Bab 16

292 24 0
                                    

Sudah 3 bulan sejak kepergian Ramika dan terkadang aku masih suka memikirkannya. Bahkan hal terbodoh yang aku harapkan setelah kepergiannya adalah, aku membayangkan jika saja Ramika datang tiba-tiba mengejutkanku, berkata bahwa kepergiannya adalah lelucon untuk menguji rasa sayangku padanya, lalu menjalani hari-hari seperti biasa seolah tak pernah ada kata 'pergi' di antara kita.

Padahal, sebenarnya Ramika tak pernah kembali. sesekali ia mengunjungi mimpiku untuk mengatakan bahwa ia rindu mendengar tawaku. Ah! Percuma, ia hanya rindu tawaku bukan diriku.

Aku jadi teringat dengan lelaki berkacamata yang Ramika katakan telah mengagumiku sejak lama. Ia juga tak pernah absen untuk memberiku hadiah setiap harinya. Bukan hadiah dalam bentuk barang yang dibungkus di suatu kotak dengan kertas kado yang aku maksud, tapi, hadiah dalam segala bentuk yang mengejutkanku.

Contoh saja, seminggu yang lalu. Saat aku pingsan di lapangan basket karena kepanasan, semua orang repot membawaku ke UKS. Namun, tak ada dari mereka yang menjagaku. Mungkin karena saat itu, persis setelah pelajaran penjasorkes adalah pelajaran kimia yang agendanya adalah ulangan harian. Jika aku jadi mereka pun, pasti aku akan lebih mementingkan ulangan tersebut.

Disaat itulah aku melihat jika lutut dan siku ku yang terluka karena mengenai lapangan sudah diperban dan terdapat gambar kacamata hitam kecil di dua perban itu.

Belum lagi dengan minuman penambah ion dan satu buah roti yang sudah tersedia di samping ranjang UKS. Ditambah dengan surat kecil bertuliskan,

'hay, Tania. Aku tadi gak sengaja lewat UKS

terus lihat kamu. Ternyata kamu pingsan.

tapi, siku dan lututmu luka, Tan. Aku sedikit kasihan tapi,

aku tahu kamu gadis yang kuat. Jadi, aku perban.

hehe. Dimakan sama diminum ya, Tan.

yang sehat. Jangan lupa senyum.'

Lagi-lagi dengan gambar kacamata kecil di pojok kertasnya. Aku hanya tersenyum membaca kertas itu.

Ramika memang masih menjagaku sepertinya. Dengan ia menitipkanku pada lelaki ini, ia tak mungkin salah orang. Pasti ia telah memperhatikan lelaki ini lama sebelum ia percaya untuk menitipkanku padanya. Dan buktinya? Semoga saja Ramika memang benar.

Walaupun aku tidak tahu siapa kamu, tapi, semoga saja jika aku tahu kamu tidak mengecewakanku.

Tidak hanya itu saja. Setelah kepergian Ramika, aku lebih hidup dengan lingkungan sekitarku dan tidak lagi diam di kamar saat liburan untuk menunggu Ramika. Sekarang aku sudah bisa kembali seperti dulu. Tertawa, bercanda, bermain, dan melakukan aktifitas seperti dulu lagi bersama teman-temanku.

Yang aku masih bingung, kenapa bisa si lelaki berkacamata itu masih menyembunyikan identitas aslinya? Padahal bisa saja ia berpikir bahwa jika aku lebih dulu tahu, pasti akan lebih mudah baginya untuk mengungkapkan perasaanya. Tidak harus terus semisterius ini setiap kali ia memberikan hadiah padaku.

Juga, kalau saja ia lebih cepat mengungkapkan identitasnya justru bukannya lebih mudah untuknya bisa lebih dekat denganku? Bisa lebih mengakrabkan diri denganku? Bukan malah justru membuatku mencari dan menebak siapakah dia.

Apa dia tidak takut jika bisa saja aku menerima beberapa tembakan teman laki-lakiku? Hahaha. Percaya diri sekali, aku.

"Tan, ada titipan dari anak 11 IPA 5 nih,"

"oh iya, makasih,"

Pasti ini dari lelaki berkacamata itu lagi.

Tadi Rendi memberiku sebotol air mineral dengan pita putih di penutup botolnya dan ada lintingan kertas di sela-sela pita tersebut.

Aku mengambil lintingan kertas itu dan membukanya.

'halo Tania! Ini gue, temen lelaki berkacamata.

najis bener sumpah pake nama samaran gini,

tapi yaa yaudahlah dia yang minta.

Gak usah banyak mikir yang engga-engga tentang

dia, Tan. Laki ini baik, laki ini bakal bahagian lo.

Ini gue gak lagi disogok buat ngomong gini, tapi,

lo juga bakal menyetujui apa yang gue bilang

saat lo nanti tau siapa dia.

Sabar ya nunggu dia, Tan. Jangan pindah ke lain

hati dulu. Kasian hahaha.'

Aku mengernyit. Tumben sekali bukan dia yang menulis surat ini, bahkan aku sampai hafal bagaimana cara ia menulis. Dan yang tadi aku baca adalah surat yang bukan ditulis olehnya.

Aku hanya geleng-geleng kepala saja. Diam-diam aku juga menyimpan rasa kagum padanya, ia tidak terburu dalam menyampaikan perasaan. Menungguku untuk menyukainya dari sikapnya, dari perlakuannya tanpa harus ia tunjukkan bagaimana wujud aslinya.

Iya, aku gak bakal kemana-mana.

Aku mengambil tas ku dan bersiap untuk pulang. Tak lupa membawa air mineral yang tadi telah dikirim oleh lelaki berkacamata-ku. Hahaha.

Tahu saja, aku sedang kehausan.

"Tania!"

Aku menoleh mendapati Senja yang juga baru keluar dari kelasnya. Ia sedang kerepotan membawa buku kimia tambahan di tangannya. Aku segera mendekatinya dan membantu membawa beberapa buku itu.

"baru pulang juga, Nja?"

"iya nih. Tadi susulan kimia dulu. Aduh, pusing banget,"

Keluh Senja, aku hanya tertawa melihat wajahnya yang terlihat seolah memang sangat frustasi dengan beberapa rumus kimia yang harus ia hafalkan untuk menyelesaikan ulangannya.

"eh, Tan. Aku duluan, ya? Itu mamahku udah jemput,"

Aku mendongak melihat arah tunjukkan jari Senja lalu mengangguk. Aku melambaikan tangan yang juga dibalas olehnya.

DING! DONG!

Nada dering pesan di teleponku berbunyi. Aku meraba kedua saku-ku mencari dimana benda pipih itu ku taruh tadi.

Lampu LED di teleponku berkelap-kelip mengisyaratkan banyak pesan yang masuk ke aplikasi chatku.

Irish : Tania? Kamu dimana?

Irish : Masih di sekolah ya?

Irish : Aku jemput ya?

Irish : Aku mau cerita banyak. Otw nih.

Irish : Aku putus sama Steven.

Aku mendelik melihat pesan itu dan tak lama Irish datang dengan mobil abu kecilnya. Ia menangis.



HAYYYYY

I'm back! Kangen ga? Enggaaaa..

Yoweslah rakpopo.

Kira-kira udah mau ending belum yah ini? Masih ada yang nunggu gak sih? Heheheh, curiga.

Don't forget to vote and comment ya. Semoga suka!

Terimakasih sangat! <3

Is That YOU?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang