D-12

25 5 8
                                    

I think
Again and again
My whole brain full of you

👑

"Beberapa menit yang lalu aku suka hujan, namun beberapa detik setelah aku mengikrarkan suka hujan aku berbalik jadi benci hujan."

Kalimat Rafa terngiang di kepala Reka. Lelaki itu tak perlu 1 menit untuk menerka masalah Rafa. Sebenarnya ia sudah punya feeling akan masalah Rafa, dan ternyata feelingnya tepat.

"Lo suka Ryan?" Reka menebak. Sepertinya tebakannya tepat, karena gadis itu tampak terdiam.

"Kayaknya iya..." Rafa berkata setelah 1 menit terdiam. Gadis itu mendongak, menatap matahari yang tampak hanya seperlima bagian. Hujan hampir berhenti, ia hampir pergi meninggalkan bumi. Seperti perasaan Rafa sekarang. Gadis itu merasa nyawanya akan pergi, karena sakit tak tertahankan di dalam organ jantungnya.

"Segampang itu ya lo bicara mengenai perasaan lo sendiri?" Reka berkomentar.

"Aku cukup tahu diri kok... Aku dan Ryan ada di dunia yang berbeda. Jikalau Ryan tahu masalah perasaan aku, aku gak perlu takut dia bakal jauhin aku." Tutur Rafa sambil menatap manik mata Reka. Reka tahu gadis itu terluka.

"Jika dengan berpura-pura biasa akan membuat semuanya clear, aku akan lakukan itu. Asal Ryan gak merasa terganggu di dekat aku." Lanjut Rafa.

"Apa lo gak pernah mikir kalau Ryan suka sama lo?" Reka menyarakan dugaannya selama ini, hasil dari pengamatan selama beberapa bulan.

"Awalnya aku kira Ryan sedikit tertarik sama aku. Melihat cowok itu jarang bergaul sama cewek, lalu tiba-tiba ngedeketin aku." Rafa menghela napas panjang sebelum berbicara kembali.

"Tapi aku sadar, dia begitu ke semua orang. Walau sedikit cewek yang berinteraksi sama dia, tapi aku bisa tetap lihat gerak-geriknya. Gak ada yang spesial dengan sikap dia ke aku. Kalaupun suatu hari Ryan menaruh rasa pada seorang cewek, maka Ina lah orangnya."

Rafa menengadahkan telapak tangannya. Tidak ada tetes air lagi, tanda hujan telah berhenti.

"Kamu mau pulang?" Rafa bertanya pada Reka yang terdiam.

"Ah, iya. Ayo pulang." Reka tersenyum canggung.

Sepanjang perjalanan, pikiran Reka sepenuhnya tertuju pada Rafa. Gadis itu tersenyum, tapi Reka tahu ada sayatan lebar di hatinya.

"Lo tahu? Tadi Ryan cuma fotocopy proposal bareng Ina. Itu kan yang mengganggu pikiran dan perasaan lo?" Reka kembali bersuara.

Melihat Rafa hanya menaikkan sebelah alisnya, Reka melanjutkan.

"Ryan itu orang yang profesional. Dia akan melakukan segala cara untuk kelancaran tugasnya. Dia bertanggung jawab. Dan Ina itu udah terbiasa dengan adanya Ryan."

"Terus maksud kamu ngomong gini apa?" Tanya Rafa akhirnya.

"Jika lo lihat Ina dan Ryan barengan kaya tadi, bukan berarti Ryan suka sama Ina. Kalau lo suka sama Ryan, ya sampaikan perasaan itu dengan cara yang baik aja. Jangan cuma gara-gara lihat mereka bareng, lo jadi mikir buat buang perasaan lo. Gue ngomong gini karena kasihan sama lo. Lo tahu kan, menghilangkan perasaan itu bikin sakit... Gue gak mau lo pernah merasakan sakitnya menyerah, belajar melupakan perasaan lo... Let it flow aja, Raf..."

Rafa terperangah. Seorang Reka menasehatinya dengan sangat baik. Perkataan Reka benar semua. Rafa harus membiarkan ini berjalan apa adanya. Jangan kebanyakan mikir apa yang akan terjadi nantinya. Karena takdir tidak ada yang tahu, kan?

"Makasih, Rek... Oh iya, jangan bilang masalah ini ke siapa-siapa ya?" Rafa memperingati Reka.

"Siap bos..." Rafa terkekeh melihat gaya Reka yang seperti prajurit hormat pada komandannya.

AndersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang