Penaku dengan anggun menari di atas kertas. Goresannya mewakili apa yang aku pikirkan sekarang. Petualangan luar biasa dua tahun silam berusaha kukeluarkan dari laci memori yang kian berdebu di otakku. Berusaha mengingat setiap inchi kejadiannya. Sesempurna mungkin. Tak ingin kulewatkan sedetik pun. Tidak rela.
Rasa bahagia merekah ketika cuplikan kejadian diiringi suara tawa kebersamaanku dengan mereka semua bak soundtrack film, terulang kembali. Di sisi lain, awan kesedihan merenggut semua senyum yang spontan tercetak di wajahku. Mengkerut. Hilang. Kristal bening yang sedari tadi tersimpan di pelupuk mata akhirnya jatuh berkeping-keping. Tangis. Itulah yang mewakili semua emosiku sekarang. Pikiranku kalut. Semua kejadian saling baku hantam. Tak beraturan. Aku tidak bisa membedakan antara kenangan yang membuat hatiku seketika bak taman bunga dan kenangan yang membuatku kembali meringkuk dalam penjara keterpurukan.
Air mata dan tawa hadir di waktu yang bersamaan.
Lalu sekarang harus mulai dari mana?
Haruskah kuawali dengan kisah penuh air mata itu? Atau melupakannya seolah semua baik-baik saja, menggantinya dengan kisah happy ending tanpa cela?
Mustahil.
Lagi-lagi aku harus membohongi diriku sendiri. Aku berpura-pura tersenyum sembari merangkai kalimat indah ini. Berusaha menyembunyikan gemuruh di hatiku lewat kisah penuh kegembiraan ini, katanya.
Kuakui, kisah ini indah. Namun ketahuilah, banyak kesedihan yang belum sempat diakui oleh mereka. Ya, mereka diam, sama sepertiku. Berlagak tampil dengan humorisnya dan memendam sisi melankolis.
•••
SMA Negeri 1 Bukittinggi
OSN IPS SMP tingkat Kota/Kabupaten
08.00 WIBAku duduk termangu sambil mengelus permukaan meja kayu bercat cokelat dengan ujung jariku. Terasa kasar namun masih mulus tanpa coretan. Maklum, bangunan lantai dua ini baru saja selesai dibangun beberapa bulan lalu. Otomatis, semua peralatan yang mengisinya pun baru. Gedung bercat hijau berpadu kuning ini merupakan gedung IPS. Di sinilah aku bersama siswa perwakilan dari berbagai sekolah menengah pertama se-kota Bukittinggi membekali diri guna persiapan Olimpiade Sains Nasional tahun ini yang diselenggarakan di kota Sriwijaya, Palembang.
Hari ini adalah hari penentu siapa yang berhasil.
Lututku bergetar tidak karuan. Dengan sedikit gerakan menghentakkan kaki ke lantai kuniatkan untuk mengusir gerakan aneh ini, namun sia-sia.
Jantungku berdegup kencang ketika seorang guru wanita berhijab kuning kembang-kembang meletakkan satu paket soal bersampul biru tua di hadapanku. Obsidianku terus menatap benda sakral itu. Tidak berkedip. Tidak beringsut."Waktu kalian dua jam. Baca soal baik-baik! Yang terbaik dari yang baik hari ini akan mewakili kota kita ke tingkat selanjutnya." Nasihat seorang guru laki-laki yang duduk di depan kelas sambil memainkan telunjuknya di atas arloji di lengan kirinya. Beliau menatap satu persatu dari kami. Menyeramkan. Tatapannya setajam elang yang siap mencengkram mangsa. Kontur di wajahnya menambah kesan horornya. Tapi percayalah, apa yang terlihat belum tentu benar. Siapa tahu beliau adalah orang dengan jiwa humor tinggi, ya kan? Beruntung aku duduk di barisan kedua. Setidaknya bisa mengurangi bersitatap dengan pria paruh baya itu.
Dua orang guru mendapat tugas mengawasi kami selama tes berlangsung. Seratus dua puluh menit kedepan mereka akan menemaniku dan peserta tes lainnya untuk mengerjakan soal.
Setelah membaca doa, tangan gemetarku membalik halaman soal. Gugup. Rasa percaya diri yang sudah aku persiapkan sejak semalam hilang begitu saja. Konsentrasiku terpecah.
Kakiku sibuk sendiri dengan gerak tidak karuannya. Dadaku kembang kempis seperti habis lari marathon 1000 meter. Tanganku kehilangan kekuatannya untuk menggenggam pena. Dan otakku sibuk berandai-andai. Setengah jiwaku khawatir kalau-kalau hari ini aku gagal membidik kesempatan emas yang sudah di depan mata, yang mungkin saja bisa merubah sedikit banyak kehidupanku. Sedangkan jiwa lainnya berimajinasi bahwa apa yang aku lakukan ini akan membuahkan hasil.
Tiba-tiba, bayang kedua orang tuaku muncul begitu saja. Wajah mereka tergambar jelas. Aku tertunduk. Jika aku gagal hari ini, berarti bukan ini rencana yang Allah berikan untukku. Dengan penuh keyakinan dan bismillah, aku mulai mengerjakan soal tes itu. Aku terus berusaha mengerahkan segenap kemampuanku. Tenang. Fokus. Tawakal. Itulah kuncinya.
Akhirnya aku berhasil menjawab setengah dari soal itu. Senyumku merekah. Tidak lama. Sepersekian detik kemudian kekhawatiran kembali menjalar. Gemuruh di dadaku mengganas ketika indera penglihatanku menangkap jam yang menempel cantik di dinding bercat krim itu menunjukkan bahwa aku harus segera menyapu habis soal ini dalam waktu dua puluh menit lagi. Bagaimana bisa? Bahkan lima puluh soal lagi belum terjamah. Hampir separuhnya benar-benar buntu. Jawabannya tidak terdeteksi olehku. Bahkan feeling yang menjadi andalanku selama ini tidak memberikan respon apapun.
Perlahan aku mendongakkan kepala. Menatap satu persatu orang yang bernasib sama sepertiku. Ralat! Mereka berbanding terbalik dengan sikapku. Sangat tenang. Dan, lihat! Salah seorang dari mereka mengomandoi untuk mengumpulkan lembar jawaban. Satu persatu mulai meninggalkan ruangan. Aku bisa melihat dari ekor mataku, di balik jendela kaca itu mereka tengah tertawa lepas tanpa beban. Jika kalian berada di sini sebagai pengawas, maka kalian bisa melihat wajahku yang kusut seperti cucian habis diperas. Dan jika kalian memiliki penciuman tajam, bau gosong menguar dari kepalaku. Barangkali ada korsleting antarsaraf.
Napasku tersengal. Meneguk saliva saja membuatku harus meringis kesakitan saking susahnya. Mataku kembali berembun. Kali ini pesimis tingkat dewa. Apakah ini akhir perjalananku?
Aku tidak punya banyak waktu. Hanya aku satu-satunya peserta yang berada di ruangan itu bersama dua pengawas setia. Dengan sistem kebut, aku membaca soal demi soal, menyilang jawaban dengan diiringi kalimat 'bismillah' di setiap option yang aku anggap benar.
Tepat di detik ke 7.200, aku sudah selesai menuntaskan semuanya. Kututup lembar soal itu dengan perasaan yang campur aduk. Pengawas wanita berhijab kuning itu tersenyum kepadaku seolah mempersilahkan untuk mengumpulkan lembar jawaban. Di setiap langkah menuju meja pengawas kulafalkan asma Allah, meminta agar Dia memberikanku kekuatan.
Kuserahkan kertas penentu kemenangan itu. Seulas senyum kupaksakan terlukis di bibir agar tidak satu orangpun tahu bahwa keadaanku sekarang benar-benar sekarat.
Aku kembali ke meja, mengemasi alat tulis dan keluar ruangan dengan sisa senyum tadi.
•••
Kuletakkan penaku bersisian dengan buku bersampul cokelat. Dua halamannya sudah penuh dengan susunan kata yang terpisahkan oleh spasi. Puas. Coretan pertama ini sempurna.Kututup buku itu. Mataku mulai terasa berat. Akan kulanjutkan, ucapku lalu pergi tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Science ✅[END]
Teen Fiction#3 osn 130719 OSN Palembang 2016 Based on True Story Ini bukan ceritaku, tapi cerita kami. Hanya ingin bernostalgia lewat kata-kata bersama memori di ruang ingatan. Kupersembahkan cerita ini untuk kalian, DUA BELAS MERPATI yang mengajariku arti per...