BID 22 : Semua Kangen Firland, Semua Kangen Foa.

1.5K 236 24
                                    

"Ayah, Egha ... mau nanya sesuatu. Boleh?"

Difta berdeham, menutup laptopnya dan menoleh ke arah Egha yang baru saja datang ke ruang keluarga. "Sini, Gha. Kita udah lama nggak ngobrol. Kamu mau nanya apa?"

Egha tersenyum pelan. Lalu memberanikan diri jalan ke arah sofa, duduk di samping Difta yang langsung mengusap puncak kepalanya dengan sayang.

"Ayah nggak kangen sama ibu?"

Disinggung soal ibunya anak-anak, senyum bahagia di wajah Difta luntur seketika. Diganti dengan raut rindu yang berkecimpung di kubangan duka.

Difta memang sangat mencintai Salli. Salli itu cinta pertamanya.

Perempuan yang sudah menjadi sahabat terbaik buat Difta sejak mereka kecil. Juga perempuan yang cintanya ia perjuangkan mati-matian sampai harus bersaing dengan Rizal.

Difta dan Rizal memang rival abadi.

Dari kecil diasuh oleh ayah mereka untuk terus bersaing mendapatkan yang terbaik. Setiap mendapat pencapaian, mereka akan diberi hadiah. Dengan harapan, mereka bisa terus termotivasi buat melakukan kebaikan terus menerus, berkembang, dan berani menerima tantangan.

Tanpa disadari bahwa didikan yang semacam itu justru memicu kebencian yang nggak kalah abadinya di benak Rizal. Rizal adalah anak dari istri pertama, tapi Rizal nggak pernah menang dalam hal apa pun dari Difta.

Prestasi sekolah, karir, dan asmara.

Semuanya Difta, Difta, dan Difta.

Paling puncaknya, ketika ayah mereka meninggal. Seolah sudah mendapat firasat, sang ayah memberi mereka tantangan. Keluarga mereka memiliki kebun teh, kebun bunga dan peternakan sapi di daerah Cianjur. Ketiga aset itu sedang buruk-buruknya saat sang ayah mulai merasa sekarat.

Hingga akhirnya, Difta dan Rizal dikerahkan untuk bersaing. Barang siapa bisa mengembalikan kehidupan di dua aset itu, bisa menaikkan omset, mengembalikan kejayaan, maka dia lah yang akan mendapat jatah warisan atas tiga omset itu.

Hasilnya?

Lagi-lagi, Difta yang menang.

Walau akhirnya Rizal juga mendapatkan jatahnya sendiri, tapi dia nggak puas karena jelas-jelas apa yang dimiliki Rizal lebih banyak darinya.

Rumah yang sekarang Rizal tempati, adalah rumah mereka semasa kecil. Begitu orang tua mereka meninggal, Difta memutuskan hidup di Jakarta bersama Salli.

Rizal tertinggal di rumah lama mereka, bersama lahan kebun teh yang lumayan luas hasil dari warisannya.

"Kenapa kamu tiba-tiba tanya soal ibu, Gha?"

Egha tersenyum, lalu menelan ludah, sedikit takut tapi harus dia beranikan  demi nasib saudaranya. "Kangen, Yah. Egha kangen banget sama ibu. Egha juga kangen banget sama saat-saat kita ngumpul berempat. Ada Ayah, ada ibu, ada kakak, ada aku. Ibu kan seneng banget kita ngabisin waktu bareng-bareng. Tapi sayang banget, sekarang udah nggak pernah. Cuma ada aku sama Ayah sekarang."

Difta menunduk.

Sedikit banyak, dia paham benar apa yang lagi dirasain sama Egha. Dia pun sama, merindukan masa-masa yang dulu. Dimana segalanya terasa indah dan baik-baik saja. Difta juga nggak bisa bohong kalau dia kangen sama Firland.

Tapi, doktrin dari ayahnya masih terasa membekas di kepala.

Hidup itu kompetisi.

Siapa yang melakukan kesalahan, harus bersiap-siap hancur. Difta nggak mau Firland hancur, makanya dia mencoba bersikeras mendidik Firland buat menjadi sosok yang mau berubah dengan cara diasingkan di Puncak. Dengan harapan, Firland bakalan mau ngaku kalah dan salah.

BROTHER IN DRIZZLE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang