Pagi masih memalu untuk singgah di langit ketika sebuah pesan jejaring dari Helvin sampai di ponselku. Selepas salat Subuh aku memang jarang tidur lagi. Udara yang segar hanya tersedia selepas Subuh hingga pukul tujuh. Aku meraih ponsel dari atas meja dan membacanya.
Helvin memberiku kabar bahwa naskahku sudah dapat persetujuan dari penerbit untuk dieksekusi. Baru beberapa revisi sebelumnya kukirim pada Helvin dan ini artinya, aku harus segera bersiap menyelesaikan sisa revisi. Aku langsung mengirim pesan jejaring ada Arindya dan berjanji menraktirnya sepiring ayam geprek sebagai perayaan.
Di balik perayaan hati ini, ada sebuah ketakutan mendera. Perihal kenyataan tentang Iza. Bagaimana bila akhirnya dia membeli buku itu dan menyadari apa yang kupendam selama ini?
Sebelum aku mulai menjelajahi perpustakaan kenangan untuk mencari tahu jawabannya, sebuah pesan jejaring lain masuk dan membuatku bisu.
Bisa ketemu enggak?
Iza mengirimiku pesan itu. Belum pernah sejarahnya Iza melakukan itu kecuali sesuatu yang berkaitan dengan kuliah. Ada apa ini? Jantungku berdegup lebih cepat. Serupa kau berlari dikejar kereta.
Bisa. Jam 10 di Korfat.
Aku membalas pesan itu dengan sedikit keraguan. Setelah Ihsan kemarin menghampiriku untuk menanyakan beberapa tugas, ia seolah melupakan apa yang ia perlakukan padaku. Kecanggungan terjadi di antara kami. Tetapi dari gurat wajahnya, ia seakan memang tidak suka padaku.
Aku beranjak dari kursi dan membuka pintu. Lalu, kurebahkan badan di atas kasur dengan kedua tangan dilipat sebagai bantal untuk kepala. Mataku menatap langit kamar lekat-lekat.
Akan menjadi sebuah kebodohan bila aku memaksakan ego untuk diam-diam mencipta langkah menuju Iza. Meskipun aku menyenanginya, tetapi jauh di dalam hatiku, aku tahu itu salah. Bila memang gadis itu begitu berarti, mengapa dulu aku memilih berhenti?
Semuanya terus menghantam kepala dan dada. Ya, perjalanan hidupku memang sangat membosankan hari ini. Hari ke hari tidak pernah mendapatkan sesuatu yang positif dan terus memikirkan seseorang. Memikirkan ketidakpantasan alih-aliha melakukan sesuatu untuk memperbaikinya.
Tetapi, masa bodoh. Aku masih ingin menjalaninya.
***
Aku melakukan revisi mandiri sebelum Helvin memberi masukan untuk suntingan naskah nanti. Sebaiknya, aku memeriksanya sendiri dulu. Korfat, begitu nama koridor yang cukup luas dan menghubungkan Fakultas H dan Fakultas F, tidak begitu ramai. Biasanya hari Selasa begini, anak-anak Teknologi Pangan bakalan berkumpul di tiang-tiang koridor.
Hari ini entah mengapa begitu sepi. Aku duduk di meja di sudut koridor, dekat dengan jalan menuju ruang sekretariat jurusanku. Iza belum muncul juga. Arloji di pergelangan tangan kiri suduh menunjukkan pukul sepuluh pagi lewat lima belas menit.
"Hei! Maaf telat,"
Suara Iza terdengar dari arah belakangku. Aku menoleh. Dia memutar meja dan duduk di hadapanku. Iza membetulkan kacamatanya lalu meletakkan tasnya di atas meja. Ia terbengong menatapku yang sedang menatapnya.
"Kenapa?"
"Enggak kenapa-kenapa, Za. Lihat doang."
Iza hanya ber-oh saja lalu mengeluarkan sebuah buku tulis dari dalam tasnya. Aku sendiri sama sekali tidak menahu alasan apa dia memintaku untuk bertemu. Namun, untuknya, aku lebih baik tidak banyak bertanya.
"Aku mau ngajak kamu kolaborasi karya."
Aku mengernyitkan dahi. Berpura-pura tidak mengerti. Padahal dadaku diam-diam merayakannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/134747410-288-k471335.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Usai
RomanceDi hadapan kehilangan, aku membakar semua kenangan masa silam menjadi abu. Di tengah hening malam yang dingin, abu itu kerlap-kerlip di udara dan musnah bersama waktu. Semua sudah selesai. Aku telah kalah oleh semua ketidakberanian yang meranggas da...