BID 36 : Everything Is Not What It Seems

1.3K 219 59
                                    

Tadinya, Foa mau mengirim sinyal bahaya lewat chat ke Flora atau Evandrre. Kedatangan Seaver yang bikin dia nyaris mati berdiri itu terasa terlalu cepat dan tiba-tiba.

Takut mendominasi. Tapi, jauh di dalam sanubarinya, Foa bahagia bisa ketemu sama Seaver. Seaver kakak yang ganteng. Sama kayak Firland. Foa nggak bakalan malu kalau pergi gandeng-gandeng mereka dan ngasih tahu ke semua orang kalau Seaver dan Firland itu kakaknya.

Tapi, ada yang beda. Kalau Firland selalu bikin dia bahagia, Seaver justru kebalikannya. Katanya, Seaver justru mau minta jantungnya. Seaver ingin hidup sementara Foa harus mati.

Foa merengut ngeri. Mau napas saja takut, apalagi mau mengeluarkan handphone dari dalam tasnya. Sopir di mobil Seaver orangnya galak. Dari tadi Foa dilirik pakai tatapan mata yang tajam dan sinis. Sementara Seaver di sampingnya justru senyum-senyum nggak jelas.

"Aku laper," kata Foa takut-takut.

"Kita cari makan kalau gitu." Seaver tersenyum hangat tapi Foa buru-buru menggeleng.

"No! Just take me home." Sebenarnya, itu akal-akalannya Foa saja biar dia bebas dari suasana menegangkan itu.

"Forrandre," panggil Bagas. Laki-laki itu memiringkan badan sampai bisa menatap Foa dari mata ke mata. "Tolong hargain Seaver. Dia bela-belain mau ketemu kamu pas dia lagi sakit kayak gitu."

"Aku nggak nyuruh dia nemuin aku ya, Om!" Kali ini Foa balas dengan agak meninggikan suara. Seaver agak terkejut mendengarnya. Tubuhnya ia sandarkan sepenuhnya ke bangku sambil mencoba mengatur napas. Jangan sampai dia tumbang di pertemuan pertama dengan Foa.

"Seav! Kamu oke?" Bagas mulai panik. Dia keluar dari mobil dan membuka pintu di belakang kemudi. Dada Seaver ia usap-usap, sementara matanya menatap tajam ke arah Foa yang mengkeret di tempat.

Dustin sih juga bengek. Capek sedikit asma, capek sedikit asma. Tapi, kalau lihat Dustin kambuh, Foa justru ketawa-ketawa. Muka Dustin yang pucat itu lucu di mata Foa. Belum lagi suara napasnya yang Leon bilang jadi mirip pompa ban sepeda.

Tapi, sekarang, Foa juga ikut panik sendiri pas lihat Seaver sesak napas. "Dia kayak gini gara-gara aku ngomong kenceng tadi, Om?"

Bagas nggak menjawab. Dia sibuk menangani Seaver. Menyiapkan obat dan airnya lalu memasukkannya ke bawah lidah Seaver dengan telaten. "Hisap, Seav. Pelan-pelan."

Seaver agaknya sudah terbiasa dengan hal semacam itu. Pemuda itu bahkan nggak panik. Gerakan tubuhnya masih terarah meski lemah. Dia mendengar semua instruksi dari Bagas dengan benar sambil sesekali melirik ke arah Foa yang terdiam di sampingnya.

Setelah bermenit-menit berlalu, Seaver membaik. Nggak membaik sepenuhnya, dadanya masih sesak dan agak sakit, tapi segalanya masih bisa dia kondisikan. Termasuk tangannya yang sekarang meraih tangan Foa, menggenggamnya dengan erat.

Bagas menghela napas lega. Dia berdiri, menutup pintu di samping Seaver sambil membuka beberapa kancing kemejanya. Melihat Seaver kambuh sudah biasa, tapi paniknya seolah nggak ikut terbiasa.

Dia kembali duduk di bangku pengemudi dan meminum air mineralnya dengan brutal.

"Ehm ... kamu sakit beneran?" Foa mencicit takut. Tubuhnya duduk miring, bersandar kaku di pintu, dengan asumsi bisa jauh-jauh dari Seaver.

Seaver mengangguk. "Dari bayi udah begini, Fo."

Foa melongo. Dari bayi sudah begitu kayak apa rasanya? Pantesan kalau cowok itu ngebet mau minta jantungnya. Pasti dia sudah ingin merasakan hidup jadi orang yang sehat, yang dadanya nggak perlu sakit hanya karena dengar ada suara kencang.

BROTHER IN DRIZZLE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang