padanya untuk mendengar apa yang ingin ia katakan lagi.

"Omset pendapatanku akhir-akhir ini menurun," aku menyimaknya. Suaranya ditekan pelan agar tidak terdengar oleh orang di sekitar kami. "Mungkin karena menu kopi tiga bulan ini masih kurang khas karakternya. Kalau tiga bulan nanti kita ambil lima singel origin bagaimana ya, Har, agar pelanggan lebih banyak mencicipi kopi kita," lanjutnya.

Monolog KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang