Ancaman Dekan

720 61 10
                                    


Kalau mau ngebayangin gimana muka Dekan setiap kali bikin Aren kesel, ya kayak gini nih....  

Selamat membaca ^^

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat membaca ^^.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Blank.

Aren tak mampu berkutik. Pikirannya kosong. Rupanya, Dekan tidak ragu-ragu dengan ucapannya. Sadar atau tidak, Dekan selalu berusaha meluluhkan hati Aren. Ucapannya, sikapnya, seolah meneror hati Aren untuk berubah arah dari Nega, menuju pada Dekan. Lantas, apa tujuannya? Apa tujuan cowok itu sebenarnya? Cinta pandangan pertama? Bukankah itu terlalu klasik untuk cowok seperti Dekan?

Bukan.

Sepertinya, memang bukan itu alasan Dekan mendekati Aren. Bukan karena cinta.

"Lepasin gue," desis Aren.

Konyolnya, Dekan tidak mengindahkan ucapan Aren. Ia justru semakin mendekatkan dadanya pada punggung Aren. Cowok itu juga mengeratkan rangkulannya pada leher cewek itu.

"Bentar, gue liat dulu." Dekan mengitarkan pandangannya ke sekeliling. Sepi. Jelas saja, karena seluruh siswa tengah asyik berada di kantin. Ruang guru pun hening dan tertutup rapat.

Kemudian, cowok itu menjatuhkan dagunya di bahu Aren. Ia berbisik, "Gue tau, lo bingung kenapa gue segigih ini deketin lo, iya kan?"

Aren tidak menjawab, namun tidak juga berusaha terlepas dari pelukan Dekan. Ia ingin tahu apa yang selanjutnya cowok itu katakan. Aren cukup pintar untuk tahu bahwa saat ini Dekan tengah membuat perangkap untuknya, dan ia tidak ingin masuk ke dalamnya.

Dekan pun menatap wajah Aren dari samping. Ia tersenyum miris. Mengapa cewek secantik Aren yang harus menjadi kekasih incarannya? Sayang sekali, padahal cewek ini terlalu manis untuk dijadikan umpannya.

"Jadi pacar gue, dan lo bakal tau apa yang sebenernya gue mau," bisik Dekan sangat pelan, bahkan mampu membuat Aren merinding.

Setelahnya, Dekan melepaskan pelukannya. Ia kini berdiri di hadapan Aren, tersenyum manis. Lalu, cowok itu membungkuk. Dengan gerakan cepat, ia memajukan wajahnya, mendekat pada wajah Aren. Satu senti lagi, hidung mereka akan bertubrukan, tapi Dekan berhenti. Aren mendongak menatap kedua mata Dekan, mencoba mencari jawaban dari semua sikap Dekan yang penuh teka-teki ini. Namun, yang ia dapatkan justru kecupan kecil di hidungnya.

"Jangan coba-coba nolak gue lagi. Atau..., gue gak bakal sehalus ini lagi sama lo."

Pelan, tapi cukup membuat keberanian Aren menyusut.

Setelah mengatakan itu, Dekan berjalan mundur beberapa langkah. Tatapannya tak lepas dari mata Aren. Kemudian, ia melambai, berbalik, dan berjalan cepat, pergi meninggalkan Aren yang masih mematung di tempatnya.

"Dekan..., lo bukan cuma mesum. Tapi, lo juga licik," gumam Aren penuh kebencian.

***

Sepertinya, air tidak cukup membuat pikiran Aren menjadi segar kembali. Sebanyak apa pun ia membilas wajahnya, pikirannya tetap buntu. Ia tidak bisa menentukan sikap atas perlakuan Dekan terhadapnya. Ini tidak seperti biasanya. Setelah kejadian di depan ruang guru tadi, Aren merasa yang sekarang ada di hadapannya—bayangan diri yang memantul di kaca—bukanlah dirinya sendiri.

Biasanya, Aren tidak pernah ragu untuk bersikap. Jika ia merasa dirugikan, ia tidak akan ragu untuk meninggalkan. Jika ia merasa dikhianati, ia tidak akan ragu untuk memutuskan hubungan pada siapa pun yang berkhianat kepadanya. Dan, jika ia tidak menyukai Dekan, seharusnya ia tetap bersikap seperti sebelum-sebelumnya, yaitu menolak cowok itu dengan tegas.

Namun, kali ini berbeda.

Ada keraguan yang dengan beraninya bertengger di hatinya.

"Jadi pacar gue, dan lo bakal tau apa yang sebenernya gue mau."

Aren mengusap wajahnya kasar. Dadanya bergejolak dengan rasa kesal. Apa yang diinginkan Dekan? Mengapa harus dirinya yang dijadikan pilihan jalan yang ditempuh oleh cowok itu untuk mencapai tujuannya?

Aren menunduk, berusaha berpikir lebih keras. Sebelum ini, tepatnya, sebelum Aren menumpahkan es cokelat pada cowok itu, bukankah mereka tidak pernah saling mengenal? Aren bahkan tidak tahu siapa Dekan, meski cowok itu tengah menjadi perbincangan hangat di dunia keartisan.

"Jangan coba-coba nolak gue lagi. Atau..., gue gak bakal sehalus ini lagi sama lo."

Tangan Aren memutih karena cengkeraman kuatnya di wastafel. Aren tersadar, perangkap yang dibuat Dekan terlalu kokoh untuk ia tembus. Namun, Aren tidak akan menyerah begitu saja. Memangnya siapa Dekan yang mampu mengontrol dirinya?

"Oke. Let's see, permainan apa lagi yang bakal lo mainin kalo gue tetep pada pendirian gue, Dekan."

Ceklek.

Pintu toilet terbuka. Seorang cewek berkuncir kuda memasuki toilet. Setelah menutup pintu toilet, menyadari ada seseorang di dekat wastafel, ia pun menoleh. Tatapannya yang sinis berubah menjadi lebih lembut. Senyum simpulnya terpasang sempurna.

"Eh, ada Ka Aren," sapanya.

Aren yang sebenarnya sudah memperhatikan adik kelasnya itu melalui pantulan di kaca, berusaha tetap santai. Berbanding terbalik dengan yang menyapa, Aren justru tidak menunjukkan senyumannya sama sekali. Tanpa menjawab, Aren bergerak untuk membuka pintu toilet. Ia tidak memedulikan keberadaan cewek yang tadi menyapanya.

"Ka Aren, marah sama aku?" tanyanya lagi.

Aren menghela napas, lalu mencoba tersenyum. "Cindy, kayaknya lo cukup pinter deh buat tau, bagaimana seharusnya bersikap sama orang yang baru aja lo ancurin hubungannya."

Sejujurnya, Aren benci bersikap seperti ini. Ia malas ribut dengan 'cewek penggoda' yang berusaha mengambil kekasihnya. Bukan apa-apa, Aren malas dipandang sebagai cewek yang mudah menciptakan keributan hanya karena diselingkuhi oleh pacarnya. Apalagi, kalau sampai Nega berpikir bahwa Aren sedang memperebutkan cowok itu.

Tidak sama sekali.

Catat, Aren bukan cewek lemah seperti itu. Ya, ia menyayangi Nega dan merindukan cowok itu. Tapi, kalau memang Nega cowok berengsek, untuk apa repot-repot dipertahankan?

"Aku gak ngerti maksud Kakak." Cindy lagi-lagi memberikan Aren senyum manis, yang di mata Aren justru terlihat sangat mengejek.

"To the point aja, lo mau Nega? Ambil. Tapi, tolong, jangan pake cara murahan."

Setelah mengatakan itu, Aren langsung membuka pintu toilet dengan kasar dan membantingnya tepat di depan wajah Cindy.

Cindy bersidekap dada. Kemudian, senyum manisnya menghilang. Ia menghela napas panjang, lalu berkaca melalui cermin di dekatnya.

"Aren, dengan cara murahan pun, gue tetep bisa bikin Nega jadi milik gue sepenuhnya."

***

Oh, ya, ada karakter baru, yaitu Cindy. Kalau kalian baca sejak awal, dan ingat siapa dia. Pasti gak akan bingung dong kenapa Aren sampe sejutek itu ke dia hehe.  

Jangan lupa untuk meninggalkan jejak, ya! Komentar, saran, maupun kritik dari kalian sangat berharga ^^.

Is That You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang