#16# Sultan Mahmud Badaruddin II

264 38 17
                                    

Kami tiba di Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II saat matahari sudah kembali ke peraduan. Langit malam di Kota Pempek ini dihiasi oleh cahaya kemerlap kota metropolitan. Gedung-gedung pencakar langit memamerkan keelokannya.

Cahaya lampu Jembatan Ampera sukses membuat siapa saja yang melihatnya terpukau. Ingin berlama-lama di sini.

Pesawat kami landing dengan selamat. Syukurlah. Jujur, selama di pesawat aku merasa sangat cemas terlebih ini merupakan kali pertamaku berkendara dengan pesawat terbang. Sedikit cemas dan takut. Kalian tau siapa yang membuatku ketakutan setengah mati?

Ella. Dialah pelakunya.

Tiga hari sebelum berangkat ke Palembang--saat masih latihan di Pangeran City Hotel-- Ella mengajakku menonton tujuh tragedi jatuhnya pesawat di youtube. Setelah menonton, batinku terguncang hebat.

"Ambil kopernya, jangan sampai tertukar." Nasihat Bu Wid.

Kami menarik koper masing-masing keluar dari bandara. Sesaknya bandara malam itu semakin terasa saat kami berada di bagian depan bandara. Para peserta OSN 2016 berkumpul memadati sekitar bandara. Deretan bus yang siap mengantar para kontingen dari 34 provinsi itupun satu persatu mulai meninggalkan bandara.

"SUMATERA BARAT... SUMATERA UTARA... JAMBI... RIAU... NAIK BUS NOMOR 6!"

Berduyun-duyun kami menghampiri bus yang dimaksud. Sopir dan stokar membantu kami menaikkan koper ke atas bus. Karena kapasitas bagasi yang tidak mencukupi, akhirnya sebagian koper terpaksa harus ikut bersama kami di kursi penumpang.

"Duduk di sebelah sini aja, Hanna!" Ujarku.

Kami--aku dan Hanna-- duduk di bangku sebelah kiri bus. Devan dan Imam duduk di depanku.

"Eh, kalian yang di bandara Soeta tadi kan?" Seorang cowok berparas khas etnis Tionghoa tiba-tiba menyapa kami. Ia menepuk bahu Devan seperti seseorang yang sudah saling kenal.

"Eh, kita sebus ternyata." Devan balas menepuk bahunya.

"Kenalin, ini Fernando dari Sumut. Olimpiade IPS, kan?" Tanya Devan memastikan.

"Hai, Fernando!" Sapaku hangat.

Meskipun berasal dari tanah Batak, namun Fernando bukanlah keturunan Batak melainkan etnis Tionghoa yang sudah lama menetap di Sumatera Utara. Dia anak yang ramah dan sopan.

"Kalian IPS juga?" Tanya Nando.

"Yap,"

Bus mulai bergerak. Meninggalkan bandara. Dari jendela bus aku melihat masih banyak peserta dari daerah lain yang masih menunggu bus jemputan mereka. Untung saja kami tidak perlu menunggu lama.

Perjalanan menuju hotel memakan waktu sekitar dua puluh menit. Itu yang dikatakan oleh sopir bus kepada Devan saat ia bertanya.

Selama perjalanan, kami ditemani oleh lantunan lagu Minang. Sebuah televisi ukuran 14 inchi yang berada di bagian depan bus cukup menghibur kami.

"Lagu Padang, ya?" Tanya Fernando memastikan.

"Iya. Kok tau?"

"Soalnya kan kalo lagu Padang identik sama alat musik suling kayak gitu," Fernando menunjuk pemain suling (saluang) yang ditampilkan pada video klip di televisi.

"Bener," decakku.

"Aku suka beberapa lagu Padang. Apalagi masakannya. Rendang!" Decaknya kagum.

Fernando sangat tertarik dengan Sumatera Barat meskipun ia hanya mengenal satu daerah saja, yaitu Padang. Padahal kan masih banyak Kabupaten dan Kota di Sumbar, mungkin karena Padang merupakan ibukota provinsi.

Sweet Science ✅[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang