Wattpad Original
Ada 7 bab gratis lagi

Part 5

62K 5.1K 45
                                    

Alexis mengikat rambut panjangnya dengan asal. Sementara Darrel sedang sibuk dengan ponselnya.

Alexis kemudian melepas jaket denimnya dan kini ia hanya mengenakan kaos berwarna putih polos yang cukup transparan hingga bra hitamnya tercetak dari balik kaos tersebut.

Darrel menyimpan ponselnya ke saku celana. Ia kembali menatap Alexis, mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, namun ekspresinya langsung berubah saat melihat Alexis yang sedang mengedarkan pandangannya ke sekitar restoran dengan ekspresi datar.

"Lex, pakai lagi jaketmu."

Alexis langsung menatap Darrel. Wajah wanita itu menjadi bingung. "Kau tidak melihatku yang sedang kepanasan?"

"Perlukah aku meminta pelayan untuk membawakan kipas ke sini?"

Mata Alexis menyipit. "Kau gila?"

"Aku memang gila semenjak berteman denganmu, jadi kumohon pakai kembali jaketmu."

"Darrel, kau benar-benar ingin bertengkar denganku hanya karena masalah aku yang melepas jaketku?"

"Bajumu transparan, Bodoh!"

"So?"

"So?" tanya Darrel mengulang ucapan Alexis, namun lelaki itu akhirnya mendengus malas. "Baiklah, terserah."

Alexis mencebikkan bibirnya, ia beralih membuka buku menu yang sudah diantarkan oleh pelayan. Namun, sepertinya Darrel masih tidak bisa tenang melihat Alexis yang tidak kunjung memakai jaketnya sementara beberapa kali ini memergoki lelaki yang diam-diam melirik ke arah Alexis.

"Lex, kumohon pakai jaketmu sekarang."

Dengan keras Alexis mendengus, ia menatap Darrel kesal. "Dengar, ya, Tuan-Sok-Pengatur. Aku bukan kekasihmu jadi kumohon tutup mulutmu!"

"Kalau begitu, anggap saja sekarang aku adalah kekasihmu."

Mata Alexis melebar. "Pardon?"

Darrel tidak memedulikan respons Alexis lelaki itu beranjak berdiri, mengambil jaket Alexis lalu memakaikannya untuk menutupi bagian belakang tubuh Alexis.

Dengan kesal Alexis mendengus. "Kau sungguh sangat tidak jelas."

Darrel hanya mendengus dengan senyum tipis di bibirnya, sementara Alexis yang melihat senyum itu dengan cepat mengalihkan tatapannya ke arah lain sebelum tatapannya bertemu dengan mata Darrel.

"Oh ya, aku harusnya menanyakan ini sejak tadi."

Dahi Darrel mengerut. "Apa?"

"Bagaimana bisa kau menjadi bos perusahaan pakaian dalam itu. Maksudku, apa motivasimu melakukan itu?"

"Aku suka berbisnis, dan aku berpikir bahwa terjun di bisnis pakaian dalam bukanlah ide yang buruk."

Alexis menyeringai. "Kau sedang tidak berusaha untuk menggoda model-model pakaian dalam itu, kan?"

Seketika Darrel tergelak lebar. "Apa? Kau pikir aku semesum itu?"

Alexis melipat tangannya di dada. "Tidak ada yang tak mungkin, bukan?"

"Aku tidak tertarik dengan model-model pakaian dalam itu. Lebih baik aku melihatmu dengan baju yang transparan dari pada melihat mereka."

Alexis mencebikkan bibirnya jijik.

Darrel terkekeh. "Sebenarnya aku hanya ingin membantu keuangan perusahaan itu. Kebetulan aku mengenal baik pemiliknya."

"Tapi yang aku tahu perusahaan itu baik-baik saja masih beroperasi seperti biasa."

Darrel mengedikkan bahu. "Well ... kau tak akan pernah tahu apa yang sebenarnya dialami perusahaan jika kau tidak terlibat di dalamnya."

Wajah Alexis langsung berubah menjadi malas, ia sadar akan ke mana arah pembicaraan ini.

"Jangan coba-coba memancingku."

Darrel terkekeh pelan. "Mengapa kau tidak coba turuti kemauan orang tuamu?"

"Maksudmu bekerja di perusahaan? Oh, terima kasih, Mr. Kneiling. Aku tak tertarik sama sekali."

Dahi Darrel mengerut. "Kau memang tak pernah berubah."

"Memang."

Darrel mendengus sambil tersenyum kagum. "Kau memiliki pendirian dan komitmen yang kuat, itulah alasanku menyukai dirimu meskipun terkadang kau sangat menyebalkan."

Hampir saja, hampir saja Alexis tenggelam oleh kata-kata Darrel, namun untungnya kalimat terakhir yang Darrel katakan segera menyadarkannya. Darrel hanya menyukai dirinya sebagai seorang teman, tidak lebih.

"Apa kau masih ingat bahwa dulu aku pernah mengatakan jika aku sangat tak ingin memiliki teman sepertimu?"

"Tentu saja."

Darrel tersenyum miring. "Well ... aku tarik semua kata-kata itu dan sekarang aku merasa beruntung memiliki sahabat sepertimu. Namun, aku masih belum membayangkan bagaimana jika aku memiliki istri seperti dirimu." Lalu lelaki itu tergelak kencang.

Sementara Alexis hanya bisa menatap lelaki itu kesal lalu memukulnya dengan buku menu hingga keduanya baru sadar bahwa mereka belum memesan apa pun karena terlalu larut dalam obrolan yang tidak jelas.

***

Darrel melangkah masuk ke apartemennya. Sudah beberapa hari ia tidak datang ke sini dan tidak menemui Melanie.

Wanita itu bahkan sangat sulit dihubungi. Perasaannya menjadi gusar, Darrel pikir bahwa sudah cukup, ia akan berbicara dengan Melanie dan memperbaiki semuanya agar mereka kembali seperti dulu lagi.

"Mel ... are you there?"

Lelaki itu membuka pintu kamar. Namun, tak menemukannya di sana. Ia sudah memeriksa ke segala ruangan, tetapi tak menemukan wanita itu.

Karena lelah akhirnya lelaki itu memutuskan untuk berbaring di ranjangnya.

Ia mengambil ponselnya dan berusaha kembali menghubungi wanita itu untuk kesekian kalinya.

Namun, tak ada jawaban.

Darrel menghela napas panjang lalu lelaki itu mengusap wajahnya.

Matanya menelisik ke sekitar kamar. Saat melihat meja rias yang kosong wajahnya langsung mengerut. Ada yang aneh.

Darrel beranjak memeriksa lemari pakaiannya.

Kosong.

Tak ada satu pun pakaian Melanie yang tersisa hanya ada beberapa pakaian miliknya saja di dalam sana. Darrel panik, lelaki itu berlari ke kamar mandi.

Kosong.

Semua barang-barang Melanie tak ada di kamarnya.

Dada Darrel berdebar panik. Lelaki itu langsung mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang.

"Alexis, She's gone," ujarnya tercekat lalu langsung mematikan ponselnya begitu saja dan melemparnya keranjang.

Darrel mengacak rambutnya dengan kasar. Entah mengapa di saat seperti ini ia selalu tak bisa berpikir dengan jernih, Darrel bingung dan hanya Alexis yang bisa membuat dirinya berpikir jernih dan bisa bertindak. Itulah sebabnya ia akhirnya menghubungi Alexis, Darrel membutuhkan Alexis untuk menemukan Melanie.

Mr. RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang