Rumah itu tergolong besar dan mewah. Tapi, kesan kosong dan hampa menyelimutinya. Kosong dari suara riuh tawa penghuninya. Kosong dari kebahagiaan dulu.
Dulu, sebelum ibu Seokmin meninggal dunia.
Nyonya Lee meninggalkan satu orang anak laki-laki tunggal yang begitu tampan, ceria dan memiliki suara tawa yang khas bersama ayahnya.
Anak itu memang tahu, cepat atau lambat semua orang pasti akan merasakan kematian. Namun yang membuatnya tidak terima adalah pernyataan sang ayah, beberapa bulan setelah kepergian ibu tersayang.
"Panggil dia ibu. Kuharap kau bisa menghormatinya seperti ibu kandungmu sendiri."
Tanpa pikir panjang, Seokmin mendatangi sang paman dan memilih untuk tinggal sendirian di hotel.
Mungkin kalian berpikir bahwa tindakan Seokmin akan percuma, karena hotel itu dipimpin oleh ayahnya sendiri. Tapi percayalah, bagi Seokmin, tinggal di sana akan jauh lebih baik dari pada harus bertemu wanita itu setiap hari. Di rumah yang penuh kenangan bersama ibu kandungnya.
Tidak hanya itu, Seokmin merancang sendiri kamar hotel yang akan ia anggap sebagai rumah. Seperti sekarang.
Belum lagi masalah pribadinya dengan seorang gadis, membuat kehidupan pemuda ini semakin kalut.
Untuk menghindari gadis yang baru saja mendatanginya di hotel tadi, mau tidak mau, Seokmin harus pulang ke rumah yang dalam artian sebenarnya. Kehadiran gadis itu benar-benar membuat Seokmin gelisah.
Berdiri tepat di depan cermin yang berukuran sama persis dengan tinggi badannya, Seokmin melepas topi dan masker yang ia kenakan. Namun, hal ini sama sekali tidak membuat perasaaannya membaik.
Seokmin mencondongkan badan, hingga antara dirinya dan cermin hanya memiliki jarak beberapa senti, meraba perlahan bekas luka yang masih begitu jelas. Malah sakitnya masih terasa.
Meski tidak membuat nilai ketampanannya berkurang, namun tetap saja akan membuat orang lain bertanya-tanya dari mana luka itu didapat. Dan pertanyaan itulah, yang ingin Seokmin hindari.
Ting!
Sebuah notifikasi baru saja Seokmin dapatkan. Dengan mendudukan diri di bibir ranjang king size miliknya, tanpa sadar sudut bibir Seokmin sedikit melengkung ke atas. Ia tersenyum tipis.
"Jisoo."
Ternyata notifikasi itu dari Jisoo. Gadis itu mengundang Seokmin untuk bergabung ke dalam grup chat kelas. Tetapi, karena ia tahu persis bagaimana pandangan teman-teman sekelas terhadap dirinya, menciptakan sedikit keraguan untuk bergabung.
Itulah alasan kenapa ia begitu lengket dengan benda kecil yang tertempel di telinga dan mengeluarkan suara bising tersebut. Seokmin sangat sadar jika ia mudah tersulut emosi, sehingga menutup telinga adalah pilihan yang paling tepat. Setidaknya untuk saat ini.
Kadang ia sengaja mematikan musik yang diputar dan melihat keadaan di sekitar menggunakan kedua telinganya. Bisikan yang membuat ia mengepalkan tangan mulai berdatangan. Dengan memutar kembali musik itu hingga mencapai volume maksimal, perlahan menetralkan detak jantung yang sempat tersulut tadi.
Jika mereka melihat luka di wajahku, mereka akan benar-benar menganggapku sebagai penjahat.
Dengan atau tanpa penutup wajah akan sama saja, kan? Bahkan jika tidak ditutupi maka akan menimbulkan pertanyaan yang sama sekali tidak ingin Seokmin dengar, apalagi dijawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
JISOO [Revisi] (✓)
Fiksi Penggemar[Seoksoo GS Fanfiction] Kata sahabat memang baik. Tapi jika diletakan pada tempat yang salah, kau mungkin saja akan membunuh seseorang. Bukan, bukan raganya. Tapi hatinya. Jadi, masalah ini berasal dari kata sahabat? Siapa yang harus disalahkan dala...