Yaelah, Siapa Sih Dekan?

4.6K 281 40
                                    


Yap, Dekan. Siapa sih dia? Kenapa hampir seharian ini, nama itu terus yang Aren dengar? Percaya atau gak, sepanjang perjalanan Aren dari rumah sampai ke sekolahnya, nama asing itulah yang berputar di benak dan telinganya layaknya kaset rusak. Oh, bukan hanya itu, mereka juga menyebut nama itu diiringi pekikan histeris.

"Asli, Dekan ganteng parah!" teriak salah satu cewek dengan seragam SMP seraya menyodorkan ponsel ke teman di sampingnya.

"Fix! Idaman gila!" Tak kalah histerisnya, teriakan temannya itu pun berhasil membuat semua penghuni angkot menoleh ke arah mereka. Namun, bukannya marah, salah satu ibu-ibu yang duduk di dekat pintu justru ikut nimbrung dengan kedua anak SMP itu.

"Oh, si Ryandra Dekan itu ya? Ya ampun, Neng, Ibu mah pengin pisan punya mantu kayak dia."

Yah, kurang lebih begitulah gambaran pagi Aren. Itu belum termasuk bagaimana hebohnya gosip ibu-ibu kompleks rumahnya dengan tukang sayur langganan mereka, yang bertengger manis di samping rumah Aren. Walaupun sekilas, Aren masih bisa mendengar nama si Dekan-Dekan itu juga disebut di dalam pembicaraan mereka.

Oh, c'mon! Apa si Dekan itu gantengnya ngalahin pangeran dari Arab? Oh, atau setara Shawn Mendes? At least, harusnya sih standard Chris Hemsworth!

Yah, walaupun Aren gak suka−ralat, dia benci, sama apa pun yang berhubungan dengan dunia keartisan, tapi tetap saja Aren suka menonton film dan mengetahui beberapa aktor yang menurutnya tampan. Ah, sudahlah jangan bahas soal artis, membicarakannya saja sudah membuat emosi Aren memuncak.

"AREN!!! ASTAGA, GUE NYARIIN LO KE MANA-MANA, TAUNYA LO DI SINI!"

Kalau Aren tidak cepat-cepat menyangga tubuhnya pada kursi kayu yang sedang ia duduki, dapat dipastikan, dirinya sudah terhuyung dan mendarat mulus di lantai koridor kantin. Sahabatnya satu ini memang selalu saja rusuh di mana pun dan kapan pun. Belum lagi toa mulutnya itu. Sumpah, Aren berani jamin, kalau ada kontes toa masjid terbaik, Aren tak segan-segan mendaftarkan sahabatnya itu.

"Rem, lo gak bisa apa dateng-dateng kalem gitu? Lo kan cewek! Grasak-grusuk amat sih?!" sungut Aren.

Bukannya mendengarkan nasehat Aren, cewek itu malah kembali berteriak, "Ih Aren!!! Nama gue kan RE-MI-YA. Enakan tuh kalo lo panggil gue, Miya, bukan rem-rem gitu!"

Aren mengedikkan bahunya acuh. "Bodo amat. Lagian, semoga aja mulut lo ikutan bisa di-rem kalo gue panggil lo 'rem'."

Baru saja Remiya hendak kembali memprotes, mulutnya langsung bungkam ketika melihat ibu kantin menaruh semangkuk mie ayam ke hadapan Aren. Matanya membulat seketika. "Wah, lo gila ya?"

Tanpa menoleh, Aren menjawab pertanyaan Remiya dengan santai. "Gue laper, bukan gila." Ia mulai menyuapkan mie ayam pesanannya ke dalam mulut.

"Ren!!! Ini pelajaran fisika woy! Lo kayak gak tau Bu Pipih aja sih!"

"Sumpah ya, sekali lagi lo teriak, gue lempar lo ke−"

Ucapan Aren terhenti akibat ulah Remiya yang mulai merangkulnya kasar−separuh menyeretnya−dan menutup mulut Aren dengan tangannya yang bebas. Tak mau kalah, Aren menahan kakinya sekuat tenaga agar tak terbawa arus tarikan temannya itu. Bahkan, ia tak segan-segan mengigit telapak tangan Remiya, yang membungkam mulutnya, hingga cewek itu meringis kesakitan.

"Lo gak denger gue tadi bilang apa? Gue laper, Rem! Laper tuh makan, bukan belajar!"

Remiya memutar kedua bolamatanya seraya bersedekap dada. Sahabatnya itu memang telah berubah sepenuhnya dan ia tahu pasti apa penyebabnya. Apalagi, Remiya dan Aren memang sudah bersahabat sejak di bangku sekolah dasar. Bukan soal bosannya, tapi Remiya memang patut menyandang gelar sebagai saksi hidup kisah kehidupan seorang Aren.

Is That You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang