Kuparkirkan mobil ku di dekat pepohonan di ujung dari tempat parki, sengaja kulakukan untuk mengawasi telebih dahulu apakah ada tanda-tanda dari keberadaan dia. Perlahan aku keluar dari mobil dan berjalan menuju tangga rumah sakit. Namun aku melewati tangga efakuasi darurat, tidak menggunakan lift yang justru malah meningkatkan resikoku ketahuan oleh dia.
Namun rasa khawatirku bertambah ketika aku sudah berada di lantai tiga, sedikit ku lihat dari kaca pintu tidak ada orang yang berada di sepanjang koridor, hanya suster dan perawat yang sesekali melintas. Mempertimbangkan sebab dan akibat ku massage bik Jihan untuk bertanya dan memastikan apakah dia ada di rumah sakit ini.
"bik.. apakah ada dia di situ?" Send!
Sembari menunggu, ku sandarkan punggung ke dinding untuk sedikit melepas penat, ku lihat jam tangan yang di belikan bik Jihan saat ulang tahunku, menunjukkan pukul 21.38 yang berarti sudah hampir larut malam. Bahkan sempat di serang oleh kantuk yang hinggap sementara di lamunan mimpiku, namun kembali terbangun karena getaran dari handphone milikku.
"beliau pergi lagi den.. katanya besok ke sini lagi." Balasan dari bik Jihan.
Segera ku langkahkan kaki menuju ruang inap nomer 203. perlahan akan ku ketok pintu ruangan, langsung teringat bahwa aku membawa martabak kesukaan bik Jihan dan mama tapi tertinggal di mobil. Segera aku berlari menuju parkiran untuk mengambil buah tangan itu. Sekelibat terlihat olehku banyak orang yang sedang menderita di dalam rumah sakit ini. Namun, ku tepis semua prasangka-prasangka kotor ku dan ku alihkan kembali menuju mobil yang ku parkirkan tadi.
Ku lihat hanya tinggal tiga buah mobil yang tersisa di parkiran ini, sempat rasa takut menggelayuti namun ku tepis dengan kebodohan. "di tangga efakuasi darurat aku sendiri ngga takut, kenapa malah di sini takut? Ah.. bodoh.." dengan santai ku tarik nafas dalam dan melangkah santai ke arah mobil. Ku buka pintu dan kuambil martabak yang baru saja ku beli saat perjalanan kemari.
Aku pun kembali ke ruangan tempat mama di rawat, namun dari kejauhan ku lihat seseorang yang mungkin aku kenal. Dari postur tubuh dan cara berakaiannya tak salah lagi, mungkinkah dia?. Akupun mempercepat langkahku mengikutinya untuk memastikan benar orang yang ku maksud atau hanya orang lain saja. Ku dekati orang itu dan ku lihat dari samping kanannya.
"Aisyah..?"
Ia menoleh ke arahku dengan mata yang berbinar seakan telah tumpah sejuta kesedihannya di atas dunia. Ia mengusap dengan kedua tangan bekas-bekas dearaian pada kelopaknya.
"kak Toni ya..?"
Sempat merasa bersalah dalam hati, mengganggu orang yang sedang bersedih. Namun, tak apalah pikirku untuk mengalihkan kesedihannya.
"kamu kok di sini?" ucapku membuka obrolan.
"ehm.. iya.." nampak merah wajahnya, entah marah atau sedih yang berlebihan hingga mungkin ia menyalahkan dirinya sendiri. "mamaku sedang di rawat di sini kak.."
Merasa canggung di buat oleh suasana segera ku alihkan ke arah yang lain.
"eh.. don't be sad, banyak loh orang yang lebih sedih dari kamu, so tetep semangat dong.." dengan senyum lebar ku lemparkan kepadanya, berharap dia tidak lagi bersedih
"hmm.. iya kak" ia kembali mengusap matanya dan mengubah pancaran wajahnya. "eh.. kak Toni sendiri kenapa di sini?"
"tadi udah mau ke ruang rawat mamaku, but martabak ini ketinggalan hehe.." sambil ku angkat martabak yang ku beli tadi.
Setelah banyak bercakap-cakap, kami berdua pun sudah sampai di lantai dua rumah sakit dan ia berpamitan untuk pergi ke ruangan tempat ibunya di rawat. Dan segera ku lanjutkan menaikki lift ke lantai tiga. Sepanjang lorong pavillion sembilan, hatiku berkecamuk aneh dengan bukti sesekali senyum mengembang dari mulutku. Bahkan aku tidak tahu menahu atas alasan apa senyuman terus menerus mencuat dari raut wajahku.
Kembali ku ketuk pintu ruangan bertuliskan angka 203, namun sekarang dengan keadaan lebih siap. Tok.. tok..
Pintu di buka kan oleh seseorang, sempat khawatir dan bertanya siapa yang membukakan pintu, namun ternyata bik Jihan yang membukakannya.
"makasih bik.. gimana keadaan mama?" tanyaku sambil berbisik.
"nyonya sudah bangun dan sadarkan diri den.."
Akupun memberikan bingkisan yang aku bawa ke bik Jihan, dan mempersilahkan bik Jihan untuk memakan martabak kesukaannya. Ku lihat mama sedang beristirahat, dengan selimut hijau membalut seluruh tubuhnya kecuali kepalanya. Ku kecup dahi mama, dan ku usap rambut mama dengan senyum menerpa wajahku. Maaf Maam
Akupun kembali ke tempat bik Jihan duduk dan menutup kembali kelambu cokelat bercampur emas dengan surai di bawahnya. Ku hampiri bik Jihan dan ku rebahkan badanku untuk benar-benar melepas penat, bik Jihan melihatku dengan raut iba melukis wajahnya.
"gimana tadi bik?" kataku dengan nada perlahan, dengan masih bersandar pada sofa sofa merah yang dingin akibat hembusan pendingin ruangan.
Bik Jihan yang tengah mengamatiku pun memposisikan dirinya dan mengambil nafas dalam hingga terdengar derunya ke telingaku.
"tadi pagi tuan ke sini, dan beliau masuk ke ruang inap nyonya. Ke dua bawahannya di suruh nunggu di luar.. termasuk bik Jihan." Jelas bik Jihan dengan nada pelan. "sekitar dua puluh menit tuan Basmono keluar dan menanyakan den Toni."
"dia tanya apa bik?"
"tuan cuman tanya den Toni dimana.. bik Jihan jelaskan seperti yang aden bilang kemaren.."
"gitu doang kan bik... aku sudah paham" kataku menyela cerita bik Jihan.
Bik Jihan terdiam beberapa saat, beberapa saat itu sangat hening dan sunyi hingga suara mesin AC pun terdengar perlahan.
"iya den.. dan tuan Basmono berpamitan pergi kembali ke Singapura untuk melanjutkan urusannya.."
Aku pun sudah menduga semua jawaban dari papa akan seperti itu, dan selalu seperti itu. Akupun melepas jaket yang ku kenakan dan menutup wajahku dengan jaket berharap dapat beristirahat.
"kapan besok dia kesini bik? Dan sampai kapan?"
Bik Jihan beranjak ke sofa di depanku – diruangan terdapat dua sofa – agar aku dapat beristirahat dengan maksimal.
"besok siang mungkin tuan Basmono datang.. tuan ngga ngasih tahu bik Jihan sampai kapan di sini." Kata bik Jihan.
"oh.. makasih bik, itu martabaknya bibik makan ya.. tadi aku beli di jalan."
Dengan masih bertutupkan jaket, ku posisikan badanku merebah di bantalan sofa. Di dalam jaket mata tak mampu lagi membendung perihnya setiap kata yang di ceritakan oleh bik Jihan. Perih sekali rasanya, seakan ribuan jarum yang menusuk sekujur tubuh. Tanpa isakan ku tumpahkan segenap air mata di balik jaket hitam yang aku bawa. Sesekali nafas tertahan keluar, merasakan tiap inci penderitaan ini. Rasanya jiwaku kini sedang di ambang batas kematiannya, tak terarah dan tak memiliki arah. Beberapa kali aku menelan ludah, tanda tak sanggup menerima beban yang lebih lagi. Tercekik oleh bayangan kebohongan yang selalu ku ciptakan untuk menutupi awan kelabu di hati nurani. Hingga bayang dan cahaya tak lagi menjadi acuan untuk arah tujuan
***
A
KAMU SEDANG MEMBACA
KU KEJAR CINTA-NYA
SpiritualPerubahanku yang derastis mengundang tanya semua orang yang ku cintai mungkin kata "sok alim" sudah menjadi kata yang lumrah bahkan teman-teman ku menjuluki diriku munafik.. inilah kisahku, semoga menginspirasi kalian