Kejelasan

2.1K 146 0
                                    

Rafael [8]

Tidak perlu datang untuk bergerak pergi.


Nina turun dari boncengan Bagas, dahinya berkerut dalam. Nina mengedarkan pandangannya pada lingkungan sekitarnya, begitu banyak pohon-pohon.

"Kita dimana? Gue maunya pulang, kenapa kesini?"

Setelah mematikan mesin Bagas melepas helmnya dan turun dari motornya, ia menyugar rambutnya dan sedikit mengacak-acak. Menambah aksen berantakan namun makin menambah kadar ketampanannya.

Nina yang melihat hal itu hanya melipat tangannya, bersikap acuh walau deru jantungnya sudah tidak tenang, dan tanpa sadar ia mengigit kulit bibir dalamnya. Meredam gejolak tubuhnya sendiri.

"Salah siapa tidur, untung udah gue pengangin lo tadi. Dan untung lagi iler lo kering kena angin."

Nina membelakakkan matanya dan lekas memukuli lengan Bagas, ia tak terima dengan ucapan Bagas tentang cara tidurnya yang mengiler, itu jelas bukan dirinya.

"Mana ada gue ngiler, dari kecil gue gak pernah ngiler kalau lo tau."

Bagas tersenyum melihat aksi Nina yang menurutnya imut, gaya marahnya sungguh membuat Bagas ketagihan untuk selalu mengusilinya. Wajah cemberut khas Nina, dengan pipi di gembungkan dan bibir pinknya yang mengerucut, ingin sekali Bagas mencicipi kulit kenyal itu, tapi ia masih punya batasan tersendiri. Bahwa yang boleh menciumnya hanya istrinya sebagai firstkiss-nya.

Bagas menepuk kepala Nina pelan, angin sore telah menerbangkan helaian rambut Nina, Bagas menarik sejumput rambut dan membawanya kebelakang telinga. Ia bermaksud agar wajah cantik Nina, tidak luput dari pandangannya.

Nina yang mendapat perlakuan itu sedikit gemetar, ini adalah kali pertama ia di perlakukan semanis ini oleh seorang pria.

Bagas tersenyum kecil, Nina yang melihat hal itu tertular untuk tersenyum juga. Sejenak Nina merasakan jari-jarinya penuh, tampaknya Bagas telah menelusupkan jari-jarinya ke sela jari-jari tangannya, hangat. Itulah rasa yang pertama kali Nina rasakan, dan tangan yang kini mengengamnya memberikan sebuah pernyataan bahwa Bagas akan selalu melindunginya.

"Ayo."

Bagas berjalan di depan Nina, perlahan tapi pasti keduanya berjalan menelusuri jalanan kecil yang ternyata telah di sediakan sebagai petunjuk jalan.

Setelah kurang lebih berjalan dua puluh menit, mereka berdua sampai di tengah-tengah kawasan itu. Perlahan tapi pasti, lampu-lampu hidup dari ujung hingga ujung, memberikan penerangan yang begitu indah dimata Nina. Senyum tulusnya terukir sempurna.

"Suka?"

Bagas melihat binar bahagia khas Nina, binar yang selama ini ia kerap suka saat ia menatap Nina. Nina menoleh pada Bagas yang berdiri di sampingnya. Jika ia di samping Bagas, tubuhnya hanya setinggi pundak, terlalu mini dan kadang terlalu enak untuk di peluk dengan tubuh setinggi itu.

"Suka, kok bisa dapet tempat sebagus ini?"

Senyum merekah mereka timbul di bibir masing-masing. Suasana pepohonan yang begitu bersih, udara sejuk sore hari, pancaran sinar mentari yang membias menjadi warna-warna indah, begitu mrnyejukkan mata dan menenangkan pikiran. Nina pikir ini akan menjadi tempatnya untuk melepas penat.

"Ini tempat yang sering gua pake buat sejenak melepas lelah."

Nina melirik, seperti berpikir bahwa tujuan mereka menyambung. Nina sedikit memegang tubuhnya, hawa dingin telah sedikit menusuknya.

"Udah mulai malem, besok kita kesini lagi waktu weekend aja, biar lo tau seberapa indah wilayah ini kalau pagi."

Nina masih memperhatikan lekuk sempurna yang baru kali ini ia tau Bagas memilikinya.

Rafael ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang