Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi

Part 11

59.8K 4.9K 47
                                    

Bagi Alexis, jatuh cinta kepada sahabatnya sendiri adalah hal yang salah. Cinta memang normal, namun Darrel bukanlah orang yang tepat.

Well, peristiwa ini mungkin sangat klasik. Jika kau memiliki sahabat lawan jenis, dan kau jatuh cinta padanya itu adalah hal yang wajar.

Kenapa? Karena kau telah banyak mengenal dirinya lebih dari siapa pun.

Namun, permasalahannya adalah, apakah dia memiliki perasaan yang sama denganmu?

Jika tidak, maka itu adalah bencana.

Dan jika iya, bersiaplah karena hal yang lebih buruk mungkin akan terjadi nantinya.

Sebenarnya, jatuh cinta kepada sahabat sendiri bukanlah hal yang buruk. Hanya saja, akan banyak hal yang berubah dan harus di korbankan. Dan itulah yang Alexis pikirkan. Ia tak mau egois dengan mengakui perasaannya kepada Darrel. Ini bukan soal gengsi, hanya saja apa pun bisa terjadi dan berubah jika kau mengatakan perasaanmu yang sebenarnya. Alexis tidak mau mengorbankan persahabatannya hanya karena perasaannya kepada Darrel, dengan melihat Darrel bersama Melanie itu cukup menyadarkan Alexis bahwa ia memang harus menghilangkan perasaannya kepada Darrel, dengan begitu maka persahabatannya bersama Darrel akan baik-baik saja.

Namun, hal yang tidak pernah dibayangkan terjadi, Melanie yang tiba-tiba pergi membuat Darrel sendirian dan mau tak mau Alexis menjadi satu-satunya orang yang Darrel butuhkan. Sesungguhnya Alexis membenci situasi seperti ini, ia takut tanpa sadar Darrel akan kembali merobohkan tembok pertahanan yang selama ini ia bangun.

"Aku kadang berpikir, mengapa dulu saat kita masih kecil kita sering bertengkar. Apakah kau tahu alasannya?" tanya Darrel lalu menggigit potongan piza terakhirnya.

Alexis meneguk soft drink-nya lalu mengedikkan bahu ringan. "Entah, kau kan memang sangat menyebalkan."

Kedua Alis Darrel terangkat. "Bukankah kau yang sering cari gara-gara denganku?"

"Itu karena aku suka mengganggumu, sangat menyenangkan saat melihatmu marah."

Darrel mencebikkan bibirnya.

"Tapi ngomong-ngomong, kapan ya terakhir kali kita bertengkar?" tanya Darrel.

"Bukankah setiap hari kita selalu bertengkar?"

"Bukan itu maksudku, Bodoh. Maksudku, ketika kita benar-benar marah satu sama lain kemudian kita bertengkar. Kapan kira-kira?"

Alexis menggeleng pelan. "Aku lupa."

Darrel mengerucutkan bibirnya sambil berpikir.

"Kalau begitu, kapan terakhir kali kau memendam amarah padaku?"

Dahi Alexis mengerut. "Mm ... itu sudah lama sekali, namun aku masih mengingatnya sampai sekarang."

"Benarkah?"

Alexis mengangguk. "Aku sangat marah padamu ketika kau membuang semua stok permen karet milikku."

Darrel lalu tergelak lebar. "Aku ingat! Kau bahkan tak mau berbicara denganku hampir satu minggu."

"Kau benar-benar sangat menyebalkan saat itu."

Darrel terkekeh geli.

"Lalu bagaimana denganmu?"

"Kapan terakhir kali aku memendam amarah padamu?"

Alexis mengangguk.

Mata Darrel bergerak menelusuri ruang kerjanya. "Sepertinya tidak pernah."

"Aku tahu bahwa itu bohong."

Darrel tertawa pelan. Lelaki itu kemudian kembali menatap Alexis yang duduk di sampingnya.

"Kau benar-benar ingin tahu?"

"Tentu saja."

"..."

Darrel diam sejenak untuk menatap wajah Alexis dengan raut wajah datar. Sementara Alexis menunggu Darrel mengatakan sesuatu.

"..."

"Itu sudah lama sekali."

Mata Alexis memicing. "Apa yang aku katakan?"

Darrel menutup mulutnya, menatap mata Alexis lekat. Lelaki itu kemudian menghela napasnya berat.

"Waktu makan siang sudah habis. Aku akan kembali bekerja." Darrel beranjak berdiri, merapikan lengan kemejanya yang tergulung sebatas lengan tangannya.

"Darrel, kau belum menjawabnya."

Darrel terkekeh pelan sambil merapikan dasinya.

"Lain kali saja, Alexis."

Alexis berdecak kesal. "Baiklah, kau berhutang cerita padaku."

Darrel tersenyum lebar lalu mengelus kepala Alexis. "Tampaknya kau sudah sangat tua hingga kau mudah pikun seperti ini."

Alexis menepis tangan Darrel dari kepalanya. "Kudoakan kau cepat tumbuh uban akibat tumpukan kertas-kertas itu!" ujar Alexis sambil menatap meja kerja Darrel.

Darrel tertawa. "Jahat sekali, aku bahkan belum menikah."

"Tak ada yang mau menikah denganmu, Bodoh!"

"Ya sudah, kan masih ada dirimu."

Alexis mengerutkan hidungnya jijik. "Memangnya aku mau?"

"Tentu saja." Lalu Darrel tertawa.

"In your dream, Mr. Kneiling!"

"My pleasure, Ms. Pattinson."

Alexis lalu melempar wajah Darrel dengan bantal sofa. Sementara lelaki itu tertawa lebar melihat pipi Alexis yang bersemu merah.

Mr. RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang