"NADYLAAA!!"
"NADD"
"NADD!! "
"NADDD WOII BANGUN WOI!!"
"ANJIR NAD LU KEBO BANGET"
"APAAN SIH ANJIR MASIH NGANTUK GUE."
"LIMA MENIT LAGI!!"
"DARI TADI LIMA MENIT LU MAU TELAT WAWANCARA HEH!!"
"WAWANCARA MASIH SENIN INI KAN se... nin..."
"INI SENIN GA ANJIR, NGAPA LU KAGA BILANG GUA."
"GUE UDAH BILANG DARI KEMARIN ANJIR"
"LO KOK KAGA BANGUNIN GUA."
"NADYLA BEGONYA NAMBAH!!"
"GUE SELESAI MANDI!!"
"LO CEWEK TAPI MANDI BEBEK, GUE YANG MALU PUNYA SEPUPU KEK ELO DYL"
"BODO AMAT GA. PENTING MANDI!!"
Setelah selesai dengan rutinitas Nadyla cepat berlari keluar dari rumah ia tidak berpamitan terlebih dahulu karena orang tuanya sedang keluar kota, dan ia dirumah hanya dengan Yoga. Dan juga Yoga sudah menunggunya di depan rumah.
Dengan cepat Nadyla menaiki motor Yoga, dengan tinggah Yoga yang suka kebut kebutan, Nadyla langsung memeluk erat Yoga.
Benar bukan. Waktu dari rumah menuju ke kantor hanya ditempuh 5 menit dengan makian sepanjang jalan dan Nadyla hanya memejamkan mata.
"Gue naik. Doain gue. Tunggu gue disini."
Yoga hanya mengangguk, ia segera mencari tempat untuk memarkirkan motornya dan sarapan. Ia sungguh lapar, membangunkan Nadyla perlu banyak tenaga dan ia lupa untuk mengisi perutnya.
"Perut mari kita makan ya nak."
Nadyla sudah tidak peduli dengan Yoga, saat ini yang dipedulikan hanyalah bagaimana wawancaranya.
"Nyonya Nadyla."
Namanya terpanggil bertepatan dengan sampainya ia di ruangan rapat.
"Iya saya,"
"Silahkan masuk."
Nadyla menyesuaikan degub jantungnya, ia sungguh tidak mengenal degub jantung ini, biasanya ia tidak segugup ini. Pelan pelan tapi pasti ia menetralkan semuanya dan merapikan tatanan bajunya.
Nadyla melihat satu kursi kosong disana, mengapa kosong.
Setelah wawancaranya selesai, Nadyla masih belum bertemu dengan pemilik kursi kosong itu, Nadyla tak ingin menanyakan, ia akan tau jika nanti ia diterima disana, siapakah pemilik kursi kosong itu.
Setelah keluar dari ruangan. Nadyla melangkah dengan gontai. Ia lapar, perutnya sudah meronta menginginkan diisi.
Setelah memasuki lift, Nadyla menyandarkan punggungnya, menikmati dinginnya dinding lift. Saat lift berhenti Nadyla masih tetap diam disana, enggan beranjak. Rasa lelahnya membawanya diam cukup lama.
Hingga lantai lift sedikit bergerak. Membuat Nadyla sedikit berpegangan. Nadyla yang tenang dan menunjukkan bahwa dirinya sedang tidak ingin diganggu.
"Nad, pulang yuk."
"Sebentar,"
Entah tidak sadar atau bagaimana sosok itu mengangguk, mulai menutup lift dan menaikkan kembali.
Dentingan pintu terbuka bersamaan dengan desiran angin yang cukup kuat. Sosok itu keluar, Nadyla yang merasakan angin sepoi menerjangnya membuka mata sedikit mengerjab, mengetahui bahwa dia tidak berada didalam gedung melainkan diatap gedung. Nadyla melangkah keluar, mengikuti langkah pria tegap didepannya dan berdiri hampir sejajar.
"Maaf, tadi tidak menghadiri wawancara."
Nadyla diam, tidak memperdulikan pria itu. Nadyla sibuk memejamkan mata dan menikmatinya.
"Nad--" Nadyla memiringkan kepalanya, luapan rasa rindu dan banyak kenangan yang kembali meyergap, membuatnya meneteskan air mata, Nadyla mengerti bahwa semua itu hanya ilusi. Setiap saat waktu terasa menyakitkan, dan mengingat memori bersam dengan Rafael membuatnya sesak.
"Nadyla--"
Nadyla mulai meneteskan air mata, ia tak mengerti mengapa rasa rindunya meningkat pesat, dan mengapa semuanya terasa begitu nyata. Laki laki itu menunduk, iya mengerti bahwa dirinya kembali terlalu lama.
Dengan sedikit pertimbangan, Rafael memegang kedua pundak Nadyla, membawanya kedalam pelukannya.
"Maaf sayang,"
Dikecupnya kening Nadyla lembut, menyalurkan rasa rindunya yang amat menusuk, Rafael menitikkan air mata bahagia bisa bertemu dan memeluk Nadyla dalam keadaan sepadan.
Nadyla tidak merespon pelukan Rafael, yang di ingatnya ini semua hanyalah ilusi, hingga setetes cairan bening itu jatuh di ujung hidungnya, Nadyla mengusap air itu, mengerti bahwa itu bukan airmatanya. Nadyla mulai mengerjabkan mata dan medongkakkan kepalanya terkejut bahwa dirinya sangat nyata dalam berdelusi.
"Rafael cuma ilusi Nadyla," ucap Nadyla dengan membelai pipi Rafael pelan, bukankah seharusnya ia bahagia bahwa semua itu tampak begitu nyata. berbeda dengan Rafael, ia merasa begitu sakit mendengar bahwa dirinya hanyalah ilusi, perlahan tapi pasti ia mencium bibir Nadyla hanya menempelkan tidak ingin bertindak terlalu cepat.
"Rafael yang ini nyata sayang." Rafael membawa tangan Nadyla ke dadanya, berusaha membuat Nadyla bangun dari ilusi yang ia buat.
Tiba-tiba Nadyla menjatuhkan dirinya, ia sungguh terkejut akan semuanya. Mengapa ilusinya begitu nyata hingga ia bisa merasakan detakan jantungnya.
"Rafael gaada, dia ilusi"
Rafael mensejajarkan dirinya dengan Nadyla. Dan mengendongnya ala bridral style, ia sudah tidak peduli lagi, yang ia inginkan hanyalah Nadyla bangun atas semua ilusi buatannya.
Rafael memasuki lift, ia harus segera membawa Nadyla pulang, dan menjelaskannya secara merinci.
"Pak Rafael."
"Rafael gaada pak, dia ilusi."
Rafael melirik perempuan yang berada dalam gendongannya dengan miris.
"Rafael gaada pak, dia sibuk." namun setelahnya, Rafael berbisik dengan Bapak itu.
"dia lagi sakit, makanya merancau."
Tiba-tiba ponsel Nadyla berbunyi, Nadyla engan untuk menjawabnya karena ia kan kehilangan momentnya bersama ilusi Rafael yang tampak nyata.
"Ck, Nadyla mana sih."
Yoga melihat kesekitar ia mencari Nadyla. Pasalnya Nadyla berjanji hanya sebentar, namun ini sudah mulai memasuki waktu malam. Hingga langkahnya berhenti saat matanya bertabrakan dengan mata Rafael.
"RAFAEL!!"
Yoga berlari cepat ia ingin tau bagaimana Rafael ada disana setelah sekian lama menghilang dan Yoga dibuat terkejut karna Nadyla ada di gendongannya.
"RAfAEL GAADA YOGA, YOGA GAUSAH IKUTAN LIHAT ILUSINYA RAFAEL! BIAR NADYLA AJA!"
Nadyla mengeratkan pegangannya di leher Rafael. Sedari tadi Rafael hanya bisa diam, ia tak sanggup untuk berbicara, ia memberi kode kepada Yoga untuk tidak memarahinya.
"TURUN!"
Sebaliknya sepertinya Yoga telah salah sangka, Gelengan yang Rafael lakukan bukan untuk menolaknya melainkan untuk terus mendekapnya. Namun, Yoga tetap keukeuh dan menarik Nadyla turun, lalu sedikit mengibaskan tangannya. Berusaha mengusir Rafael, Yoga tau, sebenarnya ia juga ingin menyatukan mereka, hanya saja waktu menolaknya.
"GUE GAK MAU TURUN! GUE GAK MAU RAFAEL HILANG!"
Nadyla meneriaki Yoga dengan tetesan air mata yang mulai menderas. Dan perlahan tapi pasti Rafael mundur, menjauh dari radar Nadyla.
"Meskipun cuma ilusi, setidaknya gue ngerasain dia ada Ga."
Nadyla menangis, karyawan yang belum pulang melihat kejadian tadi sungguh mengiris hati. Apa salah atasannya hingga Nadyla sampai seperti itu, dan mereka melihat Rafael yang selalu perfectsionis menangis di hadapan wanita.
"Dyl, pulang yuk. Rafaelnya udah gaada."

KAMU SEDANG MEMBACA
Rafael ✔
Teen FictionLelaki sebenarnya terlalu egois berkata bahwa ia tidak terluka. Lelaki terlalu egois mengatakan ia akan selalu kuat. Lelaki juga punya begitu banyak rasa seperti yang perempuan rasakan. "Kita juga manusia, bukan hanya perempuan yang memiliki peras...