#12# Pulang

293 41 13
                                    

Jum'at, 13 Mei 2016
13.35 WIB

Ella masih sibuk mengemasi barang-barangnya. Lihat saja! Pakaiannya masih berserakan di atas kasur. Aku sempat menawarkan bantuan, namun gadis berkacamata itu menolak. Katanya ia bisa melakukannya sendiri.

Tak lama kemudian.

"Ree,"

"Hmm?" Aku menoleh. Kuletakkan remote televisi di atas nakas. "Ada apa?"

"Bantuin aku dong, Ree. Kalau ngerjain sendiri bakal lama nih, bentar lagi Bu Net pasti datang. Mau kan?"

"Katanya bisa sendiri?" Dengan senang hati aku membantu melipat pakaiannya.

"Jilbab aku juga ya Ree,"

"Mana jilbabnya?" Tanyaku sambil membalikkan pakaian. Barangkali jilbab milik Ella tertutup oleh tumpukan pakaiannya. "Gak ada,"

"Di lemari,"

Aku memutar bola mataku lalu bergegas membuka lemari kayu, mencari keberadaan jilbab Ella.

"Ell, kamu gak ikut balik sama kami ke Bukittinggi?" Tanyaku. Sekedar info, aku dan Hanna akan pulang ke Bukittinggi hanya sehari. Benar, satu hari. Besok siang kami harus kembali lagi ke Padang.

"Aku mau ke rumah tanteku. Mama juga ada di sana." Ujar Ella sambil menutup retsleting koper.

"Terus balik ke hotelnya kapan?" Tanyaku.

"Tanggal 15, sebelum ke bandara aku kemari."

"Kenapa gak besok aja, Ell? Kan biar sama kayak aku dan Hanna."

"Ada urusan keluarga, Ree."

"Oh,"

Ting tong ting tong

Aku bangkit dan langsung membukakan pintu. Kasihan juga jika aku menyuruh Ella, ia pasti lelah karena barusaja selesai mengemasi barang-barangnya.

Cklek

Dua orang gadis berhijab menyambutku dengan seulas senyum.

Hanna kali ini berpenampilan berbeda. Ia memakai kacamata kotak berwarna hijau. Di dekatnya berdiri sebuah koper hitam berukuran sedang.

"Eh, tetangga jauh udah pada datang." Kubukakan pintu yang semula setengah terbuka, mempersilakan mereka masuk.

"Kamu gak pulang, Syifa?" Tanyaku karena tidak melihat barang bawaan Syifa. Gadis berlesung pipi itu datang ke kamarku dengan melenggang.

"Gak, Ree. Kata Buk Wid kami disini aja. Kalau pulang balik sehari cuma ngabisin waktu sama tenaga." Ujarnya.

"Iya juga sih, aku pengennya sih disini aja. Tapi aku kangen sama Mama, mumpung dikasih kesempatan untuk pulang ke rumah walau cuma sehari. Gak pa-palah." Terangku.

📷📷📷

Kami sampai di lobby hotel. Di sana sudah ada peserta yang akan pulang ke rumah, sama sepertiku. Ada Daffa, Fero, Akbar, dan yang lainnya.

Di salah satu sofa, ternyata ada Mama Ella yang sudah menunggu anaknya. Ella langsung menghampiri wanita paruh baya itu. Setelah berpamitan kepadaku dan yang lain, Ella pergi bersama Mamanya.

Siang ini hujan tiba-tiba mengguyur kota Padang. Tumpahan air kian mengganas di luar sana.

Aku memutuskan untuk duduk di sofa. Sejak tadi aku hanya berdiri bersandar ke dinding, menunggu antrean agar bisa duduk di sofa empuk itu.

Kukeluarkan ponsel untuk menghilangkan rasa jenuh menunggu mobil jemputan kami. Menurut info dari Bu Net, mobil kami terjebak macet sehingga akan datang terlambat.

Ya sudahlah. Lagipula di luar masih hujan. Setidaknya aku bisa bersantai di lobby sambil memanfaatkan free WIFI.

"Ree, gimana latihan selama sepuluh hari disini?" Tiba-tiba seseorang menepuk pahaku. Segera kumatikan ponsel dan menoleh ke arahnya.

"Seru, Buk. Disini Reeca punya banyak teman."

"Udah kenal semua nama mereka dong,"

"Sudah, Buk." Ujarku seraya mengangguk.

Fero yang sedang ngobrol dengan Akbar di dekat meja resepsionis menghampiri Bu Net setelah wanita berhijab biru itu memanggilnya. Cowok itu tersenyum sekilas lantas menunduk, memberi hormat.

"Fero pulang dijemput guru?" Tanya Bu Net.

"Pulang sendiri, Buk. Naik travel." Jawab Fero. Peserta dengan mata olimpiade IPA ini merupakan satu-satunya perwakilan dari Batusangkar, salah satu kota di Sumatera Barat.

"Sudah ditelpon travelnya?"

"Sudah, kena macet di jalan, Buk."

Bu Net melipat kedua tangan. "Kalau hujan begini memang sering macet."

"Reeca," tiba-tiba Bu Net memanggil namaku. Ada apalagi? Perasaan aku tidak melakukan kesalahan apa-apa.

"Ya, Buk?"

"Sudah kenal sama Fero?"

Kulirik Fero yang kini tengah memainkan ponselnya. Tampaknya ia tidak tertarik dengan obrolan kami.

"Sudah, Buk. Ella yang ngenalin."

"Nomor teleponnya sudah tau?"

What?

Aku kembali melirik Fero. Tetap saja ia masih sibuk dengan benda segiempat di tangannya.

"Buat apa, Buk?"

"Besok kan kalian bisa saling kontek-kontekan kalau udah sampai di hotel." Nada bicara Bu Net terdengar serius. "Nanti kalau sudah selesai OSN, komunikasi bisa tetap terjalin."

Ada benarnya juga.

"Mintalah nomor teleponnya." Bu Net menyuruhku meminta nomor Fero lewat gerakan matanya.

Ya Allah. Ujian apalagi ini? Bagaimana caranya aku mulai berbicara duluan dengan Fero yang terkenal cool-kas itu? Selama latihan, jujur aku belum pernah berbicara panjang lebar dengannya.

Jangankan menjawab pertanyaanku, tersenyum saja Fero jarang.

"Mmm," Aku tersenyum kikuk, menggaruk tengkukku yang berbalut hijab maroon.

"Masa malu?" Bu Net meledekku. "Fero, catat nomor Reeca biar besok bisa saling ngasih kabar kalo udah sampai Padang.?"

Bu Net!? Ini ide Ibuk loh!!!

Bu Net memang tega. Setelah itu, beliau malah pergi meninggalkan kami dan mengobrol dengan Bu Wid di dekat lift.

Aku masih menunduk, tidak berani melihat wajah datarnya.

"Mmm?" Setelah membuka ikon kontak di ponselnya, Fero menggumam. Kalau aku tidak salah menangkap makna, mungkin ia menyuruhku menyebutkan deretan nomor ponselku.

Oke.

"0823XXXXXXXX"

"Hmm."

Cuma 'hmm', lalu Fero pergi. Aku merasa seperti prang terkonyol di dunia.

Sweet Science ✅[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang