Aroma 6 : PERASAAN

26 1 0
                                    

AKU kecewa. Namun aku tidak bisa marah di depannya. Lidahku selalu terasa kaku ketika sudah menemukan mata tuanya. Aku ingin marah padanya tetapi aku juga ingin menangis melihat tubuhnya yang semakin rapuh. Aku memilih diam daripada aku harus marah dan akhirnya menyesal.

Aku kembali ke Jakarta. Melupakan rencanaku di sana. Meninggalkan penelitianku yang masih sangat awal. Aku tak ingin diganggu oleh siapa pun. Aku membutuhkan kesendirian.

Aku melihat kotak milik ibu yang sekarang berada di pangkuanku. Instingku mengatakan ada beberapa yang perlu aku ketahui mengenai barang-barang di dalamnya. Ayah sendiri juga menyuruhku untuk membawa dan menyimpannya.

Perjalanan yang tidak direncanakan ini membuat aku terpaksa memilih perjalanan siang hari. Aku hanya memandangi kotak ini dan belum berselera untuk membukanya. Bayanganku masih pada ayahku sendiri yang sudah menyakiti hati ibu.

Semakin aku diam dan melihat kotak ini semakin aku mengingat wajah ayahku yang jelas aku tahu ia merasa bersalah. Entah sekarang perselingkuhannya masih tetap dilakukan atau tidak. Aku tidak mau tahu lagi.

Sungguh aku tidak menikmati panorama perjalanan. Meski bentangan sawah lebih jelas terlihat, tetapi mataku menembus entah ke mana.

Aku merindukanmu, Bu. Boleh aku menangis? Aku tahu kau tidak pernah melarangku menangis, tetapi aku sendirilah yang masih mempunyai mindset bahwa laki-laki tak boleh menangis.

Sekarang aku merasa sesak karena merindukanmu. Aku terlalu sakit menahan tangisan yang mencekik tenggorokan ini. Menelan ludah saja tidak cukup untuk menghilangkan rasa sakit ini, Bu. Mengapa kau meninggalkanku dengan banyak kejutan seperti ini? Untuk membayar hutangku saja aku belum mampu. Kini harus mendengar masalahmu yang bisa dikatakan sudah ranum.

Tetesan air mata ini tetap saja tertahan. Aku sakit. Tolong keluar dan buat aku lega. Meski untuk sementara. Kereta sudah tiba di stasiun Pasar Senen dan aku pusing melihat lalu lalang banyak orang. Aku ingin cepat sampai di rumah. Kantong mataku sudah berat. Aku ingin mengeluarkan air mata ini tanpa terlihat oleh siapa pun.

***

Aku tahu mata Vendra sudah memperhatikanku sebelum aku menginjakkan kaki di teras. Ia tidak bekerja hari ini dan aku datang tepat di waktu petang. Tidak kaget jika akan bertemu dengannya di teras rumah.

"Berhasil mengatasi hama dalam waktu yang secepat ini? Apa rasa kopinya bisa kau kembalikan seperti semula?" Tanyanya ketika aku sudah berada di depannya. Aku diam. Aku hanya mengeluarkan ponsel dan meletakkan di atas meja yang tidak jauh dari cangkir kopi Vendra. Aromanya bisa aku tebak, kopi Aceh gayo yang sedang ia nikmati.

"Lupakan rencanaku itu. Kau gunakan biji kopi yang ada dulu saja."

"Ada apa?" Tanyanya ketika aku sudah meletakkan ponselku.

"Tolong simpan ponselku. Jangan ganggu aku. Aku masih tidak berselera menjelaskan apa-apa."

Aku melihat raut mukanya yang tidak mengerti. Aku tahu ia bertanya mengenai apa yang terjadi pada diriku. Aku tidak ingin mengatakan hal itu dulu. Aku ingin berdiam diri dengan kekecewaanku.

***

Aku tidak tahu berapa hari aku mengurung diri di kamar. Tidak ada kopi, tidak ada panggilan, tidak ada musik, tidak ada obrolan, tidak ada komunikasi, dan hanya ada rokok yang puntungnya tergeletak di mana-mana. Kotak ibuku yang aku bawa pun belum ingin aku bongkar. Masih tergeletak di pojok kamar.

Entah mengapa ketika aku keluar kamar untuk mengambil makanan atau ke kamar mandi, rasanya aku ingin membuang kaleng berisi biji kopi yang ada di dapur bar itu. Aku seperti tidak berhak berada di sana. Berada di balik bar untuk meng-cupping kopi dan mengatakan pada barista bahwa kopi ini istimewa. Semakin aku mencium aroma kopi semakin aku teringat pada ibu dan muncul kekecewaan karena belum membuatnya bahagia.

Monolog KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang