prolog

6.3K 254 2
                                    


Kemudian datang silih berganti peran.

Nafas seakan tak mau melupakan setiap waktu yang telah berlalu.

Rasa yang dulu engan pergi kini seakan telah merasa senang untuk tetap duduk setia disana, menempati tempat tertinggi seperti sedia kala.

Mengizinkan rasa yang selalu ada ini menjadi sandaran ketika pulang memang sebenarnya menjadi hal yang tidak buruk.

Getir rasa cinta membuatnya seakan kokoh dalam berbagai caranya sendiri.

Cinta seakan tak ingin jika dirinya hanya di dominasi dengan rasa manis bak manisan yang selalu terasa manis untuk dikecap, namun ia berani memberikan berbagai rasa sebagai penyedap meskipun racun sekalipun.

Manusia adalah sebuah ciptaan tuhan yang begitu mudah untuk merasakan cinta, begitu mudah untuk menerima dan memberikan cinta dengan cuma-cuma.

Manusia bahkan terkadang tersenyum hanya karena ia merasa diberi cinta oleh seseorang yang bahkan tidak menoleh kepadanya.

Akankah cinta akan selamanya sekejam itu dalam menempatkan manusia?

Mungkin, tuhan memang menciptakan cinta dengan begitu setara dengan sesuatu yang dianut manusia.

Bahkan tuhan memberikan rasa cinta juga dari segenap hatinya, kepada ciptaannya.

Sehingga semua terlihat begitu indah kala dipandang, walau hanya sebelah mata.

Cinta dan sebuah keyakinan, apakah boleh disetarakan?

Mungkin saja bisa, jika memang tuhan menghendaki seduanya berjalan seirama. Namun, apakah saat ini membicarakan kemolekan keyakinan? Tidak, kita sedang membicarakan topik hangat yang selalu hadir di setiap langkah kita.

Cinta, begitu kontras dengan berbagai rasa yang ia berikan.

Rafael ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang