#11# Aura Positif

309 36 6
                                    

Hari ini adalah hari terakhir kami latihan untuk persiapan OSN di Palembang. Senang sekaligus cemas. Akankah belajar kami selama sepuluh hari di Pangeran City Hotel, Padang, akan membuahkan hasil yang maksimal? Semoga saja.

Aamiin.

Latihan hari ini tidak dilakukan sampai sore mengingat dalam hitungan jam kami akan terbang ke Tanah Sriwijaya untuk berkompetisi. Stamina dan tenaga menjadi kunci utama kesuksesan.

Semua peserta OSN SMP dari segala bidang berkumpul di ruang latihan IPS. Hari ini kami kedatangan dosen dari UNJ, Pak Eko.

Usut punya usut, nanti sore beliau akan mengajak kami ke Pantai Padang untuk mengambil aura positif. Apa dan bagaimananya lihat saja nanti.

"Kita mulai dari siapa?" Tanya Pak Eko.

"Dari Imam aja," ujar Devan dan Daffa serentak.

Pria berkemeja kotak-kotak itu melipat tangan di depan dada, menatap Imam intens, lalu mangut-mangut.

"Imam punya aura putih yang bersinar terang di bagian dadanya. Lalu ada warna hijau, biru." Pak Eko menjelaskan panjang lebar tentang makna satu persatu warna tersebut.

Sekarang giliran Devan. "Sebelum saya menerawang Devan, saya mau nanya. Kamu sudah punya pacar?" Tanya Pak Eko sontak membuat seisi ruangan tertawa jahil.

"Belum, Pak." Geleng Devan. Kulitnya yang putih berubah merah.

"Oh, begitu. Saran saya kamu fokus untuk berkompetisi dulu ya, urusan hati belakangan saja." Pak Eko tersenyum.

"Dengar tuh, Van!" Aku melihat Daffa menepuk bahu Devan cukup keras.

"Sip, Pak."

Akbar mendapat giliran selanjutnya. "Kamu punya aura yang kuat untuk mencapai apa yang kamu mau. Kamu cita-citanya apa?"

"Hakim, Pak." Sahut Akbar lantang.

"Bagus. Kamu harus bisa mengontrol emosi dan belajar adil mulai sekarang ya, Akbar."

"Baik, Pak."

Pak Eko menyesap kopinya sebelum melanjutkan. "Sekarang Daffa. Sudah punya pacar?"

"Sudah!" Sorak Devan dan Akbar serentak. Mereka memang hobi sekali menghakimi orang.

Daffa tidak bisa mengelak lagi. Dia mengangguk.

"Belajarlah untuk setia." Nasihat Pak Eko singkat, padat, dan jelas.

Oke, sekarang giliran yang perempuan. Aku sudah tidak sabar mendengar penuturan dari beliau.

"Hanna. Kamu punya aura yang membuat siapa saja yang melihat kamu merasa nyaman dan tentram."

"Kayak Imam yang berhasil terpesona sama Hanni." Celetuk Devan.

"Kok Hanni? Namanya kan Hanna!" Tegasku membela.

"Tulisanannya bukan Hanni, tapi h-o-n-e-y." Devan mengeja satu per satu.

Kami kembali tertawa.

Imam yang sedaritadi diam kini menjadi bahan tertawaan. Laki-laki bertubuh gempal itu justru ikut tersenyum.

Apa kabar dengan Hanna? Dia juga tersenyum.

"Sekarang, Reeca."

Giliranku. Semoga Pak Eko mengatakan hal yang baik-baik saja.

"Kamu punya aura putih di dada, sama seperti Imam tadi. Lalu warna hijau dan ungu. Kalau saya boleh tebak, kamu punya tiga adik?"

"Benar,"

"Saya melihat disini ada sedikit kecemburuan diantara adik-adik kamu. Saran saya kamu bisa membagi kasih sayang yang rata kepada mereka."

Aku mengangguk tanda mengiyakan.

"Kamu sudah punya pacar?" Tembak Pak Eko tiba-tiba.

"Uhuy Devan!" Sorak Akbar.

"Devan!" Imam ikut-ikutan.

"Hayo Devan!" Daffa meninju bahu Devan.

Hello? Yang ditanya aku, kok malah Devan yang dibawa-bawa?! Omelku dalam hati.

See! Wajah putih Devan kembali memerah. Aku berpikir mungkin orang itu punya alergi dengan kata 'pacar'.

"Belum, Pak." Sahutku mantap. Memang itulah adanya.

"Oh, begitu." Pak Eko tersenyum. "Terakhir ada Syifa.

"Saya melihat Syifa ini sedang menyukai seseorang diantara kalian berempat." Beliau menunjuk Imam, Devan, Akbar, dan Daffa bergantian. "Tapi dia malu untuk mengatakannya."

Aku terkejut mendengar penuturan Pak Eko. Jika benar, kenapa Syifa tidak pernah cerita?

"Bener Syif?" Tanyaku.

Syifa hanya menggeleng.

Di tengah perbincangan kami, aku tidak sengaja melihat Fero yang duduk di sebelah Imam. Manusia kulkas itu kembali pada kebiasaannya. Tidak berekspresi.

Sebenarnya aku sama sekali tidak tertarik untuk memperhatikannya. Tapi ekspresi datarnya semakin membuatku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi?

Kulihat Imam, Akbar, Akien, dan yang lainnya tertawa lepas. Sedangkan Fero terus-terusan menekuk muka.

Apakah terjadi kerusakan pada saraf wajahnya?

"Woi, Ree!" Hanna menyikutku keras.

"Hmm?"

"Ngeliatin siapa?"

"Noh, manusia triplek."

"Kenapa dia?"

"Tanpa ekspresi seperti biasa. Aneh ya?"

Dalam hati aku berbicara sendiri. Jika boleh aku ingin mengajukan Fero agar dibacakan auranya oleh Pak Eko. Siapa tahu dengan begitu aku bisa tahu penyebab dia selalu nyaman dengan wajah datarnya.

"Ree, kok masih duduk? Yuk ke pantai. Yang lain udah pada ke luar." Kalau saja Syifa tidak menarik tanganku mungkin aku masih duduk dengan pandangan lurus ke depan.

Eh? Kenapa jadi mikirin manusia kulkas?

Kulihat sekeliling. Sudah kosong.

"Yuk!"

.........

Ini masih secuil dari sekian ribu kenangan yang ingin kubagi dengan kalian, para pembaca diaryku.

Dan tentunya kepada kalian, teman-temanku.

Tak ada niat sedikitpun untuk menyebarluaskan cerita memalukan kalian. Aku cuma ingin membantu agar kalian ingat bahwa pernah Ada sepotong kisah yang begitu berkesan hingga sulit untuk dilupakan.


Sweet Science ✅[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang