Wattpad Original
Ada 10 bab gratis lagi

Part 2

79.9K 5.7K 122
                                    

Darrel duduk di kursi kerjanya dengan gusar. Sudah kesekian kalinya ia menelepon seseorang, namun tidak juga diangkat. Ia sangat tidak suka ketika seseorang mengabaikannya, terlebih itu adalah orang yang sangat penting di hidupnya.

Wajahnya berubah menjadi cemas, akhirnya ia memutuskan untuk beralih menelepon Alexis.

Panggilan pertama tak terjawab.

Panggilan kedua, Darrel semakin kesal dibuatnya.

Hingga panggilan ketiga membuat ia bisa bernapas sedikit lega.

"Sedang apa kau?" tanya Darrel tanpa basa-basi.

Terdengar helaan keras di seberang sana.

"Aku sedang apa itu bukan urusanmu. Ada apa? Kau mengganggu pekerjaanku, Bodoh!" ujar wanita itu dengan kesal.

"Bukannya ini jam istirahat?" Dahi Darrel mengerut.

"Pekerjaanku itu tak memiliki jadwal istirahat yang tetap sepertimu. Bukankah aku sering mengatakan itu?!" Suara Alexis melengking di seberang sana, pertanda bahwa perempuan itu sudah sangat kesal.

"Okay, okay ... whatever, ada hal penting yang ingin kukatakan."

"Ada apa?" Suara Alexis berubah lebih tenang.

"Bisa kau hubungi Melanie? Sudah berkali-kali aku meneleponnya, namun tidak ada jawaban. Aku khawatir ia masih marah padaku."

Terdengar decakan pelan di seberang sana.

"Hanya itu?"

"Tidak, satu lagi. Katakan padanya aku menunggu dia di apartemenku malam ini."

Alexis bergumam malas.

"Baiklah, kalau begitu segera hubungi aku jika kau sudah mendapatkan kabar tentangnya."

Kemudian Darrel mematikan telepon begitu saja.

Tipikal Darrel Kneiling, tidak pandai berbasa-basi dan sangat pantang mengatakan terima kasih apalagi dengan Alexis.

***

Alexis kembali memasukkan ponselnya ke saku jeans-nya.

Ia menepukan tangan dua kali hingga menyita perhatian beberapa orang di sana.

"Baiklah, kita istirahat dulu tiga puluh menit untuk makan siang!" katanya dengan lantang lalu orang-orang itu langsung mengikuti instruksi Alexis.

Alexis melangkah menuju sofa yang ada di studio photoshoot tersebut.

Ia menyandarkan punggungnya sambil kembali membuka ponselnya. Mencari kontak Melanie Willhide, kekasih Darrel Kneiling.

"Halo Melanie."

"..."

"Iya dia mengkhawatirkan keadaanmu."

"..."

"Okay, aku berharap kau segera menghubungi lelaki bodoh itu agar dia tak menggangguku lagi."

"..."

"Sama-sama."

"..."

"Tentu. Dan oh, dia bilang bahwa dia menunggumu malam ini di apartemen."

"..."

"Tentu, sampai jumpa."

Alexis meletakan ponselnya begitu saja di atas meja. Hingga ia merasakan gerakan di sofa yang ia duduki.

"Apa kau baik-baik saja?"

Alexis menoleh, menatap teman wanita satu-satunya yang ia miliki. Camellia Parker.

"Iya. Ada apa?"

Camellia menggeleng, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa.

"Akhir-akhir ini kau terlihat kacau. Aku hanya berasumsi bahwa kau sedang memiliki masalah."

Kedua alis Alexis terangkat.

"Itu hanya perasaanmu saja."

"Kupikir juga begitu, tapi aku bisa melihat ada yang berbeda denganmu beberapa hari terakhir."

Alexis menyunggingkan senyumnya.

"Aku selalu menunggu hingga kau siap bercerita. Kau tahu?"

Alexis mengangguk. "Well ... sebenarnya aku sedang memiliki masalah dengan ibuku."

Camellia menegakkan duduknya.

"Bagaimana bisa?"

"Kau tahu bahwa ia tak menyukai pekerjaanku sebagai photographer. Aku anak satu-satunya dan ia ingin aku menjadi penerus ayahku."

Camellia mengangguk sambil mendengarkan cerita Alexis dengan seksama.

"Beberapa hari yang lalu kami bertengkar hebat. Ia sepertinya kecewa padaku karena aku sedikit keras padanya."

Camellia tersenyum tipis lalu menepuk bahu Alexis pelan berusaha menyalurkan kekuatan padanya.

"Kau tahu, kadang seseorang membutuhkan waktu untuk mengerti apa yang kita inginkan."

Alexis mengangguk setuju. Ia menghela napas dalam kemudian beranjak dari duduknya.

"Aku akan mencari makan siang. Kau mau ikut?"

Camellia mengangguk. "Tentu!"

Mereka lalu berjalan bersama keluar dari studio.

***

Darrel melangkah menuruni tangga, ketukan sepatu mahalnya menarik perhatian Zoe dan Marius yang sedang bersantai di ruang keluarga.

Mata mereka mengikuti gerakan Darrel.

"Darrel, where are you going?"

Darrel menghentikan langkahnya. Ia menatap kedua orang tuanya.

"Em ... aku akan menemui Melanie."

Zoe tertegun, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik meskipun di usianya yang tak muda lagi mengedipkan matanya.

"Bukankah kau baru saja pulang bekerja?"

Darrel mengangguk.

"Mom, it's okay. Aku tak akan pulang larut malam."

"Tapi—"

"Zoe, biarkan saja ... Darrel tahu bagaimana tanggung jawabnya."

Darrel tersenyum lebar.

"Daddy benar."

Zoe melirik Marius jengah. Like father, like son.

"Baiklah, hati-hati di jalan ...."   

Darrel mengangguk. "Thank you, Mom, aku pergi. Bye, Dad!"

Marius melambaikan tangannya. "Bye, Son!" ujarnya.

"Harusnya kau mendukungku tadi," gerutu Zoe, sambil membuka halaman majalahnya lagi.

"Zoe, biarkan saja Darrel melakukan apa yang ia inginkan. Maksudku, dia sudah dewasa dan bukan anak-anak lagi."

"I know, Marius. Tapi hal yang tak aku sukai hanyalah ia yang berhubungan dengan wanita itu."

"Melanie maksudmu?"

Zoe mengangguk.

"Menurutku dia wanita yang baik. Dan kita juga pernah bertemu dengannya, bukan?"

Zoe kembali mendengus. "Kau tahu, perasaan seorang ibu tak pernah keliru ...."

Marius terkekeh, lelaki itu lalu menarik Zoe ke dekapannya.

"Kita lihat saja nanti."

Mr. RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang