"Raf... Ngapain di sini?" Rafa merasa jantungnya berhenti berdetak saat mendengar suara dingin itu. Rafa tak tahu harus bagaimana sekarang. Jika ia mengangkat wajahnya, maka ia akan malu karena wajah basah itu kini semerah tomat. Jangan ditanya lagi bagaimana mata bulatnya, pasti sudah bengkak bagai kelengkeng.
"Maaf." Suara itu melembut diikuti dengan sebuah usapan halus pada rambut panjang Rafa.
"Ah, gue gak tahu minta maaf ke lo karena apa." Really?Hati Rafa dongkol seketika. Bisa-bisanya lelaki itu tak tahu apa kesalahannya hingga membuat Rafa menangis. Dan sekarang laki-laki itu malah terkekeh.
Rafa segera menggerakkan badannya ke kanan dan ke kiri agar tangan itu terlepas dari kepalanya.
"Manja." Cibir lelaki itu.
"Ngapain kamu ke sini?" Suara serak Rafa keluar.
"Mau nenangin lo lah."
"Pergi."
"Gak bakal."
"Katanya gak tahu apa kesalahannya! Terus ngapain di sini?" Suara Rafa tambah bergetar. Membuat Ryan sejenak tertegun.
"Raf... Gue ngerti kenapa lo nangis. Mau gue ceritain gak?" Pertanyaan Ryan mendapat gelengan dari Rafa. Namun Ryan tetap bercerita.
"Di suatu bukit, hiduplah seekor katak. Anggap saja si katak baik. Bangsa katak selalu memuja-muja si katak baik. Namun dibalik kekayaan akan pujian dan kebaikan, ia kesepian. Suatu hari datanglah 2 ekor katak betina. Anggap aja Ara dan Ira. Ara baik kayak si katak baik. Ira juga baik, namun siapa sangka dia punya niat jahat ke Ara. Ara dan Ira jatuh cinta sama si katak baik. Namun si katak baik bingung menentukan pilihannya, karena mereka sama-sama baik. Pada akhirnya, Ira berbuat jahat pada Ara, dan itu membuat si katak baik marah. Setelah ditelusuri, Ira punya alasan berbuat seperti itu. Ira ingin mendapat perhatian dari semua orang, karena ia tak pernah mendapat perhatian dari orang tuanya. Dari kesimpulan yang didapat si katak baik, Ira hanya kurang dewasa menghadapi setiap masalahnya. Akhirnya si katak baik memberi pengertian pada Ira, dan Ira mau melepas si katak baik untuk Ara."
Ryan menghela napas saat cerita itu usai. Ryan menyadari bahu Rafa sudah tidak bergetar. Gadis itu mendengarkan ceritanya, dan itu membuat sudut bibir Ryan terangkat.
"Udah?" Suara Rafa kembali normal.
"Hmm." Ryan bergumam.
"Aku gak paham maksud dari cerita itu."
"Raf... Gue kira lo bakal paham. Ampun deh..." Ryan menepuk keningnya.
"Jadi, cerita itu cerita kita. Antara Lo, gue, dan Ina-" Belum sempat Ryan menyelesaikan ucapannya, terdengar pekikan dari Rafa.
"What! Jadi maksud kamu aku dan Ina ngerebutin kamu? Naksir kamu? Idih..." Rafa mengangkat kepalanya. Dan Ryan melihat mata sembab itu. Ryan lega Rafa sudah mampu mendebatnya lagi, tanda bahwa gadis itu sudah membaik.
"Dengerin dulu, onyeng... Jadi intinya, gue harap lo memahami Ina. Ina itu masih belum dewasa pikirannya. Dia cuma mikir yang menurutnya baik tanpa mau melihat kondisi sekitarnya. Dalam artian pikiran dia masih cetek."
Rafa kembali menenggelamkan kepalanya diantar lipatan tangannya.
"Aku gak suka diomongin di belakang. Kalau gak suka ya bilang aja ke aku. Ntar aku introspeksi diri kok." Suara Rafa terdengar sedikit bergetar.
"Iya, gue tahu. Tapi gue harap lo mau pahami dia. Dia-"
"Kalau bukan Ina, apa kamu mau berjuang kaya gini buat dapet maaf dari seseorang padahal itu bukan salah kamu." Perkataan Rafa lebih cenderung pada pernyataan. Ryan tertegun mendengar itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Anders
Dla nastolatkówKamu tahu apa yang paling membuatku bersyukur atas rasa yang kupendam padamu? Jika tak tahu, biarlah kuberi tahu... Bahwasannya pada awal aku tak suka kopi, semenjak rasa ini hadir aku berbalik menjadi suka kopi. Kenapa? Karena memendam rasa padamu...