Bab 15 (1)

278 22 0
                                    

"Tania, aku pamit, ya."

Aku mengangguk dan melepaskan pelukanku. Ia sudah hendak berdiri jika aku tidak mencegahnya. Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang masih harus aku tanyakan. Aku sudah memikirkan hal ini sejak tadi tapi, aku selalu lupa untuk menanyakannya kepada Ramika karena lelaki ini terus saja seolah-olah mengalihkan topik agar hal ini tidak jadi ditanyakan olehku.

"bentar dulu, Mik. Aku mau nanya sesuatu," ucapku menahan tangannya.

Ia mengarahkan kepalanya ke bawah menghadapku yang masih duduk bersila menghadap samping kiri kakinya.

"kenapa harus sekarang? Kenapa engga besok?" tanya Ramika seolah menolak permintaanku dengan halus.

Aku berdiri dan menepuk pantatku dari debu yang menempel di celanaku.

"kenapa harus besok kalau bisa sekarang?" balasku membalikkan pertanyaannya tanpa melepaskan genggamanku.

Ia mendengus pasrah namun tetap tersenyum. Kenapa aku tidak menanyakan hal ini besok saja? Atau kapan hari? Karena aku sudah memutuskan bahwa hari ini aku akan melepas Ramika bersama Ratia untuk selamanya, tidak boleh aku menjadi penengah hubungan mereka dalam artian negatif. Jadi, mungkin saja aku tidak akan mendapatkan kesempatan lain untuk bertemu dengannya dan ingat untuk menanyakan hal ini.

"Mik, kamu tadi bilang kalau kamu yang menyuruh lelaki berkacamata ini untuk menjadi penjagaku. Kamu juga sempat berkomunikasi dengannya. Sebelumnya, kamu bilang kalau kamu hanya bisa berkomunikasi denganku karena kalung ini. Juga hanya aku yang dapat melihatmu, lalu bagaimana caranya kamu menghubungi lelaki itu?" tanyaku to the point agar tak memperlambat langkahnya untuk beristirahat mempersiapkan diri untuk esok hari.

Walaupun aku tak yakin ia butuh istirahat untuk hari esok.

Ramika terlihat sedikit terkejut namun ia berusaha untuk tak menampakannya. Ia tetap menorehkan senyum di wajahnya seolah tak ada yang dapat meluruhkan rasa sabarnya saat bersamaku. Seolah tak ada yang perlu dibawa emosi jika aku yang bertanya.

"Tania, kamu ingat juga kan kalau aku adalah makhluk dunia mimpi? Tentu saja aku bisa menghubungi lelaki itu lewat mimpinya," jawab Ramika sabar.

"berarti kamu juga bisa mendatangi mimpi siapa saja dong?" tanyaku mendelikkan mataku karena terkejut.

Ramika terkekeh lalu menggeleng.

"tidak semua. Aku hanya menggunakan kemampuanku untuk kepentinganku saja. Jika memang aku tidak ada kepentingan dengan seseorang, aku tidak mungkin datang ke mimpinya," jelas Ramika melanjutkan jawabannya.

Aku mengangguk mengerti.

"sudah?" tanya Ramika lagi.

"iya, sudah," jawabku pasrah.

Ramika melepaskan genggamanku dan tidak membiarkan wajahku mendongak penuh kepadanya, ia langsung dengan cepat memelukku.

"jangan berpikir bahwa aku jengah dengan tingkah dan pertanyaanmu. Aku hanya sedikit lelah, aku sedaritadi berusaha untuk tidak menunjukkannya kepadamu tapi, ternyata lelahku sudah pada puncaknya. Maafkan aku, Tania." Ucapnya mengelus rambutku dan mengecup ujung keningku.

Aku membenarkan posisi wajah dan kepalaku agar dapat bertumpu di bahunya, merangkul dan memeluk punggungnya.

"iya, Ramika. Maaf juga. Mungkin ini maaf dan terimakasih ku yang terakhir. Aku sudah ikhlas melepasmu bersama Ratia, Mik. Yang sehat ya, Mik. Maaf selama di dunia aku begitu merepotkanmu baik dalam keseharianku maupun perasaanku. Waktu sangat cepat bagi kita berdua, Mik. Seandainya aku bisa memiliki lebih banyak waktu bersamamu aku akan mendedikasikan waktuku untuk menyayangimu, Mik. Tapi, ya sudahlah, yang sudah biarkan berlalu. Bahagia ya, Mik. Jaga Ratia dan keluarga yang lain. Aku sangat menyayangimu, Mik. Terimakasih dan maaf,"

Air mataku menetes sedikit demi sedikit. Bukankah tadi aku sudah mengikhlaskannya? Tapi kenapa sekarang ia malah terjatuh seolah-olah ingin membuat Ramika bertahan lebih lama lagi? Dasar labil.

"jaga kesehatanmu juga, Tania. Terimakasih do'anya. Terimakasih atas segalanya, aku sangat senang bisa mengenalmu lebih jauh. Nanti kalau aku rindu aku pasti mendatangimu, Tan. Jangan lupa tersenyum, Tan. Semua orang bahagia karena senyummu,"

Ramika mengucapkan kata-kata itu begitu lembut dan menenangkan. Memelukku lebih erat dan mencium keningku berkali-kali sambil mengatakan bahwa ia juga menyayangiku.

Sampai yang kupeluk hanyalah angin dan ruang kosong. Ramika telah pergi bersama tingkah manisnya meninggalkanku di sini yang entah kapan akan melepas bayangannya.

"selamat berbahagia, Mik," ucapku sambil menyeka air mataku dan melambaikan tanganku ke langit.


Is That YOU?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang