Perempuan bukan pembantu

14.5K 949 22
                                    

         Pagi ini seusai sholat tahajjud, Fadhillah bergegas menuju dapur untuk mencuci piring dan memasak. Husain masih membaca Al-Qur'an di ruangan sholat yang kebetulan terlihat jika dari dapur, sedangkan Ainun, dan Harist masih tertidur lelap di kamarnya.

Fadhillah mencuci piring, sambil menunggu minyak yang belum memanas. Tiba-tiba suara tangisan dari dalam kamar menggema, ia berlari ke arah kamar. Setengah perjalanan ia lupa mematikan kompor, maka ia berlari kembali menuju dapur.

Tangis bayi di kamar semakin menjadi, setelah mematikan kompor dengan cepat Fadhillah kembali menuju kamar. Namun, larinya terhenti ketika melihat tangannya masih dilumuri sabun, maka lagi dan lagi Fadhillah berlari ke dapur untuk membasuh tangannya, setelahnya ia berlari ke kamar.

Melihat istrinya yang begitu sibuk, dan terlihat sangat lelah. Husain menutup Al-Qur'annya, lalu berjalan menuju dapur. Ia mengambil bagian Fadhillah, Husain mencuci piring dengan santainya sambil memasukan dua butir telur yang sudah dikocok ke dalam wajan.

Setelah mencuci piring, telur siap disajikan ke sebuah piring merah besar. Ia segera mengambil tempe dari kulkas dan memotongnya berbentuk persegi, dan.. "Innalillahi." Husain baru saja tergores pisau, tangannya mengucurkan darah segar.

"Kak?" Fadhillah yang baru saja berhasil menidurkan Ainun mendekat ke arah Husain.

Husain menutupi tangan kiri yang terluka dengan tangan kanannya, "Tidak usah disembunyikan, Fadhiah tahu. Sini biar Dhillah obatin." Fadhillah mengambil obat merah, dan meraih tangan Husain dengan lembut.

"Kak Husain seharusnya tidak perlu repot-repot, ini kewajiban istri kak. Tugas kakak hanya mencari nafkah." Ucap Fadhillah lagi.

Husain yang meringis kesakitan angkat bicara, "Ummu Ainun wa Harits. Seorang Istri bukan pembantu, jadi tidak ada salahnya jika suami pun ikut turun tangan dalam hal memasak, atau pekerjaan yang lainnya, selagi aku masih bisa membantu." Ucap Husain tersenyum ke arah Fadhillah

"Na'am yaa Abi Harist wa Ainun." Husain mencubit lembut pipi Fadhillah, hingga membuat Fadhillah tersenyum malu dibalik cadar hitamnya.

"Pagi-pagi gini sudah dipakai niqobnya Fadhillah, jangan pikir aku tidak tahu kalau dibalik cadarmu. Kamu sedang tersenyum, dan pipimu pasti sudah merah merona." Mendengar ucapan itu, Fadhillah tak menghiraukan Husain. Ia pergi melepaskan genggam tangan Husain dari genggamannya. Pria itu memang selalu membuat kesal dan senang.

"Kamu tunggu di meja makan ya ummu Ainun wa Harits, aku bawakan makanan ini untukmu." Teriak Husain menatap punggung Fadhillah yang berjalan menuju ruang makan.

Senyum Husain terus mengembang, ia tak habis pikir bahwa dirinya bisa jatuh cinta pada Fadhillah, ia juga tak menyangka dihatinya sudah tak ada lagi nama Kaira. Selesai menyiapkan makan, Husain berjalan menuju ruang makan, terlihat Fadhillah sedang duduk di sana.

Husain menyimpan makanan tersebut di meja, lalu beranjak. Ia berdiri di belakang Fadhillah, "kalau mau makan niqobnya dilepas dulu, Ummu Ainun wa Harist." Fadhillah tersenyum saat Husain melepas cadar di wajah Fadhillah dengan lembut, dan berjalan ke tempat semula "aaaa.." Husain menyuapi Fadhillah perlahan,

"Ah kak Husain kaya abg ajak suap-suapan." mendengar ucapan tersebut, Husain menaruh kembali sendoknya.

"Emang masih abg." Husain kembali menyuapi satu sendok itu ke mulut Fadhillah, kali ini Fadhillah menerimanya.

"Uhuk..uhuk.." Tiba-tiba saja Fadhillah batuk,

"Kenapa?" Tanya Husain khawatir, sambil meminumkan satu gelas air bening,

"Pedas." Jawabnya singkat

"Ah enggak biasa aja," Jawabnya santai

"Terserah" Jawabnya kembali singkat

Karena Imam dan Iman (Open PO) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang