Gedung itu dipenuhi oleh orang-orang berjas putih. Berlalu lalang, mendatangi satu persatu ruangan yang diisi oleh satu orang, hingga beberapa orang.
Orang yang memiliki dana lebih memang lebih memilih ruangan yang disewa khusus untuknya. Untuknya sendiri, enggan berbagi. Sedangkan yang lainnya, harus cukup berpuas diri dengan ruangan yang sudah diberi penyekat ruangan. Kain putih tergerai panjang ke bawah hingga menyentuh lantai. Sebagai pembatas setiap satu orang.
Rumah Sakit.
Rumah yang begitu menakutkan bagi sebagian orang. Takut pada benda tajam dan runcing di ujungnya, didorong, mengeluarkan cairan berbau menyengat. Takut pada benda cair namun kental berwarna merah menyala, berbau amis. Anti terhadap benda kecil yang dijanjikan dapat mengurangi atau bahkan menyembuhkan keluhan sakitnya.
"Datanglah kembali dalam beberapa hari ke depan. Kami akan terus memeriksanya."
Ujar salah satu orang yang dianggap beruntung karena dapat bekerja di sana. Sehabis memeriksa. Entah apa yang ia periksa. Karena yang terlihat, dia hanya meraba dan melihat lebih dekat keluhan si pengunjung. Pekerjaan yang begitu sulit dipahami oleh orang awam kebanyakan.
Bagaimana bisa mereka hanya mendengarkan keluhan sakit kita lalu meraba bagian tubuh yang sakit, memberikan secarik kertas entah apa tulisannya, kita malah disuruh membayar semua itu dengan harga yang begitu tinggi?
Tapi percayalah, pekerjaan ini lebih dari sekedar sesi keluh mengeluh tadi, dan hanya mereka dan sejawatnya yang mengerti.
"Butuh berapa lama lagi?"
"Kami tidak bisa menjanjikannya."
Lihat! Bukankah jawaban ini begitu menjengkelkan?
"terkadang bekas luka seperti itu bisa menjadi permanen. Untuk itu datanglah secara rutin, kami akan berusaha semaksimal mungkin. Kau pasti sangat terganggu karena luka itu merusak wajah tampanmu, kan?" ujar sang dokter sambil sedikit tertawa.
"Tidak. Aku jauh lebih terganggu dengan seseorang yang membentuk luka ini." canda Seokmin sembari berdiri. "Jika ada seseorang yang datang menanyakan sesuatu tentang aku, apa pun itu, bilang saja kau tidak tahu apa-apa. Bisa, kan?"
--- JISOO ---
Suasana kelas sudah begitu ramai, namun dosen yang ditunggu belum juga datang. Tanpa kabar. Menyebalkan.
Dino berjalan menuju barisan belakang, mengambil tempat duduk tepat di samping Seokmin. Semua orang yang berada di dalam kelas tentu saja sangat terkejut. Mereka masih dapat mengingat dengan jelas, kejadian minggu lalu.
Apakah akan terjadi lagi?
Dino tersenyum seakan tidak akan terjadi apa-apa. Senyuman khasnya seakan mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja. Menjelaskan, ini bukan masalah. Melihat sekilas pada Seokmin yang terus sibuk dengan earphone dan ponselnya. Penutup wajah dan topi yang tidak pernah bergeser dari tempatnya.
"Mau apa lagi? Ingin kembali bertingkah sebagai korban?"
Mereka berdua duduk pada ujung barisan, tentu saja tidak ada seorang pun yang dapat mendengar pembicaraan itu.
Interaksi mereka nampak sangat akrab. Begitulah tanggapan semua penghuni kelas. Bahkan Seungcheol terlihat bangga melihat anak-anaknya telah berdamai. Nampak berdamai. Seperti berdamai. Hanya sebatas; seperti.
"Bukankah ini menyenangkan? Kau menikmatinya, kan?" Dino tersenyum tipis.
Meski hingga sampai saat ini Seokmin tidak melepaskan earphonenya sama sekali, tapi ia masih bisa mendengar ucapan Dino dengan jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
JISOO [Revisi] (✓)
Fanfiction[Seoksoo GS Fanfiction] Kata sahabat memang baik. Tapi jika diletakan pada tempat yang salah, kau mungkin saja akan membunuh seseorang. Bukan, bukan raganya. Tapi hatinya. Jadi, masalah ini berasal dari kata sahabat? Siapa yang harus disalahkan dala...