Aku mengaku
Bahwa aku telah jatuh👑
Apapun yang Rafa pikirkan sekarang, telah berhasil membuatnya melamun dan senyum-senyum sendiri. Ia sedang berjalan di trotoar, hendak pulang. Untung jalanan sedang sepi. Jika ada yang melihat Rafa seperti itu, akan dinilai seperti apa dia. Orang gila dengan seragam khas SMA favorit di kota ini?
Efek pernyataan Ronald tadi pagi masih melekat dalam diri Rafa. Gadis itu terus memasang senyum andalannya seharian ini. Indra sampai bersikeras menyeretnya ke UKS, karena biasanya gadis itu sangat galak pada Indra. Namun, tiba-tiba bersikap ramah dan lembut padanya.
Namun sikap Rafa pada Ryan sangat aneh. Setelah perkataan Ronald, gadis itu menolak berbicara dengan Ryan. Menolak berdekatan dengan Ryan. Ryan sampai meminta maaf berkali-kali karena takut telah melakukan sesuatu yang jahat pada Rafa. Syifa hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah keduanya. Hanya Rafa yang tahu alasan mengapa ia seperti ini.
'tes'
Tetes pertama hujan jatuh mengenai hidung Rafa. Rafa tersenyum. Baru kali ini Rafa mensyukuri saat hujan jatuh padanya. Ia segera berlari menuju sebuah kios yang sudah tutup untuk berteduh di depannya. Tidak enak jika berteduh di depan kios orang yang masih buka tanpa izin. Begitulah yang dipikirkan Rafa.
Hujan menderas. Senyum Rafa semakin mengembang. Entahlah, hari ini ia sedang sangat bahagia. Perutnya sedang dipenuhi kupu-kupu yang membuatnya tak bisa menyembunyikan senyum.
Tangan Rafa naik, menyentuh dadanya. Jantungnya berdetak melebihi ritme. Ada perasaan aneh yang melingkupinya. Rafa seperti belum pernah merasakan ini. Belum sempat ia menafsirkan perasaannya, sebuah suara terdengar.
"Raf? Ngapain di sini?"
Rafa mendongak menatap sang pemilik suara. Rafa membuka mulutnya, hendak menjawab pertanyaan itu. Namun tenggorokannya serasa tercekat. Ia tak bisa bersuara saat suara lain terdengar.
"Ryan, ngobrol sama siapa? Ini proposalnya mau ditaruh mana?"
"Bentar, Na. Aku ambil payung dulu di mobil. Kamu tunggu situ dulu aja. Ada Rafa juga nih."
"Raf, lo belum jawab perntanyaan gue. Lo ngapain di sini?"
"Ah, a-aku lagi berteduh. Iya, lagi berteduh." Rafa nyengir sambil menggaruk tengkuknya.
"Maksud gue, ini udah sore. Kok lo baru pulang sekolah?" Tanya Ryan lagi.
"Bimbingan." Jawab Rafa lirih. Kepalanya tertunduk begitu saja. Seakan sepatu kotornya lebih menarik dari seorang Ryan.
"Lah, Reka aja kagak bimbingan. Kata dia lagi libur bimbingan." Tambah Ryan.
Rafa terlihat menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab.
"Aku bimbingan sendiri. Tanpa mentor. Tanpa temen yang lain."
"Oh... Ini hujan. Pulang bareng mau?" Tawar Ryan. Lelaki itu merendahkan posisi tubuhnya supaya bisa melihat ekspresi Rafa. Namun gadis itu semakin menunduk.
"Gak usah. Aku pulang sendiri aja. Bentar lagi reda kok." Dingin. Suara Rafa terdengar dingin.
"Yakin?" Ryan memastikan. Entahlah, dia sedikit khawatir pada sikap Rafa.
"Aku selalu yakin." Rafa menjawab masih dengan menundukkan kepalanya.
"Oke... Duluan kalo gitu." Ryan pamit. Rafa hanya bisa melihat kaki Ryan hilang dari pandangannya.
"Ina, sini aku bawain. Kamu pegangin payungnya ya." Hanya suara yang mampu Rafa dengar. Rafa tak berminat melihat sekitarnya.
"Repot banget sih... Lagian kamu aneh-aneh aja, pake sukarela nggandain proposal segala. Kan banyak, Yan." Suara lembut itu tetap terdengar lembut walau didominasi kesan mengumpat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Anders
Teen FictionKamu tahu apa yang paling membuatku bersyukur atas rasa yang kupendam padamu? Jika tak tahu, biarlah kuberi tahu... Bahwasannya pada awal aku tak suka kopi, semenjak rasa ini hadir aku berbalik menjadi suka kopi. Kenapa? Karena memendam rasa padamu...