"Hei! Apa yang kaulakukan?"
Arindya setengah berlari ke arahku yang sedang melemparkan kerikil-kerikil dari pinggir jalan ke arah turunan di sebelah kampus F. Aku bisa melihat kupluknya itu. Dari jauh aku bisa merasakan aura kegelisahan sang gadis.
"Ngapain kau sendirian di sini?"
"Buang sisa kenangan."
Aku menjawab cepat tanpa memandang Arindya.
"Heh ... ?" Arindya memandangku dengan tatapan aneh. Dia menjatuhkan ransel yang dibawanya ke tanah. "Mukamu kusut gitu jadi aneh, tahu!"
Aku bisa melihat Arindya memeriksa wajahku dengan saksama. Tanpa sengaja aku melihat hidung Arindya yang tajam—mirip denganku. Rasanya hidungnya itu bisa mengendus kegelisahan orang lain.
"Nggak semua kenangan yang kubakar malam itu jadi abu."
Aku mengatakannya dengan pelan sembari memandangi seberang jalan dengan kerikil di genggamanku. Arindya duduk di samping. Dia meraih kerikil dari pinggir jalan dan melemparkannya ke arah turunan. Mungkin kalau ada orang lain lewat sini, kami pasti dikira orang gila. Untungnya, hari ini jalan bagian ini ditutup karena sedang ada perbaikan.
Lagi pula, jalanan ini memang biasa diduduki orang-orang yang kelelahan selepas lari pagi atau sore. Tidak ada larangan untuk duduk dan melempar. Jadi, sah saja.
"Sini kubantuin buang kenangannya," Arindya berseloroh. "Jadi Iza sama siapa?"
Arindya mengambil kerikil-kerikil kecil lalu ikut melemparkannya juga. Sebenarnya bila harus ada yang disalahkan, gadis itu seharusnya menyalahkanku. Lelaki tidak seharusnya membicarakan perempuan selemah ini. Tetapi, bukankah yang menciptakan standar seorang lelaki itu ialah Tuhan dan bukan orang lain?
Arindya tahu isi kepalaku seperti itu. Walaupun butuh waktu lama untuk menyesuaikan dengan miliknya.
"Jangan menggodaku. Aku lihat kau bicara dengan Iza tadi pagi."
Arindya tersenyum pahit ke arahku. Aku benci membicarakan ini sebenarnya. Benar kata orang, penyesalan selalu datang belakangan. Dan ungkapan "aku baik-baik saja" cuman sebuah kebohongan terburuk yang pernah ada.
"Ah, kau ada di sekitar itu rupanya. Kok, kayak hantu, sih, keberadaanmu terkadang nggak bisa ditebak gitu."
Aku memasang senyum pahit. Tadi tanpa sengaja ketika aku sedang lewat di koridor menuju ruang kelas untuk mengambil barang yang ketinggalan, tampak Arindya mengobrol sesuatu dengan Iza. Atau mungkin mereka tidak sengaja bertemu. Aku diam-diam mencuri tatap pada wajah Iza. Pada bingkai mata dan keteduhan yang hidup di baliknya.
"Sudahlah. Sedari awal aku yang menciptakan batas itu. Jadi, pikiran selama ini memang benar. Aku nggak pantas."
Arindya melenguh. "Memang definisi pantas untukmu apa, sih?"
"Sederhana," tukasku, "aku kalah dalam segala bidang. Materi. Fisik, mungkin? Ah, aku membosankan. Aneh."
"Itu, kan, katamu," balas Arindya. "Pernah tanya Iza nggak apa pendapatnya tentang kamu?"
Aku menggeleng. Mana berani aku melakukan itu. Arindya memang gila. Bertanya seperti itu sama saja dengan bunuh diri yang konyol.
"Kalau begitu jangan seenaknya menilai dirimu sendiri!"
Aku terkesiap. Arindya tampak begitu masam dan dia berdecak kesal. Ya, pastilah dia akan kesal kalau orang yang diajaknya bicara itu aku. Seringkali apa yang dikatakannya malah memantul balik. Seakan tubuhku dilapisi dinding transparan.
"Sekarang begini saja," cetus gadis itu tegas. "Besok aku akan bicara dengan Iza soal perasaan kau. Kalau bukan kau, harus seseorang lain yang melakukannya."
"Kamu gila!"
Aku bereaksi cepat terhadap perkataan Arindya. Keseriusan memantul di bola matanya. Ini namanya Arindya yang membunuhku. Belum tepat waktunya sekarang.
"Kalau gitu kaulah yang harus melakukannya."
"Tidak ...," ujarku, "aku bahkan nggak bisa bicara dengan leluasa. Doi selalu bareng Iza ke mana pun ... hei, jangan sela dulu!"
Arindya sudah hendak mengatakan sesuatu sebelum aku mencegahnya. Kebiasannya mengintervensi terkadang suka mencapai batas. Gadis itu selalu ingin apa yang terpikirkannya bisa ditransformasikan segera. Kami seperti dua kutub yang sama, namun anehnya bisa saling menyatu.
"Aku nggak bisa lihat langsung ke matanya, Arin. Setiap kali melakukan itu, aku selalu melihat pantulan diriku yang bodoh karena nggak melakukan apa-apa."
Arindya kesal. "Kau harus belajar untuk tidak menjadi peimis, Qy. Kenapa, sih, kamu selalu menganggap dirimu rendah?"
"Dia dan segalanya: Kepala Divisi di organisasiku, aktif di klub bisnis kampus, dan terlebih ... semua orang mengincar dia. Kesempatan apa yang tersisa untukku?"
Arindya menghela napas panjang. "Jadi kau menilai pantas tidak pantas dari sesuatu yang diraih seseorang atau ketidakmampuanmu mengimbangi pola hidupnya? Lucu sekali, Qy."
"Lalu apa?" balasku cepat. "Setelah berpikir lama, di balik perasaan ini aku sadar bahwa aku tidak bisa mengimbangi kehidupannya. Mengetahui itu saja sebenarnya sudah cukup sebagai alasanku untuk mundur. Cuman, ada yang aneh dengan perasaan ini. Ia nggak mau mundur. Entahlah ...."
Arindya bangkit dan menepuk-nepuk celananya bagian belakang yang tadi menghimpit tanah ketika duduk. Dia menatapku dengan tajam sejenak sebelum akhirnya tersenyum.
"Kau hidup dengan asumsimu yang terkadang membutakan, salah satunya kepada perasaan. Nggak semua hal di dunia ini butuh alasan. Bila benar kaupunya perasaan kepada Iza, pernah sadar nggak kenapa bisa hal itu terjadi?"
Aku terperangah mendengar penjelasan itu. Perkataan Arindya berhasil menembus ruang pikiranku seketika dan kemudian berputar dengan lembut di dalamnya. Bagaimana bila Arindya benar bahwa ketidakpercayaan diriku selama ini menciptakan asumsi-asumsi untuk menjauhkanku dari perasaan ini? Memikirkannya saja sudah membuatku sesak.
"Ingat satu hal, Ariqy. Jangan tenggelam dalam ketakutan yang berselubung alasan."
Aku memandangi mata cokelat milik Arindya cukup lama—mencoba mencerna perkataannya tadi. Arindya menatapku balik seakan menantang. Tidak, aku tidak tenggelam. Aku hanya merasa sudah cukup. Ya, suatu hari nanti perasaan itu akan terungkap. Namun, yang bisa kukatakan pada Arindya adalah ketidaktahuan perihal "kapan" itu akan datang.
![](https://img.wattpad.com/cover/134747410-288-k471335.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Usai
RomanceDi hadapan kehilangan, aku membakar semua kenangan masa silam menjadi abu. Di tengah hening malam yang dingin, abu itu kerlap-kerlip di udara dan musnah bersama waktu. Semua sudah selesai. Aku telah kalah oleh semua ketidakberanian yang meranggas da...