Club

2.6K 175 9
                                    

Rafael [3]

Dia bukanlah seseorang yang akan menjadi yang pertama lagi setelah dia berani menyakitimu
-otak-

Lelaki berjambul berpakaian selana hitam dengan kaos abu-abu polos yang nampak santai namun mengetarkan hati wanita, di tambah jaket hijau army yang ia pakai dan sepatu convers putih menambah tatapan memuja itu tidak lepas dari dirinya.

Ia berjalan, menuju meja bartengger lalu duduk di sebelah wanita berpakaian mencetak tubuhnya. Ia tidak mempermasalahkan kehadiran cewek itu yang ia permasalahkan adalah bagaimana cara beban pikirannya berkurang malam ini.

"Yang biasa Ka,"

Ujarnya pada salah satu bartenger yang memang sudah mengenalnya. Yang dipanggil menganguk, seseorang itu tau apa yang diinginkan bocah berwajah lusuh dihadapannya. Lelaki itu sejenak pergi dari lingkup bartenger lalu kembali lagi untuk meracik pesanan.

Setelah meracik ya, lelaki dengan celana hitam dan kaos hijau memberikan pesanannya, ia lalu ikut duduk berhadapan dengan sang pembeli yang dipisahkan oleh meja bartenger.

"Kenapa wajah lo Raf? Tumben kek gitu? Ada masalah?"

Rafael yang ditanya, memilih bungkam. Ia menengak minuman berwarna biru itu, rasa terbakar dan pahit mendominasi.

Kini rokok sudah berada diantara telunjuk dan jari tengahnya. Rafael menyulut rokoknya dan menghisapnya dalam. Rasa tenang kini menghampirinya, walaupun tempat mencari ketenangan bukanlah suatu tempat dengan keadaan sunyi.

Tempat ini begitu ramai, berlambah malam bertambah ramai. Suara musik yang memekikkan telinga begitu terasa ingin merusak organ luarnya dan dalam sekaligus.

Leher itu kini di lingkari tangan seorang gadis yang sudah berdiri di sampingnya.

Senyum gadis itu membuatnya terusik. Rasa tenangnya kini diusik, namun perlahan Rafael tersenyum kecil. Wanita yang sedang duduk di sampingnya sudah berdiri di belakangnya, memeluk leher Rafael posesif.

"Sherlin kangen Rafael."

Rafael hanya tersenyum untuk menangapi. Dunia malam sejenak lebih mengasyikkan dari pada saat mentari menjunjung tinggi cahaya hangatnya.

Sherlin membalik tubuh Rafael, lalu menangkup wajah Rafael membawanya mendongkak untuk melihatnya.  Setelah ia keluar dari sekolah dan dengan sedikit bermain dibelakang ia akhirnya bisa memiliki Rafael sepenuhnya.

Sherlin memperhatikan wajah Rafael, ada sobekan di bibir dan lebam di pipi, meskipun cahaya begitu temaram. Ia masih bisa melihat luka itu saat ini. Mata bersoftlennya bergerak, memperhatikan lebih jeli lagi lalu menyentuh luka itu perlahan.

"Kenapa?"

Rafael hanya tersenyum menangapi, lalu mengeleng pelan. Sherlin tau lelaki dihadapannya ini selalu datang saat keadaan benar-benar tidak stabil. Sesaat setelah tawuran kek, setelah ia bertikai dengan sang ayah, atau saat sedang memikirkan mantannya, Nadyla.

Berbicara Nadyla Sherlin sangat muak dengan gadis itu, meskipun raga Rafael telah bisa ia peluk setiap hari. Namun, jiwa Rafael masih tetap menjadi milik Nadyla seutuhnya dan itu membuat Sherlin selalu ingin marah mengingat gadis itu.

"Kenapa?"

Saat ini Rafael yang bertanya, dan Sherlin mengeleng kecil lalu tersenyum cerah.

Rafael memeluk perut Sherlin, membenamkan kepalanya disana. Menghirup dalam aroma baru yang ia kenal beberapa bulan belakangan dan ia sejenak bisa tenang.

***

Nadyla mengerutkan kening, ia sedang membuka buku fisika yang penuh dengan rumus. Ia tidak mengerti dengan materi ini dan besok adalah waktunya ulangan.

Nadyla membolak balikkan bukunya, ia sudah lelah belajar padahal waktu masih menunjukkan pukul setengah sembilan. Dan biasanya ia akan bisa tertidur pada pukul sepuluh.

Nadyla menutup bukunya ia penat belajar terus, Nadyla sudah belajar lebih dari delapan jam disekolah dan harus menambah di rumah dua jam lagi karena suruhan orang tua.

Kadang Nadyla ingin menolak suruhan orang tuanya, yang berpikir dia tidak pernah belajar sekalipun. Padahal, dia sudah lebih dari cukup belajar di sekolah. Dan itu membuat otak panas dan hampir pecah.

Nadyla menaiki tempat tidurnya, menscroll segala notivikasi yang muncul saat ia menghidupkan data internet dan dengan sedikit kecewa karena tidak ada yang spesial seperti beberapa bulan yang lalu.

Nadyla mengerutkan kening saat ada banyak pesan dari Yoga. Dan Nadyla sebal seketika saat membuka chat Yoga yang isinya hanya p saja namun spam.

Yoga (152)+

P
P
P
P
💬P

Apa?🗨

Seketika dengan fastresponnya Yoga lelaki itu langsung menghubungi Nadyla dengan vidiocall, setelah mengeser ikon hijau layar ponsen Nadyla tetap saja hitam. Dan itu membuat Nadyla kembali menunggu.

"Wajah lo mana Ga?"

"Gausah lihat wajah gua dah lo"

Nadyla keluar dari kamarnya, lalu membuka kamar sebelahnya. Disana terlihat Yoga berbaring menyamping. Setelah mengetahui pintu terbuka selimut yang pada awalnya terbuka kini menutupi semua bagian wajah Yoga.

Nadyla tidak mengerti ada apa dengan sepupunya yang sangat ia sayangi ini. Melihat hal itu Nadyla segera menyibak selimut Yoga, terlihat lebam di wajah Yoga dan itu membuat Nadyla langsung mengepalkan tangannya. Bahkan senyum usil yang tadi nampak penuh di wajah Nadyla saat ini berganti dengan pengerasan rahang dan gemeretuk gigi.

Ia lalu mendudukkan tubuh Yoga. Setelah ia tadi tertidur di ruang Osis, ia pulang bersama dengan Christian dan mampir di toko buku untuk berkeliling melihat deretan novel, yang berhasil membuatnya ngiler karena ingin membeli sedangkan uang di dompetnya berteriak karena kurang nominalnya. Itu yang membuat Nadyla baru mengetahui keadaan Yoga saat ini.

"Siapa?"

Pertanyaan singkat itu berarti panjang untuk Yoga sendiri, satu kata itu mewakili berbagai ekspresi dan tindakan Yoga kedepannya, ia tidak akan mungkin mengatakan yang sebenarnya terjadi. Yoga tidak akan mungkin membuka mulut untuk masalah yang satu ini.

"Jawab Yoga."

Kata penekanan itu terucap, Yoga melihat dalam mata hitam Nadyla. Ia sedari dulu mengerti saat bagaimana Nadyla marah, dan keadaan saat ini adalah keadaan dimana Nadyla berada di puncak amarahnya.

Yoga masih bungkam, bibirnya seperti terjahit dengan rapi. Yoga tidak akan mungkin mengucapkan kata itu didepan wanita yang berstatus sepupunya ini. Kakak sepupu yang begitu ia hormati.

"Rafael?"

Yoga terkesiap mendengar ucapan Nadyla. Secepat kilat ia menguasai ekspresi dengan tenang.

Nadyla melihat itu, Nadyla melihat adanya perbedaan tekstur wajah Yoga dan itu membuat Nadyla mencengkram sprei tempat tidur Yoga dan membuatnya lecek seketika.

Nadyla berdiri, pergi dari kamar Yoga dengan membanting pintunya. Yoga menyesali ekspresinya yang masih bisa terbaca oleh Nadyla. Dia terlalu bodoh untuk menjadi penengah mereka.

Yoga terlalu bodoh untuk menjadi sahabat dan sepupu sekaligus.

Yoga kembali berbaring, ia berpikir sebaliknya ia memikirkan hal ini esok hari saja dan saat ini lebih baik ia segera mengistirahatkan tubuhnya, bibirnya yang sobek sebenarnya menjadi alasan dia tidak berbicara karena terlalu perih untuk kembali mengucapkan sepatah kata saja.

***

To be continued

Rafael ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang