#6# Namanya, Sonny

452 53 12
                                    

Ah, bagian ini termasuk salah satu bagian yang paling enggan untukku ceritakan. Mengapa? Karena menyangkut harga diri perempuan. Sudahlah! Tekadku sudah bulat. Bagian ini harus kutuangkan ke dalam buku.

Kutarik napas dalam-dalam sebelum menulis.

"Huh," Aku siap sekarang.

•••

Ini adalah hari kedua latihan. Seperti biasa, Hanna dan Syifa menjemputku lalu kami menuju ruang makan untuk sarapan.

"Duduk dimana?" Hanna tampak keberatan membawa sepiring breakfast-nya.

"Di situ, pas empat!" Ujarku seraya menunjuk meja segiempat di tengah ruangan.

Sarapanku hari ini adalah nasi goreng putih lengkap dengan telur, lalapan, dan kerupuk.

"Anak cowok baru pada dateng," Hanna melirik gerombolan laki-laki yang baru datang. Ada Imam, Akbar, Daffa, Devan, Fero, Akien, dan dua orang anak matematika yang belum aku ketahui namanya.

"Mereka pake seragam," Ella menunjuk Devan, Akbar, Akien, dan Fero yang mengenakan seragam batik.

"Pake baju bebas gak pa-pa kan?"

Syifa mengangguk seraya menyuap nasi gorengnya.

Entah lantaran lapar atau enak, aku menjadi orang pertama diantara kami berempat yang lebih dulu mensterilkan piring makan. Seperti mimpi rasanya aku bisa duduk manis di meja makan hotel, mengambil semua hidangan yang aku mau tanpa membayar sepeserpun. Tak henti-hentinya aku mengucap syukur kepada Allah. Rencana-Nya adalah yang terbaik untukku.

Mata liarku tidak sengaja menemukan spesies cogan diantara pelayan ruang makan. Cowok itu berkulit putih, hidung mancung,berambut spiky, dan mata hazel nan memikat. Dia memakai kemeja putih lengan panjang dengan celana bahan dan sepatu hitam mengkilap. Rambutnya diberi pomade, sangat stylish. Aku sangat menyayangkan pria berparas bak model itu bekerja sebagai pelayan di sini.

"Hanna," bisikku seraya melirik cowok berseragam putih yang baru saja lewat di depan kami.

Hanna mengikuti pandangannya, "Subhanallah." Kalimat itu menggambarkan bahwa ia sependapat denganku.

"Imut!" Aku mencubit pipi.

"Baby face!" Decak Hanna dengan suara lepas kendali.

"Heboh apaan sih?!" Tanya Ella yang merasa makannya terganggu karena kebisingan yang kami ciptakan.

"Cogan?!" Tebak Syifa.

Kami--aku dan Hanna, mengangguk mantap.

"Mana?" Ternyata Ella juga penasaran.

"Tuh, yang baju putih!"

"Tolonglah, Re. Pelayan di sini pake baju putih semua." Ella membelalak geram ke arahku.

"Itu tuh, yang lagi bawa jus!"

"Oh," Ella tersenyum singkat lalu lanjut makan.

"Ya ampun, dia ke sini!" Aku tiba-tiba gugup saat cowok itu datang menghampiri meja kami. Aku berusaha bersikap normal.

Calm, Re!

"Permisi, Kak." Ujar pelayan tampan itu lalu mengambil piring kotor di atas meja.

"Huh," aku membuang napas saat si pelayan tampan meninggalkan meja kami.

"Kok dia manggil 'Kak'?" Tanyaku heran. Sejak kemarin, semua pelayan selalu memanggil kami dengan sebutan 'kak'.

"Untuk menghormati, Re." Terang Ella.

"Oooh,"

:::

Setibanya di ruang latihan, aku melihat Imam tengah mengobrol bersama Fero dan dua orang misterius itu.

"Kenalin, ini Zikra dan Fachri." Imam memperkenalkan mereka kepada kami.

"Hai, salken! Reeca," ujarku dari jarak jauh.

"Panggilannya,..." Akbar tiba-tiba menyambar.

"HEI YANG JILBAB MERAH!" Sorak mereka serentak.

"Masih aja," aku menggeleng sambil tersenyum.

Tidak hanya kami, namun peserta tingkat SD juga berada di sini. Salah satu yang menjadi sorotanku adalah bocah mungil berkemeja kotak-kotak yang duduk tidak jauh dariku.

Kudekati dia, "Hai, Dek!" Sapaku. Kuulurkan tangan, hendak bersalaman. Tanpa merespon, anak itu langsung berlari.

"Kok lari?" Aku mencoba tegar. "Sini!" Ajakku. Tapi tetap saja ia menolak dan memilih untuk duduk di sebelah Devan.

"Sabar, Re!" Hanna tertawa.

Dari kejauhan, Devan sepertinya sedang membisikkan sesuatu kepada si bocah. Jangan-jangan.

"HEI YANG JILBAB MERAH!" Bocah itu berteriak dan berlari keluar.

"Eh, Unyil! Mau kemana?" Spontan aku memanggil bocah itu dengan sebutan 'Unyil', karena dia mungil.

"Unyil?" Imam tertawa.

"Devan!" Aku mengeraskan rahangku untuk mendukung ekspresi marahku. Dasar jahat!

Aku membuang muka dan apa yang aku lihat?! Pelayan tampan tadi barusan lewat di depan ruangan kami. Aku benar-benar senang.

"Hanna, yang baju putih tadi!" Aku menyikut Hanna seraya menunjuk ke arah pintu.

"Mana? Mana?" Hanna tidak kalah antusias.

"Siapa sih?" Devan penasaran karena sikapku yang berubah aneh. Cowok bermata minimalis itu langsung berlari keluar dan berteriak.

"YANG BAJU PUTIH!"

"IYA KAMU!"

"SINI!"

Devan benar-benar memanggil si pelayan tampan itu. Apa yang harus aku lakukan?

Wajah rupawan itu sudah berada di ambang pintu. Devan dengan sok kenalnya merangkul orang itu, "Dia suka sama kamu!" Ujar Devan sambil menunjukku.

Oh my God!

Aku memilih bersembunyi di bawah meja meskipun sia-sia. Si tampan itu sudah melihat wajahku. Aku gagal jadi penggemar rahasianya.

"Masih ada?" Tanyaku pada Hanna.

"Masih, Re!" Hanna tertawa terbahak-bahak. "Rasain!" Ledeknya.

"Jahat!" Kucubit lutut Hanna. "Suruh pergi!"

"Tak nak!" Hanna menggeleng.

"Re!" Sorak Devan.

"NAMANYA SONNY!" Soraknya keras-keras.

"Cieee... Sonny!" Lagi-lagi mereka menertawaiku.

•••

Kututup buku cokelat ini kasar dengan sisa senyum yang masih terkembang. Kejadian yang sungguh memalukan sekaligus mengesankan.

"Cukup, besok akan kusambung!" Kuletakkan buku ini di meja single samping dipan.

Sweet Science ✅[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang