BID 28 : Dendam Si Adik

1.3K 214 25
                                    

Foa kecewa sekali akhir-akhir ini.

Doa yang ia panjatkan sama sekali nggak manjur. Tuhan belum mau menurunkan hujan. Itu artinya, sudah empat hari dia nggak ketemu sama Firland sejak malam mingguan bareng Firland di Bukit Gantole.

Hari ini, Foa memberanikan diri datang ke rumah Rizal.

Sudah berulang kali dia mengetuk pintu. Tapi nggak ada yang membuka pintu. Ah, boro-boro membuka pintu. Salamnya dijawab saja nggak.

Foa membalikkan badan. Mengelilingkan pandangan ke halaman rumah Rizal yang lumayan luas. Asri banget. Banyak pepohonan. Banyak tanaman-tanaman cantik di pinggiran rumah.

Melihat betapa sepinya rumah itu, Foa malah semakin mengkhawatirkan keadaan Firland kalau lagi nggak sama dia.

Seperti apa kehidupan Firland, bagaimana Firland menjalani kehidupannya sehari-hari?

Kaki panjang Foa bergerak ke samping rumah.

Matanya memicing melihat ada sebuah pavilion kecil di belakang rumah sana. Tapi untuk mendekatinya, Foa nggak bisa. Karena dari tempatnya berdiri ke arah pavilion itu membentang sebuah kolam ikan yang lumayan besar. Sebelah kanan kolam sudah mentok ke tembok rumah Rizal. Sementara sebelah kiri kolam ada sejengkal tanah yang ditumbuhi pohon salak yang ukurannya besar dan menempel ke pagar keliling rumah itu yang terbuat dari tembok setinggi dua meteran. Plus, pecahan beling-beling tajam di atas tembok. Hiii!

Foa balik ke depan rumah, berharap menemukan jalan dari sisi rumah yang lain. Tapi sayang, lahan di sisi rumah Rizal yang lain digunakan untuk tempat budidaya madu. Foa bergidik, membayangkan ada ribuan lebah yang berdiam diri di dalam rumah-rumah kotak itu.

"Assalamualaikuuuumm!"

Foa memutuskan buat berteriak memberi salam sekali lagi di depan pintu utama. Tangannya mengetuk pintu berkali-kali. Tapi nihil.

Rumahnya kayak rumah mati. Kosong!

Masih belum puas, Foa bergerak ke pintu samping, yang berada tepat di dekat kolam ikan. "Assalamualaikum, Ya Ahli Kubur!"

Foa terkekeh sendiri.

Dia baru saja meniru gaya salah satu teman sekelasnya setiap kali masuk kelas.

"Firland! Yuhuu! Aku dateng nih! Om! Om Rizal! Om Rizal, main yuk!"

Hampir tiga puluh menit sudah Foa ada di depan rumah itu tanpa hasil. Sekali lagi ia menoleh ke arah pavilion itu. Pavilion biasa yang justru mendistraksi otaknya.

"Di telaga nggak ada, di rumah juga nggak ada. Firland ke mana sih?"

Foa membungkuk, memungut sebuah batu, dan melemparnya ke salah satu ayam yang sedari tadi hilir mudik di halaman.

Bersamaan dengan ayam yang berkokok kesakitan karena dilempar batu, Foa mengangkat bahu, dan bersiap melompati pagar halaman rumah Rizal.

Ya, Foa masuk seperti maling. Keluar juga seperti maling.

***

"Ampun, Fir! Ampun!"

Lagi, untuk yang kesekian kalinya, Kieva menderita di bawah alam sadarnya.

Cowok itu bangkit dari kasurnya cepat-cepat. Akhir-akhir ini kesalahannya terhadap Firland semakin menghantui hidup. Dalam segala aktivitas dan mood, Kieva selalu terbayang wajah Firland.

Firland menuntut kebenaran. Sayangnya, Kieva nggak punya keberanian.

"Bang!"

Kieva menoleh ke arah pintu. Raya, adiknya mengetuk pintu dengan brutal. "Buka, Bang!"

BROTHER IN DRIZZLE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang