Memories

1.1K 144 6
                                    


.

Ia menopang dangunya di pinggir pagar balkon. Netra klorofilnya terlihat meredup, langit kelam dengan tabutan bintang tidak membuat hatinya membaik. Ia masih merenung dan memikirkan beberapa hal yang menjadi pikirannya beberapa waktu ini.

"Sachi?" Sebuah suara berat membuatnya menoleh. Ia memandang pria itu dengan ekspresi datar. Tangannya yang lentik terlihat terkulai di sampingnya. Indra menyentuh dangu perempuan itu dan memerangkapnya diantara tangannya yang bertumpu pada dinding balkon. Bibir keduanya bertemu, namun Indra hanya merasakan kehampaan saat ia mengecup bibir wanita itu.

Indra tahu bahwa Sachi sudah banyak berubah sejak kepergian putra mereka. Ia lebih banyak merenung dan terdiam, tidak seceria Sachi yang ia kenal. Ingin rasanya ia menghapus segala duka itu, tapi ia tahu bahwa tidak mudah untuk melakukannya.

"Aku merindukanmu malam ini, maukah-" Sachi tiba-tiba menyentuh dadanya, tangannya nampak bergetar kecil. Klorofilnya terlihat berkilat saat kedua pandangan mereka bertemu.

"Maafkan hamba, Yang Mulia. Tapi untuk saat ini saya merasa tidak melakukan kewajiban saya. Saya rasa, Amerure, Ranno atau Bahiti bisa menemani anda malam ini." Tolaknya. Indra berdecak kecil ia menyentuh kedua bahu Sachi lembut.

"Sudah berbulan-bulan kau terus menolakku, Sachi. Apakah kau tak sadar sudah membuat hatiku terluka?" Cetusnya. "Kau adalah ratuku, kaulah yang kuinginkan." Indra mengabaikan pernolakan Sachi, ia langsung mencumbu leher perempuan itu dengan tegas. Sachi hendak mendorong bahu pria itu, namun usahanya sia-sia kala Indra segera memanggul tubuhnya yang kecil dan membawanya menuju kamar mereka.

Sachi hanya bisa merangkak pasrah saat Indra mendorongnya sehingga ia jatuh di atas ranjang, pria itu terus memerangkapnya, mencumbunya tanpa memberikan celah pada diri Sachi untuk menolak.

Perempuan itu hanya bisa pasrah, dan menyerahkan jiwa dan raganya pada pria itu, walau hatinya menjerit dalam bentuk lelehan air mata di sepanjang pipi.

.

"Kau banyak menghindari Yang Mulia akhir-akhir ini, apakah ada sesuatu?" Tanya Ranno saat melihat sang Ratu terlihat menyendiri di sebuah menara yang berada jauh dari istana utama.

"Um, aku hanya merasa butuh waktu." Sanggahnya. "Kau selalu bisa menemukanku, ya, Ranno?" Kekehnya hambar.

"Tentu saja, kemana kau pergi selain ke tempat ini?" Ujar Ranno. "Tempat ini satu-satunya yang tidak dijamah siapapun kecuali saat adanya serangan dari sisi sungai Nil."

Ia hanya mengangguk kecil, tangannya terlipat di dada dan ia bersandar di salah satu sisi tiang. Netra klorofilnya beralih pada pemandangan nil yang terlihat indah seperti selendang biru yang kontras dengan kekuningan padang pasir namun juga serasi dengan langit biru.

"Aku merasa hidupku penuh dengan penderitaan." Ujarnya parau. Ranno menatapnya lama dan akhirnya mengikuti pandangan perempuan itu memandang sungai nil yang memanjang dari ujung ke ujungnya.

"Apa yang membuatmu berpikir demikian?" Tanya Ranno sendu. Sachi mengeleng kecil, ia sendiri awalnya tidak tahu kenapa ia mengatakan hal tersebut.

"Mungkin... karena begitu banyak kehilangan yang kurasakan sebelum ini. Kematian Sekherta, kemudian Sanna... apalagi yang akan terjadi di masa depan nantinya?" Ujarnya putus asa. Ranno hanya menyentuh bahunya.

"Jangan berkata begitu, sudah banyak kebahagiaan yang kau dapatkan sebelum ini. Jika kau mengutuki takdir bukankah sama saja kau tidak bersyukur?" Tukasnya. Sachi tidak menyahut. Namun ia sempat melirik Ranno dari ujung matanya. "Aku harus pergi, sampai nanti..." Ranno memunggunginya dan melangkah meninggalkan ruangan. "...Sachi." dan sosoknya menghilang.

Sand of SaharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang