Bab 13

278 28 0
                                    

Aku duduk di atas kursi meja makan sendirian sambil melakukan hal yang sama berulang kali. Menyobek roti kasurku – mencelupkannya ke dalam susu – memakannya – diulang. Pandanganku lurus ke depan ke arah taman sambil menerka-nerka apakah Ramika akan datang tiba-tiba di taman saat ini? Aku menunggunya cukup lama.

Sedikit merasa bosan, aku menggerak-gerakkan kaki di bawah meja makan. Awalnya pelan, namun aku merasa kesal karena ulah Ramika tadi malam saat ia menangkapku dari mimpi burukku. Aku percepat goyangan kakiku, aku menggerutu.

DUG!

"aw!"

Ujung jempolku mengenai tiang penyangga antara lantai dengan meja makan. Kau pasti tahu bagaimana rasa sakitnya.

"ih sakit,"

Aku mengaduh sambil mengelus jempolku. Mukaku menyiratkan rasa kekesalan karena jempolku masih terasa sakit. Jujur saja, aku sangat benci jika jari-jari kakiku terpentok sesuatu, entahlah. Itu membuatku sangat marah.

"jangan suka memendam emosi kepadaku. Ceritalah,"

Aku mendongak ke sumber suara itu. Ramika di sana dengan wajahnya yang langsung menghadapku. Sorot matanya memancarkan bahwa ia khawatir namun sedikit kesal, karena kecerobohanku mungkin?

Aku menurunkan kaki kananku ke bawah meja makan lagi dan menghadap taman seperti tadi. Tanpa ada niatan untuk membalas ucapannya. Aku masih kesal dengannya. Memang iya aku yang memintanya untuk tidak menemuiku kemarin, tapi, nyatanya aku begitu merindukannya. Mengapa ia tidak tahu? Katanya ia penjagaku? Jika ia tahu, kenapa dia tidak muncul di hadapanku?

Aku melirik ke arahnya yang masih menatapku.

Ngeliatinnya betah banget.

Aku mengedarkan pandanganku ke arah taman, lagi.

Ramika menghela napas panjang.

"yakin kau tidak mau menceritakan kekesalanmu kepadaku?"

Aku menggeleng. Mempercepat makanku, aku menghabiskan susu dan beranjak dari tempat itu.

KLEK!

Aku tersentak. Baru saja kubuka pintu kamarku, dan ia sudah ada di bibir kasurku sedang duduk tegak menungguku.

"kamu mau apa sih, Ramika? Udah sana kalau mau nikah, nikah aja,"

Aku membalikkan badanku. Ada sebersit rasa sedih, kesal, menyesal bercampur jadi satu karena aku melontarkan kata-kata itu kepadanya. Aku benci ia di sini tapi, aku juga tak mau melepasnya. Kenapa aku sangat mudah jatuh cinta? Padahal aku dan Ramika baru beberapa hari dipertemukan.

Jatuh cintaku cepat,

Kepergiannya pun tak kalah cepat.

Ramika masih berdiri di dekat meja belajarku. Mungkin karena ia lelah, ia menarik kursi yang ada di sana dan duduk di atasnya.

Matanya menatapku tanpa mengarahkannya ke arah lain. Sebentar-sebentar posisinya berubah. Dari ia memangku dagunya, berdiri tegak, tersenyum, dan diulang seperti itu berkali-kali.

Aku hanya meliriknya, sesekali melihatnya yang masih tersenyum. Aku tetap pada posisiku bersila di atas ranjangku sambil menonton acara TV. Aku tetap pada pendirianku untuk tidak memeluknya walaupun rasanya sangat rindu.

Aku sangat ingin memeluknya.

Suara TV hanya terdengar semu di kepalaku. Semuanya terpaku pada keheningan yang aku dan Ramika ciptakan.

Ramika bangkit dari duduknya tanpa berucap apapun, ia masih tersenyum.

Gila.

Ia mulai melangkah mendekati pintu kamarku.

Is That YOU?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang