BID 40 : Running Out The Time

1.8K 247 81
                                    

"Fir, udah. Jangan nangis. Foa bakalan baik-baik aja." Seaver berusaha mengulurkan tangan untuk menepuk bahu Firland yang sedang menangis di sisi ranjangnya.

Beberapa saat yang lalu ketegangan terjadi. Ayah dan ibunya melesat keluar ruang rawatnya tanpa berkata apa-apa. Seaver nyaris ingin bangun, tapi nggak jadi ketika pintu ruangannya kembali terbuka dan muncul sosok Firland dari sana.

Firland bilang Foa kecelakaan.

Kepala Foa berdarah sangat banyak. Sudah dipanggil ribuan kali pun Foa nggak mau bangun dan membuka mata. Firland takut bukan main. Sementara Seaver mati-matian berusaha tenang.

"Kamu yang tahu gimana Foa, Fir. Foa nggak bakalan ninggalin kita." Seaver menghela napas, nggak kuat lagi dia bicara banyak-banyak di saat setiap tarikan napasnya saja terasa sangat menyakitkan.

Firland terisak. Ini pertama kali dia menangis di hadapan orang lain. Nahasnya, orang itu adalah Seaver. Orang yang bahkan nggak boleh memendam emosi sedikit pun dalam segala bentuk. "Maaf."

Firland menghapus air matanya. Lalu duduk tegak menatap Seaver dengan penuh pengharapan. "Maaf aku nggak tahu kenapa aku bisa kayak gini. Takut banget aku, Seav. Aku nggak mau Foa kenapa-napa. Maafin aku udah ganggu istirahat kamu, Seav."

Seaver menggelengkan kepala. Ingin menghibur Firland tapi nggak berdaya. Dadanya sangat sakit jujur saja. Kabar Foa yang kecelakaan, Firland yang datang-datang menangis. Semuanya memberikan tekanan.

"Fir ... aku nggak yakin bisa." Seaver berusaha tersenyum. Tangannya dengan lemah menggenggam tangan Firland yang kembali terperangah.

"Nggak bisa apa? Nggak bisa apa, Seav?"

"Aku nggak yakin bisa ketemu Foa lagi. Aku udah capek." Seaver menangis.

Lantas, seolah alarm berbahaya berbunyi di kepala, Firland berdiri dengan brutal. Dia menunduk, menyentuh bahu Seaver sambil menatap dan menangis. "Enggak! Kamu nggak boleh bilang capek. Foa bilang dia seneng banget punya kakak kamu. Keinginan Foa harus terkabul, Seav. Kamu nggak boleh nyerah. Kamu harus ada pas Foa bangun nanti."

Seaver menggeleng. Sementara bed side monitor di sampingnya mulai menunjukkan grafik aneh sebagai pertanda buruk.

"Seav, tolong. Kamu nggak boleh kayak gini! Kamu nggak boleh pergi. Foa butuh kamu. Aku nggak bakalan bisa nemenin dia lebih lama lagi, Seav. Jadi, kamu yang nggak boleh pergi. Kamu yang harus jadi kakak buat dia. Kamu yang harus jadi kakak buat dia, Seaver!"

Firland berteriak histeris. Apalagi saat tubuh Seaver melemah. Matanya sayup-sayup menutup. Firland berdiri, meremas rambutnya sendiri. Lantas memukul dadanya sedetik kemudian.

Pemuda itu lantas kembali meneguhkan niat, dia harus menolong Seaver.

Seaver adalah satu-satunya yang bisa menjaga dan membahagiakan Foa sampai mereka tua.

Firland menangis, lalu setelah menguatkan diri, dia bergegas keluar. Berteriak minta tolong, lantas berpapasan dengan empat tenaga medis yang mengarah ke kamar Seaver.

Kaki Firland kembali melangkah, ingin ikut serta melihat Seaver. Menahan pemuda itu supaya nggak ke mana-mana. Tapi tertahan di ambang pintu. Saat itulah Firland tahu sampai mana batasannya.

Selamanya, dia nggak akan bisa berbuat lebih.

"Seav, kamu yang harus ngasih tahu kalau aku juga pengen banget jadi kakak benerannya Foa. Kamu yang harus ngasih tahu kalau aku juga pengen di sini selama-lamanya. Sama kalian."

Sedetik kemudian, tubuh Firland luruh. Roboh ke lantai, dengan air tumpah ruah dari mulutnya. Pemuda itu gemetaran. Nggak ada satu orang pun di sekitarnya. Nggak ada satu orang pun yang bisa menolongnya.

BROTHER IN DRIZZLE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang