Rafael [4]
Nadyla menutup kasar pintu kamar tamu yang ditempati oleh Yoga. Kakinya melangkah cepat, diambilnya jaket dan sepatu. Matanya memandang berbagai nama di kontaknya. Setelah menemukan kontaknya Nadyla segera mendial.
"Dimana Rafael?"
Tanpa basa-basi lagi, Nadyla yang dulu suka terkadang bertele-tele saat ini lebih suka langsung bertanya ke inti."Club,"
Nadyla langsung menutup sambungan telephone sepihak dan langsung keluar. Bertepatan dengan Reno yang baru menyelesaikan panggilan alamnya.
Melihat sang adik terburu-buru untuk keluar, Reno sejenak melihat pukul berapa saat ini. Mata Reno melebar mau kemana Nadyla selarut ini,pikir Reno.
Tanpa berucap Reno mengikuti Nadyla yang notabene tidak pernah keluar malam jika tidak diseret olehnya, saat ini keluar malam membuat Reno sedikit was-was.
Setelah motor Nadyla melesat pergi, Reno juga melajukan motornya untuk mengekor kemana Nadyla pergi.
Reno mengeleng tidak mungkin setelah kurang lebih tigapuluh menit perjalanan Reno tidak menyangka gadis seperti Nadyla memasuki kawasan berbahaya menurutnya. Masuk kedalam club malam dengan pakaian tidur ini sungguh aneh.
Reno mengikuti langkah Nadyla setelah memakirkan motornya disamping Nadyla.
"Mau apa dia?"
Detuman musik terdengar begitu menusuk telinga mata Nadyla meliar mencari dimana lelaki itu, lelaki yang sudah berani menyakiti Yoga-nya.
Nadyla tersenyum sinis, melihat begitu banyak orang yang bercumbu di kanan-kirinya tanpa tau malu. Nadyla menemukan lelaki yang ia cari juga sedang bercumbu dengan seseorang yang juga ia kenal.
Nadyla melangkah menarik paksa cumbuan mereka hingga terlepas. Reno yang melihat hal itu sedikit menungingkan senyum miringnya. Adegan yang menarik,batinnya.
Bugh
Kepalan tangan Nadyla menghantam wajah Rafael. Membuat luka sobekan dibibir Rafael mengeluarkan darah. Sherlin yang melihat hal itu segera membalik tubuh Nadyla dan menamparnya keras. Sorot tajam mata Nadyla mengalahkan sorot tajam mata Sherlin.
Sherlin sedikit kalah saat tamparannya tidak membuat Nadyla meringis kesakitan, bahkan garis wajah Nadyla kini sangat tegas, amarah sudah menyelimuti Nadyla.
Nadyla kini melayangkan tamparan di muka Sherlin. Sherlin yang menadapat tamparan yang begitu panas dan sangat kuat meringis sakit. Ia sungguh tak tau, perkembangan apa yang terjadi di diri Nadyla enam bulan belakangan. Mengapa Nadyla terlihat begitu menyeramkan sebelum kejadian beberapa waktu silam.
Sherlin memegangi pipinya yang tercetak tangan Nadyla disana. Perih bahkan menghampiri pipinya, belum pernah ia merasakan tamparan sebegitu keras dan menyakitkan.
"Lo apa-apaan."
Rafael menyentak tangan Nadyla, dan membawa cewek itu keluar dari sana. Reno kebali mengikuti kedua sejoli yang tengah dilanda perang.
"Apa masalah lo??"
"Lo mukulin Yoga, dan itu masalah gue."
"Lo masalahin hal itu? Lo tau itu masalah gak penting!"
"Itu penting karna wajah Yoga lebam karna lo."
"Itu bukan karna gue! Itu karna lo Nadyla mikir coba,"
Nadyla terkesiap mendengar hal itu. Keterkejutan tidak membuat mimik muka marah Nadyla turun. Ia mampu menyembunyikan ekspresi wajahnya.
Nadyla tersenyum sinis, sorot matanya membalas mata Rafael dalam.
"Gue? Kenapa harus gue? Bukannya gaada yang harus kita bicarakan tentang gue?"
"Biar gue kasih tau Nadyla terhormat. Lo itu cewek yang egois, bahkan saat ini lo masih begitu egois. Lo gak tau gimana rasanya diposisi gue Dyl!"
"Lo selalu lihat dari sisi lo aja Raf. Mikir, semua itu gaada yang berjalan tanpa alasan. Gue melakukan itu karna sebuah alasan!"
Reno masih saja melihat, bagaimana kelanjutan dua orang yang sedang marah-marah di dalam dinginnya malam dan waktu sudah berlalu semakin malam. Bahkan dirinya harus sedikit mengeratkan jaketnya karna dingin.
"Alasan? Lo bilang alasan? Lo selalu menyalahkan orang lain Nadyl!"
"Gue kasih tau Raf, cewek di dalem sana gak bener! Cewek lo gak bener!"
Tamparan itu melayang di wajah Nadyla, begitu membuatnya mengumpulkan tenaga untuk menangis malam ini.
"Jangan jelekin cewek gue, ngaca Nadyl lo juga begitu!"
"Lo nggak ngerti Rafael. Lo nggak ngerti alasan dia bilang begitu."
Keduanya menoleh, Reno sudah tidak tahan bagaimana sesaknya melihat adiknya menangis karna disakiti lelaki. Reno berjalan memeluk Nadyla yang masih memengangi pipinya yang memerah.
"Lo cowok pengecut, lo gak tau akar masalahnya dan lo seenak jidat ngatain Nadyla cewek ngak bener?"
Kini amarah Nadyla berpindah pada Reno. Kakak tirinya itu sedang marah untuk membela dirinya.
"Ayo pulang Nadyla, lo gaada perlu disini. Biarin cowok ini mikir dimana kesalahannya sendiri."
Reno memengangi kedua pundak Nadyla dan mengiringnya pulang, Rafael yang sengaja di tabrak oleh Reno hanya diam. Pikirannya jungkir balik saat ini. Entah karena kebodohannya atau sesuatu di sudut hatinya yang membuatnya menjadi sepengecut ini menjadi pria.
***
Sudah gelas ke delapan dan Rafael masih belum mau berhenti untuk menyudahi acara minumnya. Ego Rafael saat ini berada dipuncaknya, kepalanya hampir saja pecah memikirkan gadis yang datang kembali setelah sekian bulan berusaha ia lupakan jejaknya.
Sherlin menyudahi gelas yang selanjutnya akan ditengak isinya oleh Rafael, ia membawa Rafael untuk pergi dari tempat malam. Sherlin berhasil membawa Rafael untuk di bawa pulang.
Sejenak setelah Rafael sudah terduduk di kursi penumpang di samping kemudi, Sherlin berpikir akan dikemanakan Rafael. Pasalnya ia sampai saat ini tidak pernah menginjakkan kakinya ke rumah Rafael. Bahkan rute jalannya pun ia tak mengerti.
Sherlin mengerti akan dia bawa kemana Rafael malam ini, semoga saja ia benar melakukan hal ini.
***
Sherlin berhenti di sebuah rumah yang begitu indah meskipun matahari tak lagi menyinari. Rumah itu begitu nyaman dilihat, cahaya lampu yang tertata rapi di pinggir jalan menuju pintu besar di depannya. Di samping kanan dan kirinya terdapat begitu luas taman dengan berbagai macam bunga.
Sherlin turun dari kemudinya lalu berjalan untuk membuka pintu Rafael dan mengiringnya untuk ikut berjalan mememui sang pemilik rumah meskipun ia tau ia sedang menganggu jam istirahat sang pemilik rumah.
Setelah ketukan ketiga pintu terbuka, menampilkan sosok yang selama ini sudah ia jauhi. Sosok yang ia sakiti untuk mendapatkan Rafael, sosok yang menjadi alat mainnya saja ketika perasaan lelaki itu padanya begitu tulus. Air matanya turun, melintas begitu saja di pipi Sherlin yang putih.
Cepat-cepat Sherlin menghapus jejak air matanya dengan punggung tangan, dan tersenyum sekilas. Senyum yang sangat tulus.
"Reno, titip Rafael ya. Gue pulang dulu."
Setelah Sherlin mendudukkan Rafael pada salah satu kursi yang memang disediakan untuk bersantai didepan rumah. Sherlin langsung pergi tanpa berpamitan lagi, bahkan untuk sekedar menoleh saja ia tidak sanggup.
***
📌 don't forget to give me your comment and vote

KAMU SEDANG MEMBACA
Rafael ✔
Novela JuvenilLelaki sebenarnya terlalu egois berkata bahwa ia tidak terluka. Lelaki terlalu egois mengatakan ia akan selalu kuat. Lelaki juga punya begitu banyak rasa seperti yang perempuan rasakan. "Kita juga manusia, bukan hanya perempuan yang memiliki peras...