#2# Pengumuman

1.2K 74 13
                                    

Udara dingin mengetuk-ngetuk kaca jendela yang berembun. Sisa hujan semalam menyisakan hawa nan menusuk sampai ke tulang. Aku masih berusaha mengimbau nyawaku untuk kembali ke raga. Biji kopiku menangkap jarum jam yang sibuk berkejaran. Si pendek berdiri di angka lima. Si menengah merangkak menuju angka 2. Sedangkan si panjang nan aktif yang meloncat dari satu angka ke angka lain tidak terlalu jadi perhatianku.

Segera aku bangkit dan merubah posisi menjadi bersandar ke kepala dipan. Gerakanku membuat rangka dipan ini berderit. Kakiku kuselonjorkan sambil sesekali digoyang-goyangkan. Mataku masih berat. Kantukku belum terbayarkan. Kuraih ponsel berbalut casing hitam yang ikut terlelap di atas meja. Tampaknya benda segiempat yang selalu menemaniku itu juga kedinginan. Tanganku seperti sedang menggenggam sebongkah es. Kusentuh layarnya dengan kelembutan. Sebuah tanggal menyapaku tanpa malu-malu. Kedua sudut bibirku tertarik membentuk selekuk pelangi. Mataku berbinar. Benar sekali! Hari ini adalah tanggal yang sama dimana titik awal pertemuanku dengan mereka. Orang yang memberitahuku bahwa warna pelangi bukanlah tujuh, melainkan ada dua belas. Dan sejak saat itu aku percaya bahwa pelangi punya dua belas warna dimana hanya dia yang punya hati yang dapat melihatnya.

Aku beringsut menuju nakas. Kini tidak lagi es yang aku genggam melainkan aku berjalan di atasnya. Ubin ini  membuat kakiku mati rasa. Kuambil buku semalam yang masih tergeletak di atas sana berdua bersama sebatang pena bertinta hitam. Setelah keduanya kudapatkan, aku kembali ke pangkuan kasur hangat nan empuk. Kubalutkan sekujur tungkaiku dengan selimut.

•••

Entah sudah berapa minggu yang aku lewati tanpa kabar. Bagai kerikil yang tenggelam di dasar sungai. Usahaku kini tanpa kepastian. Apakah lulus atau tidak? Ah, bahkan aku sudah berkarat untuk menunggu semua itu. Biarkan saja. Toh rezeki tidak akan kemana.

Selepas Jum'at, ponselku berdering. Tumben-tumbenan benda itu berkicau. Bisa dibilang dalam seminggu hanya dua tiga kali ponselku kedatangan tamu, entah itu pesan dari operator seluler yang memberikan peringatan untuk segera melakukan pengisian ulang, SMS dari 'Mama minta pulsa', dan semacamnya.

Kulihat sederet nomor yang tertera di layar ponsel. Nomor tidak dikenal. Kuusap tombol berwarna hijau ke arah kanan.

"Halo, assalamualaikum." Ujarku duluan menyapa.

"Waalaikum salam, benar ini Reeca?" Tanya orang di negeri antah berantah itu. Belum juga tahu siapa dia, ternyata dia menanyaiku lebih dulu.

"Ya, ini siapa?"

"Ini Buk Net, SMP 1." Ujarnya dengan nada memastikan bahwa aku benar mengenalnya.

"Oh, ibuk. Ada apa buk?"

"Gimana hasil tes 3 minggu lalu?" Tanyanya bagai peluru yang tepat membidik ulu hati. Serangan asma yang entah datangnya darimana menggerogoti saluran pernapasanku.

Kuteguk saliva untuk membasahi kerongkongan yang kerontang bak padang pasir. "Saya juga belum dapat kabar Buk," nada bicaraku melemah. Jangankan mengetahui apa kabarnya, memikirkannya saja sudah membuatku kehilangan banyak tenaga.

"Kira-kira gimana soal kemarin?" Beliau balik tanya. "Ada dapat?" Aku terlonjak. Apa yang harus aku katakan?

"Ya, gimana ya buk." Aku menggaruk kepala yang terasa gatal, bukan lantaran aku memelihara si mungil, kutu di rambutku, atau ketombe. Melainkan reapon kepalaku yang mulai mengepulkan asap. Pusing. Aku tidak tahu harus menjawab apa.

"Tapi  yakin gak  bakalan lolos?" Beliau kembali membidik.

"Ya, harus yakinlah buk." Suaraku serak. Mungkin ketidakyakinanku membuatku harus berbohong.

Sweet Science ✅[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang