LUPAKAN AKU

41 3 0
                                    


***

Rintik-rintik hujan menemani lamunan sepanjang perjalanan, palang pintu parkir berwarna merah-putih terbuka ketika kami massuk kedalam area parkir rumah sakit. Aku belari setelah membuka pintu mobil uuntuk menghindari rintikan hujan yang semakin deras yang di ikuti bawahan papa di belakangku.

"kamu sudah tahu ruang rawat mama kamu?" tanya pria itu membuka pembicaraan

Namun aku tidak menjawabnya, bahkan hanya dengan anggukan ataupun gelengan. Aku hanya berjalan melewati tangga rumah sakit dan tidak menggunakan lift. Pikiranku kacau dan hatiku terus berdebar-debar membayangkan apa yang akan terjadi nanti.

Kini aku sudah berada di lantai tiga, pavilion 9 nomer 203 tepat di ujung persimpangan lorong yang ada di depanku. Aku berhenti sejenak untuk mengambil nafas dalam-dalam dengan memejamkan mata. Di depan kamar mama terdapat seorang pria yang juga mengenakan pakaian serba hitam sedang duduk di kursi ruang tunggu. Mungkin bawahan papa yang lain, dan orang di belakang ku juga satu marga dengan pria yang berada di depan kamar mama, siapa yang peduli dengan mereka.

Dengan rambut yang masih tersisa titik-titik air, ku ketuk pintu berwarna coklat dengan degradasi hitam bertuliskan angka 203. Tanganku perlahan memegang gagang pintu yang terbuat dari stenlis, gemetar tercetak jelas dalam gerakanku. Ku buka perlahan dan terdapat seorang pria paruh baya yang mengenakan jas berwarna abu-abu sedang memegang tangan mama. Pria itu menoleh ketika mendengar suara aku membuka pintu dan kembali menatap wajah mama. Posisinya yang membelakangi pintu membuat aku tidak bisa melihat wajahnya. Papa!

"den.." terlihat bik Jihan sedang dudu di sofa dengan menundukkan pandangannya.

Aku hanya membalasnya dengan senyum dan menutup kembali pintu ruang rawat mama. Tampaknya bawahan papa yang tadi menjemputku tidak mengikutiku masuk ke dalam ruangan.

"bik.. boleh minta tolong keluar sebentar?"

"iya tuan" bik Jihan segera berdiri dan mengusap lenganku beberapa kali dengan senyum yang terlihat memaksa, kemudia ia keluar ruangan.

Kini tinggal aku, mama, papa dan suara tetasan infus serta detingan jam dinding yang terdengar jelas. Aku terpaku berdiri di tempat yang sama ketika aku masuk ruangan, keringat keluar dari pelipis kananku. Suhu AC tidak terasa bagiku, kakiku terus gemetar seakan kematian ada di depanku. Papa mengalihkan pandangannya ke jendela di sebelah tempat tidur mama, kemudian ia menghela nafas panjang seakan beban yang amat besar baru saja singgah di pundaknya.

"papa pikir lebih baik memanggilmu kesini..."

Aku hanya terdiam seribu bahasa, "perkataan bodoh macam apa itu?" menunggu ia meneruskan omong kosong yang selalu ia lontarkan.

"kamu mungkin berfikir papa adalah orang tua yang buruk..." ia tetap tidak menoleh ke araku. "orang tua yang tidak pernah di sisimu..." lanjutnya.

"tapi yang harus kamu ketahui.. papa melakukan ini semua demi kamu.." ucapnya dengan nada yang tenang. Ia kembali memandang wajah mama yang sedang tebaring lemah di atas kasur dengan selimut putih khas rumah sakit.

"kamu dan mamamu adalah alasan papa untuk terus memperjuangkan karir papa.." ia mecium tangan mama dengan lembut dan penuh dedikasi.

Aku tak bergeming sedikit pun, aku tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat dan kudengar. Yang benar saja?! Ia mengatakan banyak hal di depanku, apa ini pengakuan? Atau ia hanya bersandiwara hanya untuk mendapat simpatiku. Kucoba untuk mengendalikan diri, ku atur ritme nafasku yang telah berantakan. Sekali lagi ku coba untuk menguasai diri yang sudah hilang kendali. Kepalaku terasa pening dan tidak kuat lagi kakiku untuk berdiri. Namun tiab-tiba keluar suara dari dalam hati, mama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 24, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KU KEJAR CINTA-NYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang