#2. Keraguan yang Mendera

228 22 1
                                    

Semua yang telah kulalui gugur satu-satu. Iza, seorang gadis yang datangnya tiba-tiba, dan dengan cepat mampu menyempurnakan semesta yang sedang kubangun tanpa nama. Semesta itu pernah hampir runtuh tujuh tahun lamanya sebelum gadis pemilik senyuman semanis gula itu membuatku merasakan sesuatu yang telah lama pergi dari dadaku.

"Aku tidak pernah benar-benar berani mendekatinya. Kau tahu, seperti mengunjungi tepian jurang lalu kau adalah manusia yang takut ketinggian yang lantas melongok ke dasar jurang. Seperti itu kira-kira perasaanku."

"Kau bercanda!" seloroh Arindya, menikmati semangkuk bakso kantin Sapta. Hari ini dia memakai kupluk untuk menutupi rambut gelombangnya yang tampak mirip dengan kerumunan mi berwarna cokelat.

"Sudah dua tahun kau menyukai Iza, tapi tak sekali pun kau berani mengatakan perasaanmu."

Aku yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk soto ayam tanpa menyantapnya, mulai kehilangan nafsu makan. Arindya memandangi mataku penuh arti. Seakan menuntutku untuk mengklarifikasinya. Bila sudah begini, Arindya pasti menang.

"Aku ...," ujarku tergugup, seperti ada yang mencekat tenggorokanku, "takpernah merasa pantas .... Aku berhak merasa seperti itu karena aku tahu siapa saja yang mendekati gadis itu."

"Siapa?"

"Sahabatku."

Arindya mengernyitkan dahinya. "Perlu kusebutkan nama?"

Aku menggeleng. "Sudah. Nikmati saja baksomu itu."

Arindya tertawa cukup keras. Beberapa orang yang sedang makan dekat meja kami mengintip ke arah Arindya dengan tatapan aneh. Sisanya tidak peduli. Jam sepuluh pagi seperti ini, kantin belum terlalu ramai. Hanya beberapa konter makanan saja yang dipenuhi pembeli: bakso, soto, dan nasi uduk. Kantin ini terletak di antara koridor Fakultas H, Fakultas F, dan tangga menuju koridor Fakultas I.

"Lantas, kalau sahabatmu juga turut maju, kamu berhenti. Gitu?"

Aku menggelengkan kepala sekali lagi. Entah dosa apa yang membuatku dan Arindya sama-sama mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru dan celana jeans hitam. Mungkin, setan membisikkan telinga kami dengan perintah yang sama.

"Entah. Aku hanya tahu bahwa sudah seharusnya aku berhenti."

"Hmm ...," Arindya berusaha menyelesaikan sedotan es teh manisnya, "Ahh ... hei, bangkit dong! Dalam urusan cinta, kita harus mengerti bahwa semuanya berhak untuk memperjuangkan."

"Halah, sok jadi Mario teguh, kamu."

"Ye, aku serius! Aku pernah pacaran tiga kali. Aku tahu seperti apa rasanya berbahagia dan kehilangan. Kaulupa, ya?"

Gurat wajah Arindya yang mempertanyakan membuatku tidak nyaman. Dengan malas aku mulai menyendok nasi ke mulut, disusul dengan lilitan bihun dari mangkuk soto. Sesapan kaldu ayam yang hangat membuatku tenang sejenak.

"Mengapa kau harus berhenti, Qy? Setidaknya kau punya alasan dong? Ariqy yang kukenal selalu punya alasan untuk segala keputusannya."

Arindya untuk kesekian kalinya berseloroh. Kami punya satu jam kosong menuju kelas berikutnya—Mikroekonomi. Gadis itu sudah menyelesaikan seporsi bakso favoritnya itu. Dia menyeka bibir dengan tisu. Bibir yang berwarna pias dan tampak kering seperti orang sariawan.

"Kau tahu kenapa aku hanya punya sedikit teman, Rin."

"Lalu?"

"Bagiku, hubungan pertemanan itu bukan hal biasa. Sebaliknya, bagiku itu istimewa. Tidak banyak orang yang mau mengacuhkanku. Mengajakku bicara di saat aku lebih menyukai berdiam diri di pojokan kelas. Mereka, kau, yang membuka mataku bahwa ada kehidupan yang bisa kulalui di sini."

Arindya mendengarkan dengan serius. Dia mensedekap tangannya di atas meja. Gadis itu merupakan pendengar ulung dan hanya dia yang mau mendengarkanku selama lima tahun terakhir ini. Yang lain hanya mendengar sekenanya sembari mencari jalan keluar agar tidak perlu mendengar lebih lama lagi.

"Aku lebih baik tidak mendapatkan Iza daripada harus menyerahkan hubungan pertemanan ini. Mungkin aku memang egois. Mungkin aku memang bodoh."

Arindya menggeleng, "Mungkin ... kau takpernah menyadari bahwa di antara semuanya, Iza akan beruntung mendapatkanmu."

Aku tersenyum getir mendengar perkataan Arindya itu. "Ya, mungkin."

Arindya berdecak. Dia menyelesaikan es teh manisnya. "Kau harus tahu bahwa tidak ada sesiapa pun di dunia ini yang tahu Iza pantas dengan siapa. Semua hanya pilihan. Semua hanya tentang siapa yang duluan. Ngerti?"

Aku mengangguk lemah. Kulemparkan pandanganku ke sisi lain yang tidak ada Arindya-nya. Menyapu sudut kanan kantin Sapta, memandangi keramaian yang sibuk dengan obrolan atau piringnya masing-masing.

Bisa jadi Arindya ada benarnya. Terdengar memotivasi atau memuji atau semacamnya, tetapi bagaimanapun juga aku sadar satu hal: ada dinding yang diam-diam kuciptakan di antara perasaanku dan Iza. Gadis penyuka warna merah muda itu takkan pernah tahu bahwa di antara orang-orang yang berbaris menantinya, ada seseorang di luar barisan itu yang diam-diam menautkan hatinya.

Iza takkan pernah tahu. Meski ditelan waktu dan menghilang di gelap malam. Di hadapan kehilangan, aku memandangi kenanganku sendiri—yang memantul di cahaya rembulan, dan bertanya-tanya, sampai kapan aku harus mempertahankannya? 

UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang