#7. Menilai Langkah

65 5 9
                                    

Ustaz Imran, kakak tingkat di jurusan yang juga seorang pengkaji di Al-Hurriyah pernah berdiskusi denganku perihal tentang tulisan semalam. Kebetulan ia ingin menulis sebuah buku perjalanan hidupnya. Di kesempatan yang sama, aku bercerita padanya tentang perasaan untuk Iza ini. Ustaz Imran ialah satu dari beberapa orang yang kupercaya untuk menyimpan rahasia.

Sarannya hanya satu: mencintai itu bukan urusan hasrat semata. Ada makna yang tersimpan di dalamnya. Itu aku setuju. Mencintai ialah perihal memaknai hati dan merasakan energi positif yang lahir dari sebuah ikatan. Namun, kata dia lagi, mencintai yang benar ialah ketika aku sudah menemui ayahnya untuk meminang anaknya.

"Selama belum dilamar, dia masih sah untuk dikejar. Kamu jangan keder duluan cuman karena dia sudah memilih."

"Kalau dia bukan tipikal perempuan yang seperti Ustaz gambarkan? Nggak semua berpikiran kalau sendiri sampai halal adalah jalan yang mudah dilalui."

"Tugasmu untuk membuktikan padanya bahwa yang serius lebih baik dari yang sekadar hanya mengejar ikatan tidak resmi saja."

"Bagaimana kalau aku yang tidak melakukan seperti itu, Taz?"

Ia hanya tersenyum saja. "Kalau begitu, tetaplah berpikiran bahwa ketika kamu siap, tatap masa depan yang serius. Jangan sekadar hasrat hati saja."

Aku terdiam dan mencoba mencerna ucapan Ustaz Imran. Ia membetulkan kacamatanya dan menyeruput kopi hitamnya yang sudah agak dingin itu. Warkop Bateng tidak begitu ramai siang ini—pukul setengah dua. Mungkin, masih banyak yang kuliah.

Perkataan Ustaz Imran yang terakhir terus terngiang di kepala. Bila tiba masanya aku akan mengatakan segalanya, aku harus menujukannya pada sesuatu yang serius.

***

"Apa rencanamu yang lain? Hanya sebatas kode melalui prosa atau puisi?"

Arindya berbisik padaku di bangku belakang. Pelajaran Ekonometrika yang penting namun membosankan membuat kami berdoa agar kelas ini segera usai. Dosen di depan terus menerangkan, tidak terlalu memedulikan kami yang di barisan belakang.

"Sejauh ini, iya. Main aman saja dulu. Masih sama seperti kemarin. Lebih baik mati menyimpan rahasia daripada mengatakannya langsung."

Gadis di sebelahku ini tertawa kecil. Untung tidak terdengar sampai ke depan. Dosen Ekonometrika yang mengajar di kelasku adalah pria baik yang melapisi dirinya dengan kostum monster. Dia tidak segan untuk merutuki mahasiswanya sendiri ketika mereka tidak bisa menjawab pertanyaan darinya atau ketahuan tertidur di kelas. Yang terakhir, ialah momen kesukaanku di kelas dia dan untungnya tidak pernah ketahuan. Cuman hari ini tidak ada selera untuk melabuhkan kepala pada mimpi.

Tubuh kami di kursi paling belakang tertutupi oleh tubuh anak-anak yang berada di depan kami. Penjelasan tentang rumus Regresi Logistik yang membuat kepala ini pusing menjadikan kelas kali ini seperti sebuah sesi olimpiade sains Astronomi yang taksengaja kuikuti semasa SMA. Bermodal latihan perasaan dan insting untuk menebak-nebak jawaban pilihan ganda sebelum akhirnya di tingkat Provinsi, soal esai benar-benar membunuh langkahku.

"Kamu ini memang, ya. Bertahan dengan pendapatmu terus. Terserah kaulah. Asal jangan menyesal belakangan."

"Maksudmu dengan pilihan yang telah Iza ambil?"

Arindya tidak menjawabnya dengan segera. Sepertinya sang dosen memiliki pendengaran super karena dia berdeham keras dan melihat tajam ke arah barisan dudukku. Anak-anak yang tadi berusaha fokus dengan sesi perkuliah kian tegang. Tatapan tajam dosen itu bagai mengiris-iris. Aku dan Arindya tahu siapa yang sedang dilihat dosen itu.

Taklama kemudian dosen itu kembali mengajar dan suasana kembali seperti semula. Di ruangan persegi yang luasnya kecil membuat sembilan satu manusia di dalamnya tidak memiliki ruang yang menyenangkan untuk mengalihkan pandangan dari pelajaran. Dengan dekorasi begitu default, jam dinding di atas papan tulis yang juga menjadi sasaran tembak proyektor dan gorden berwarna biru tua di kiri dan kanan yang menutupi barisan jendela kecil, aku tak menemukan kesenangan apa pun di sini.

"Bukan itu maksudku." Arindya kembali berbisik kepadaku. Dia menatap ke sosok yang sedang kami bicarakan—Iza duduk empat kursi di depanku.

"Aku tidak mengajarkanmu untuk menjadi orang bodoh dan jelek dengan merebut Iza dari sahabatmu itu."

Aku mendengarkan. Arindya memandangku dengan tegas. Badan kami sedikit tertunduk. Berlindung di balik badan Zogi dan Erwan, dua lelaki berbadan bongsor yang selalu duduk bersebelahan. Mereka selalu bersedia duduk di depan kami untuk menutupi tubuh, berjaga-jaga aku atau Arindya ketidura di dalam kelas.

"Lalu apa?"

Arindya sedikit merengut. Mungkin kesal aku tidak memahami perkataannya dengan baik. "Kamu harus berani melawan ketakutanmu. Kamu hanya perlu mengatakannya dan ya, sudah. Dia sudah bikin pilihan. Urusan dia mau putus sama pacarnya atau melanjutkan hubungan dengan pacarnya itu dengan mengetahui perasaanmu. Walaupun kamu nggak tahu gimana perasannya ke kamu, setidaknya dengan nyatain, kamu bisa jadi lega."

Arindya mungkin habis mabuk kali memberiku saran seperti itu. Butuh kepercayaan diri yang tinggi untuk melakukan itu. Tetapi, dia ada benarnya. Tentang kelegaan hati setelah mengatakan sesuatu yang menjadi beban di dalamnya.

"Entahlah. Biar aku mikir dulu. Sekarang aku senang dengan situasi ini. Mading itu menjadi tempat pertemuan yang baik untuk kami. Dan Iza setiap Selasa akan datang untuk membaca."

"Aku, sih, berdoa saja untukmu, ya. Asalkan kalau beneran dapat, traktiran Domino,"

Arindya terkekeh dengan tatapan yang sungguh menyebalkan.

"Aku sudah punya rencana lain juga, sih. Cuman, ya, nanti lihat bagaimana aku melakukannya saja. Sampai waktunya, kupikir prosa dan puisi di mading itu cukup. Seperti yang kukatakan tadi."

Slide bertuliskan "Terima Kasih" diikuti suara riuh yang sangat rendah, mengiringi selesainya kelas saat ini. Buat beberapa dari kami slide terakhir itu memiliki kekuatan magis tersendiri dibandingkan dengan keseluruhan materinya.

Aku terpaksa menghentikan dulu percakapan ini karena sudah kebelet buang air kecil. Arindya bilang untuk dilanjutkan di kantin saja. Dia masih penasaran. Aku mengiyakan dan dia pun akhirnya menghilang dengan cepat dari kelas.

Bukankah semua memang tentang pilihan? Mengatakan atau menyembunyikan? Keduanya memiliki konsekuensi yang tidak mudah.

UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang