Rafael [2]
Egois kenapa dibuat hobi?
-Rafael Allexia-
Jackson berlari, ia bahkan hampir terjatuh terjerembab jika tidak ada pegangan di samping kanan dan kirinya.
Semua pasang mata menatap aneh pada tingkah Jackson yang terkesan tergesa-gesa, sesampainya dikelas ia lantas berteriak kencang menembus dua kelas selanjutnya.
Bagas yang masih ribut menjambak rambut Nina sontak berhenti mendengar temannya masuk dengan suara gaduh dan ucapan setelah kegaduhan itu.
"Nadyla berantem sama Rafael!"
Kata itu bisa mendefinisikan betapa menegangkan situasi saat ini. Gea mengenggam tangan Jackson memberi ketenangan sebentar.
Bagas menarik rambut Nina membuatnya mengaduh kesal.
"Lepasin rambut gue Bagas! Sakit!"
Nina mencoba melepas rambutnya dari tangan Bagas, tapi sia-sia tenaganya tidak sebanding dengan cengkraman yang makin kuat dirasakannya.
Merasa tidak ada jalan lain, Nina segera mengigit tangan Bagas, membuat Bagas langsung melepaskan tangannya yang menarik rambut Nina.
"Sakit!"
"Rambut gue juga sakit!"
Mereka berdua menghunuskan tatapan mata tajam, helaan nafas terdengar dari Gea berdiri.
"Udah ribut mulu, ati-ati jodoh."
"Najis!" Seru Bagas dan Nina bersamaan.
Jackson dan Gea terkekeh kecil, sadar bahwa sahabatnya sedang dalam keadaan tidak mengenakkan mereka lantas berlari menuju kantin.
Gea dan Nina pikir, Nadyla tidak akan selama ini berurusan dengan Rafael. Jadi memilih meninggalkan kantin.
Terlihat murid cewek menarik kerah lelaki lewat di lapangan. Membuat seluruh pasang mata menetapkan mereka menjadi objek paling menarik, suasana begitu ramai.
Mereka semua tau bahwa ada dua kubu yang sama-sama menghunus pedang di lapangan. Apa lagi pasangan fenomenal itu kini sedang bersitegang.
"Lo mau bikin gue kayak anjing ya? Diseret kaya gini?"
Nadyla berhenti berjalan, ia menoleh kebelakang menatap iris mata itu dalam.
"Lokan emang anjing Raf, gausah ditanya dan gausah malu."
Ucapan Nadyla terdengar hingga telinga barisan ketiga murid-murid yang berjajar dipinggir lapangan.
Rafael menepis tangan Nadyla, namun anehnya tangan gadis itu masih tetap berada di kerahnya. Rafael mendelik saat ini, tangan kecil ini kuat.
Rafael membuat dirinya kembali tenang, tubuhnya ia condongkan kearah Nadyla, membuat keadaan yang semula hening menjadi gaduh. Senyum culasnya kembali terukir.
"Kangen mah bilang kali Dyl, gausah gengsi atau egois sama hati. Egois kok dibuat hobi," Rafael membelai pipi Nadyla tanpa memutus pandangannya. "Kasian tau ga, sikap lo itu bikin hati lo perih. Kalau emang pingin peluk sini gue peluk."
Rafael tanpa permisi memeluk Nadyla di depan seluruh pasang mata. Aroma maskulin itu kembali bertubrukan di hidung Nadyla. Membuatnya seakan mati kutu untuk sejenak, bahkan cengkraman di kerah Rafael melemah seketika.
Pelukan itu diurai oleh tarikan Rachel kepada Rafael. Nadyla kembali sadar, dia tidak boleh seperti ini. Tanpa permisi kembali pada suatu hal yang ia jaga kebaikannya.
"Gausah peluk bisa kali cewek genit."
Rachel menatap sebal kearah Nadyla, ia langsung menarik Rafael untuk segera pergi dari sana.
Punggung Nadyla ditepuk oleh dua orang berbeda. Sisi kanan Yoga dan sisi kiri Christian.
"Masih bisa?"
Nadyla menganguk sebagai jawaban atas pertanyaan Yoga, ketiganya pergi menuju ruang OSIS. Kepemimpinan Rafael sudah diturunkan dan diserahkan kepada Nadyla.
Ketua OSIS itu duduk disalah satu bangku. Menyembunyikan raut wajahnya di lipatan tangannya.
"Nadyl,"
Panggilan itu membuat Nadyla enggan untuk menjawab. Meskipun terpaut jarak yang begitu jauh untuk berubah, tapi Nadyla tetap tidak bisa melupakan kejadian enambulan yang lalu.
"Nadyl, maafin gue masih nggak bisa ya? Gue ngerti kok. Waktu di gun-"
"Diem, gausah dibahas."
Christian diam, kini ikut menyembunyikan kepalanya di lipatan tangan.
Yoga yang melihat hal itu pergi, hubungan keduanya memang begitu saat kejadian enambulan yang lalu. Kejadian yang Yoga harus rela berjanji pada Nadyla untuk bungkam atas masalah itu.
Hal itu juga yang membawanya kemari, masuk kedalam kelas. Langsung berjalan kearah Rafael yang digelanyutin manja oleh Rachel di sisi kanannya.
Yoga langsung membogem Rafael, meluapkan amarah paling dalamnya. Kemarahannya membuat suasana kelas mencekam. Pukulan demi pukulan berhasil menghantam wajah Rafael, sudut bibirnya lebam.
Setelah puas memukuli Rafael, Yoga berdiri. Sebelum langkahnya sampai keluar pada pintu kelas. Terdengar ucapan Rafael padanya.
"Suka ke Nadyla sampe begitunya. Ngomong kali kalau suka, banci tau gak."
Yoga diam, bukan 'suka' dalam artian begitu. Yoga suka Nadyla karena memang dia sepupunya. Sepertinya kedoknya sebagai sepupu hanya diketahui oleh Christian karena lebih sering menghabiskan waktu bersamanya waktu kecil.
"Iya, gue suka dia. Lo mau apa?"
Yoga hanya berbohong untuk menyadarkan sahabatnya itu. Rasa pembohongnya bahkan saat ini memasuki pada tahap yang jelas memiliki arti sama dengan kebenarannya.
Rafael yang tertidur dilantai dengan bantalan paha Rachel. Tersenyum kecil bahkan hampir tidak terlihat jika tidak diperhatikan benar-benar.
Sahabatnya menghianati dia karena seorang wanita, wanita dimasa lalunya.
"Bagi gue, cewek itu adalah cerminan kita. Dan bagi lo cewek itu sebuah mainan yang gampang dirusak dan gampang juga dibuang."
Ucapan Yoga membuatnya berdiri dengan keadaan yang luar biasa acak-acakan.
"Dan Nadyla emang udah selayaknya diberlakukan seperti itu. Nadyla layak dirusak dan layak dibuang kaya sampah."
Yoga berjalan kembali kearah Rafael ia mencengkram kerah Rafael dengan sekuat tenaga membuat seragam yang telah lusuh itu kembali bertambah lusuh.
"Tarik ucapan lo,"
Nada Yoga begitu tegas. Ia tidak bisa membiarkan satu orangpun menjelekkan nama Nadyla didepan ataupun di belakangnya. Karena,
Nama Nadyla juga namanya. Oleh karena itu siapapun yang menjelekkan Nadyla itu sama halnya dengan menjelekkan nama dirinya juga dan Yoga paling benci jika saudaranya di ejek.
"Kenapa?"
Ucapan Yoga membuat Rafael tersentak, darahnya mendidih. Rasa panas tak terima itu kini menghujamnya. Bahkan ia sangat benci pada dirinya sendiri saat ini.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Rafael ✔
أدب المراهقينLelaki sebenarnya terlalu egois berkata bahwa ia tidak terluka. Lelaki terlalu egois mengatakan ia akan selalu kuat. Lelaki juga punya begitu banyak rasa seperti yang perempuan rasakan. "Kita juga manusia, bukan hanya perempuan yang memiliki peras...