#17# Aryaduta Hotel

285 33 9
                                    

Malam semakin larut. Para peserta yang sudah selesai melakukan registrasi langsung pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat.

Tempat penginapan peserta OSN SMP dibagi menjadi dua, yaitu untuk peserta olimpiade IPS berada di Hotel Aryaduta sedangkan untuk peserta olimpiade IPA dan Matematika di Hotel Batiqa.

Sebelum meninggalkan auditorium, kami diberi sebuah ransel biru muda yang berisi kaos putih bermerk OSN 2016, kemeja batik dominan warna kuning, dan sebuah papan ujian oleh panitia penyelenggara.

"Bye, Ell!"

Ella balas melambaikan tangan. Sebelah tangannya masih memegangi tangkai koper. "Kalian enak hotelnya di sebelah auditorium, bisa istirahat abis ini. Nah, aku? Harus naik bus lagi." Rutuknya.

"Itulah hidup, kadang enak kadang gak enak." Decak Hanna persis seperti seorang motivator.

"Mak...kas...sih..." Ella memberikan penekanan pada tiap suku kata. Ia mencebik sebal.

"Selamat ketemu besok di acara pembukaan, Ell."

"Yap," Ella melambaikan tangan sebelum pergi. Ia mengikuti rombongan yang lain--bersama Akien, Fero, Fachri, dan Zikri--menuju bus yang terparkir di bahu jalan, menuju penginapannya. Batiqa Hotel.

Sesampainya di lobby hotel, kami terperangah melihat sebuah tangga yang megah seolah menyambut kedatangan kami dengan red carpet-nya. Di sebelah kanan tangga terdapat sebuah lift sebagai akses alternatif untuk menuju lantai dua.

"Meja resepsionisnya mana?" Tanya Akbar heran karena sejauh matanya memandang, ia tidak menemukan meja resepsionis di lantai dasar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Meja resepsionisnya mana?" Tanya Akbar heran karena sejauh matanya memandang, ia tidak menemukan meja resepsionis di lantai dasar.

"Barangkali ada di lantai dua," ujar Daffa.

Aku bersama Hanna dan Syifa memilih untuk menaiki tangga. Sedangkan Devan dan yang lainnya memilih naik lift.

"Ngapain naik lift? Tanggung, kan cuma satu lantai." Ujarku.

"Gak pa-pa. Kami ini hanya memanfaatkan fasilitas hotel sebaik-baiknya." Seru Devan sebelum pintu lift tertutup.

Hanya selisih beberapa detik saja, Devan dan kawan-kawan sampai lebih duluan di lantai dua. Mereka sempat meledekku, cape kan naik tangga sambil nenteng-nenteng koper? Mending naik lift.

Tepat di depan kami, berjarak sekitar sepuluh meter, terdapat meja resepsionis. Tanpa menunggu lebih lama lagi, kami langsung melapor.

"Kamu lantai berapa, Ree?" Tanya Hanna dengan kepala condong ke arah kartu kamar yang kupegang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu lantai berapa, Ree?" Tanya Hanna dengan kepala condong ke arah kartu kamar yang kupegang.

"1514? Lantai 15 ya?" Aku yang ditanya, malah Devan yang menjawab.

"Aku lantai 9,"

"Sama, aku juga 9."

"Aku 12,"

"Sama kita,"

"Wah, kamar kamu Ree yang paling jauh diantara kita." Seru Akbar.

Kami masuk ke dalam lift dengan tertib. "Lantai berapa aja nih?" Tanya Devan dengan telunjuk siap menekan tombol lift.

"9, 12, sama... 15."

"Oke,"

Ting!

Pintu lift terbuka. "Kami duluan ya," Hanna dan Syifa keluar lebih dulu.

Tak lama berselang, Devan dan yang lainnya pun keluar. Tinggalah aku sendirian di dalam lift yang besar ini. Sendirian!

"Gak ada nih yang mau nganter aku ke atas?" Tanyaku dengan nada memelas.

"Nanti kalo butuh sesuatu, telpon aja aku, Ree." Aku sedikit lega dengan ucapan Devan.

Ting!

Lantai 15. Pintu lift terbuka. Dengan langkah gemetar, aku keluar. Sedikit linglung, aku mengedar pandangan ke sekitar, mencari petunjuk dimana keberadaan kamarku. Menurut informasi yang disampaikan oleh petugas hotel di meja resepsionis tadi, teman sekamarku berasal dari SMP di ibukota Jakarta. Jujur saja, aku sangat gugup. Takut jika nantinya aku tidak bisa beradaptasi dengan cewek Jakarta tersebut. Kalian tahu kan, bagaimana cewek Jakarta kebanyakan.

1500-1520 

Tanda panah itu menjadi petunjuk. Aku berbelok ke arah kiri menyusuri lorong kamar yang entah dimana pangkalnya.

1512.

1513.

"Nah ini kamarnya," decakku dengan hati berbunga-bunga. Tidak sabar ingin segera istirahat.

Aku memasukkan kartu kamar ke alat di bagian atas gagang pintu, semacam alat scanning.

Cklek

"Loh?!" Mataku membulat sempurna, begitupun bibirku. Kenapa pintunya masih terkunci? Apa benar ini kamarnya?

Kulihat lagi angka yang tertera di kartu kamar, "1514." Kemudian kualihkan pandangan ke nomor kamar yang terpasang di daun pintu. "Sama,"

Tidak mungkin aku keliru, ini benar kamarku. Nomornya sama, tidak ada yang berbeda. Tapi kenapa tidak mau terbuka?

Karla Atia. Aku teringat dengan nama teman sekamarku. Kucoba saja mengetuk pintu sambil memanggil namanya, mungkin dia ada di dalam.

Tok Tok Tok

"Assalamualaikum, Karla Atia..."

"Permisi... Atia... Karla... Atia Karla... Eh, Karla Atia..."

"Halo... Atia..."

Tidak ada yang menyahut dari dalam. Apa jangan-jangan kartu punyaku rusak? Tapi, samar-samar aku mendengar suara televisi menyala dari dalam. Aneh sekali? Tidak ada orang, tapi ada suara TV. Siapa yang sedang menonton?
#ih serem.

Setelah mencoba sekitar lima belas menit, aku mulai lelah sekarang. Arlojiku menunjukkan pukul 00.15 WIB. Lewat tengah malam. Aku mulai merasa ganjil berada di lorong kamar yang sangat panjang tengah malam seperti ini. Siapapun pasti mulai berpikir yang aneh-aneh jika berada di posisiku.

Gimana kalau ada hantu? Itu yang pertama terlintas dipikiranku. Kalian tahu tidak, aku ini penakut.

"Devan!" Buru-buru, kukeluarkan ponsel dari saku celana, mencari kontak Devan diantara banyak nama temanku yang berawalan D.

Tidak diangkat.

Tidak juga.

Masih tidak.

Aku kesal. Kenapa dia tidak mengangkat teleponku padahal dia sendiri yang menawarkan bantuan saat aku butuh. Tapi sekarang?! Nol besar.

Kucoba satu persatu menelepon teman yang lain. Sama saja, tidak ada satu orangpun yang menjawab panggilanku.

"Assalamualaikum, Atia...." Lirihku. Mataku mulai berair. Aku benar-benar takut!

Tidak lagi! Mau sampai kapan aku terus berdiri seperti orang bodoh di sini? Aku memutuskan untuk kembali ke meja resepsionis dan menanyakan perihal kartu kamarku yang mungkin saja rusak.

Untuk kedua kalinya aku menyeret koper melewati lorong yang sama. Aku menatap nanar pintu-pintu yang kulewati. Membayangkan penghuninya pasti sedang tertidur pulas di kasur empuknya.

Kapan malam ini berakhir?

Bersambung...

:::::::

Ada yang penasaran gak sama lanjutannya? Menurut kalian aku malam itu tidur dimana?
-pos satpam
-lobby
-auditorium
-depan lift
-numpang kamar temen

Sweet Science ✅[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang