Bab 12 (1)

293 25 0
                                    

Matahari pagi membangunkanku. Sinarnya yang mencoba menerobos masuk menyilaukan mataku. Aku berusaha menghalanginya, namun, gagal. Aku terpaksa bangun dari tidur lelapku. Aku meraba meja di samping ranjangku berusaha menggapai telepon genggamku untuk melihat jam berapa sekarang.

10.13 A.M

Aku mendelikkan mataku, kaget. Aku langsung beranjak dari ranjangku dan mengesampingkan rasa pusing yang menjalar di kepalaku. Aku keluar dari kamarku dan mencari mamaku.

“bi, mamah sudah berangkat ke kantor?” tanyaku kepada bibi yang kutemui di dapur.

“eh, neng, neng udah bangun. Tadi mamah bilang kalau neng Tania badannya panas sekali jadi mamah memutuskan untuk tidak membangunkan neng. Neng disuruh istirahat dulu, neng kelelahan,” jawab bibi sambil menempatkan sup ayamnya di mangkuk putih.

Aku hanya mengangguk dan jalan ke arah sofa yang berada di ruang keluarga. Aku menyalakan televisi di depanku dan mengganti channel tv ku ke acara kartun kesukaanku.

“terus, surat izin sakitku bagaimana, bi?” tanyaku ketika bibi menaruh mangkuk berisi sup ayam panas di atas meja di depanku.

Asapnya mengepul dari mangkuk putih itu, menandakan bahwa sup ayam itu masih sangat panas karena baru diangkat dari pancinya.

“kata mamah, sudah diurus sama mamah, neng” jawab bibi sambil beranjak dari tempatnya.

“bibi udah makan?” tanyaku.

“ini mau makan, neng” jawabnya sambil mengambil nasi di dapur.

“sini, makan sama Tania, bi” ajakku sambil menepuk lahan kosong di sofa sebelahku.

Bibi meng-iyakan dan langsung duduk di sebelahku. Ia bercerita tentang bagaimana saat dirinya diajak bekerja di rumahku. Katanya,

Saat itu ia sedang tidak ada pekerjaan sama sekali. Dan, ia sedang sangat membutuhkan pekerjaan. Mama mengenalnya dari temannya, pembantu teman mama punya tetangga, dan bibi adalah tetangga dari pembantu teman mama. Lalu, mama tanpa babibu langsung mengangkatnya menjadi asisten rumah tangga keluarga kami. Mama berusaha untuk berlaku baik kepada bibi, karena siapapun ia, apapun jabatannya, ia tetap sama seperti kita. Sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang derajatnya sama di mata Tuhan dan tidak berhak kita untuk merendahkannya. Apalagi karena bibi yang jujur dan tidak pernah menuntut apapun dari keluarga kami membuat kami semakin dekat dengannya dan merasa tidak perlu adanya jarak di antara kami.

Sesi makan di depan sofa selesai. Bibi kembali melaksanakan tugasnya sebagai asisten rumah tangga. Dari menyapu rumah, mengepel, menjemur baju, membersihkan taman, mencuci, dan lain sebagainya.

Aku mengangkat kakiku ke atas sofa dan menyilangkannya. Aku menonton kartun kesukaanku sampai bosan.

…girl I got a question for ya, girl I need an answer…

Aku buru-buru meraih telepon genggam yang berada di atas meja, melihat siapa yang meneleponku. Terlihat nama ‘mamah’ di ID Caller di teleponku. Aku langsung menggeser layar hijau tanda mengangkat.

“halo, mah”

“hayyy, sayang. Mamah kira kamu belum bangun, sudah makan?” Tanya mama di seberang sana.

“sudah, mah. Mamah pulang jam berapa nanti?” tanyaku sambil menggigiti kuku jariku.

“jam 8 malam sepertinya, nak. Kamu mau titip apa?”

“Tania mau donat ya, mah? Hehehe,” pintaku dengan suara dimanis-maniskan.

“iya, sayang. Nanti mamah belikan.”

Is That YOU?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang