BID 35 : Misi Para Sahabat

1.3K 227 18
                                    

Terjadi sebuah konferensi penting dan serius di salah satu restoran seafood di Pantai Jimbaran sore ini.

Ada tiga anak blasteran yang duduk sok dewasa di sebuah bangku yang terletak dekat dengan bibir pantai. Di meja itu, ada banyak sekali makanan enak yang dihidangkan. Tapi belum disentuh sama sekali. Dari tadi mereka ngobrol ini itu tapi belum ada titik temunya.

Di sudut barat laut ada pemandangan landasan Bandara Internasional Ngurah Rai. Pesawat-pesawat yang mau landing bisa terlihat dengan sangat jelas dari tempat mereka.

Itu juga yang menjadi salah satu distraksi pembicaraan anak-anak itu. Daripada serius sama obrolan mereka, Bjorn malah suka sibuk sendiri kalau lihat pesawat datang dari kejauhan. "Kayaknya kita salah tempat deh." Bjorn mengeluarkan suara sambil menancapkan garpu ke udang tepung kesukaannya. "Dari tadi setiap aku mau ngomong, pesawat-pesawat itu bikin aku noleh ke sana."

Leon juga mengangguk setuju. "Right! I like seafood, but not this place. Padet banget. Nggak ada privasi-privasinya gini."

Kepala Leon menoleh ke kanan dan ke kiri. Melihat betapa penuhnya pengunjung di pantai itu. Pantai Jimbaran ... ah nggak ... tepatnya Pantai Kedonganan memang jadi destinasi andalan buat berwisata. Di sepanjang bibir pantai berdiri restoran-restoran seafood mulai dari yang murah sampai yang kelas tinggi. Bangku dan meja-meja disebar di pantai. Pantai Kedonganan  dan matahari terbenamnya benar-benar dijadikan alat marketing yang mumpuni. Sayangnya, atraksi wisata yang satu itu lebih dikenal dengan nama romantic dinner di Pantai Jimbaran. Bukan Pantai Kedonganan.

Setiap hari, Pantai Kedonganan pasti ramai dengan ratusan atau bahkan ribuan wisatawan yang datang ke sana demi ... dinner romantis katanya.

Dustin yang diprotes—karena emang dia yang mengajak Leon dan Bjorn makan di sana—cuma bisa mengangkat bahu. "We're on the right path, Dudes."

"What's the path? Kamu emang ngebayarin kita makan sebanyak ini tapi we've been here for an hour, we're talking about this and that like forever but you tell nothing." Leon memang tukang protes kelas kakap. Sebelas dua belas sama Foa. Dulu pas mereka masih berempat, Leon dan Foa itu pasangan terniat kalau sudah ngomongin protes ini itu, debat ini itu.

Mulut lebar ketemu mulut pedas. Bayangkan saja bagaimana menderitanya Bjorn sama Dustin yang bisanya cuma nontonin.

"It's all about Foa." Dustin menyeringai lalu mulai mencomot plecing kangkung dan cumi tepung ke piringnya sendiri. Tanpa nasi, lagi diet katanya.

"Kayak kamu berguna aja, Dust. Kamu kan nggak pernah berhasil kalau disuruh mecahin masalah." Bjorn mencebik. Ketularan mulut pedasnya Leon sepertinya. "Paling juga kamu mau curhat kangen Foa, kan? Oh come on, kita semua kangen Foa. Tapi dari tadi kita udah ngomongin nasibnya Foa juga nggak ada hasil apa-apa, kan?"

Dustin agaknya gerah juga. Ditenggaknya air kelapa di depannya tanpa sedotan. Mungkin sampai isinya habis. Dipepet Leon sama Bjorn rasanya nggak enak. Begitu air kelapanya kering kerontang, Dustin membuang kelapa itu sembarangan di sela-sela bangku satu dan bangku yang lain.

"Stupid! Jangan buang sampah sembarangan, Dust. Kelapa itu nggak salah. Tapi kalau sampai dia bikin orang jatuh karena kesandung, kamu yang salah!" Leon berteriak sambil beranjak dan memungut kelapa bekas Dustin, lalu meletakkannya di kolong meja. Leon memang seperti itu, tidak percaya adanya Tuhan, tapi percaya kalau manusia itu menjadi baik karena memang harus! Salah satunya dengan nggak membuang sampah sembarangan dan nggak mencelakakan orang lain.

"Habis, kalian tuh dari tadi nggak paham-paham, ya. Aku tuh sebenarnya udah mau bilang ini dari tadi. Tapi apa, kalian tuh tipikal mulut-mulut yang nggak bisa jaga volume tahu nggak?"

BROTHER IN DRIZZLE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang