#12. Hari yang Buruk

41 2 7
                                    

Kelas yang dibawakan oleh Pak Arifin siang ini sungguh membosankan. Pria berusia 43 tahun dengan berewok dan punya kebiasaan memberikan pekerjaan rumah yang cukup ribet. Seperti hari ini; setelah mendapatiku tertidur di kelasnya di kursi belakang, dia memanggilku ke depan dan berpidato perihal pentingnya semangat belajar dan aku adalah contoh yang buruk.

Arindya terkikik di belakang. Aku mendengarnya ketika berjalan di gang antara kelompok bangku kanan dan kiri dengan malas ke depan kelas. Sembilan puluh mata memandangiku. Bukan karena mereka peduli atau ingin meledek, sebagian mungkin, tetapi lebih karena suara tinggi Pak Arifin ketika memanggilku tadi.

Mendadak semua memperhatikan wajah guru berambut cepak seperti tentara itu. Katanya di suatu kelas, kerapian adalah simbol kedisiplinan. Dan pekerjaan rumah adalah cara mendisplinkan mahasiswa. Disiplin kepalamu. Sejarah kami memang tidak baik. Semester ini, sepuluh pertemuan, dan sepuluh kali dia menangkap basah aku tertidur di kelasnya.

Mungkin itulah penyebabnya di pertemuan sebelas ini emosinya sudah memanjat sampai ubun-ubun. Ihsan memandangiku dengan cukup sinis dari bangku baris keenam, sementara Iza di sampingnya menatapku dengan lekat. Kutebak bukan karena sedih, tetapi lebih karena kasihan.

"Anak zaman sekarang selalu seperti ini! Malas dan nggak mau jadi pintar! Zaman saya dulu buat kuliah saja, saya bekerja paruh waktu demi bayar uang kuliah! Tidur tepat waktu, makan tepat waktu, dan belajar tepat waktu!"

Mulai, pidato panjangnya.

"Saya kecewa sama kamu, Ariqy! Semester ini kamu selalu tertidur di kelas saya, ada apa? Kamu itu bukannya terpacu buat naikkin IP malah tidur!"

Aku diam saja memandangi lantai. Sesungguhnya aku tidak pernah benar-benar menyerap apa yang dosen ini katakan. Sungguh, tidak peduli. Hanya saja, aku tidak ingin Iza melihatku jauh lebih buruk lagi. Tidak seperti ini.

Ruang kelas ini menjadi senyap seperti kota mati. Aku yakin banyak mahasiswa memilih untuk melabuhkan matanya ke tempat lain, asalkan tidak kepada Pak Arifin. Mata kuliah Regulasi Perbankan memang menjadi momok bagi kami. Selama ini aku terlalu tidak peduli dengan yang lain-dan kuharap tetap begitu.

"Sebelas kali kelas saya. Sebelas kali kamu bikin saya kecewa. Nilai UTS-mu juga tidak meyakinkan saya ...."

Apakah sekarang data mahasiswa bukanlah lagi menjadi privasi?

"Maafkan saya, Pak," kataku. "Saya bukannya tidak menghormati kelas Bapak, tetapi saya sudah berusaha mengendalikan diri saya sampai rasanya nggak kuat."

Mendengar itu Pak Arifin semakin tinggi nada suaranya. Di antara semua dosen yang pernah singgah di kelas ini, hanya dialah yang berpegang teguh pada filosofi hidupnya dan juga dikenal taksegan untuk menangani mahasiswa yang bertingkah taksesuai dengan prinsipnya itu.

Killer. Itu kata anak-anak di kelas ini.

Aku menarik ke dalam bibir bagian bawahku dan menggigitinya pelan-pelan. Mau debat sampai satu abad, nggak ada yang bisa mengalahkan lelaki penyenang sepatu olahraga tersebut-dia selalu memakainya ketika mengajar. Ihsan tampak berbisik sesuatu pada Iza. Lelaki dengan potongan outback itu memandangiku seolah aku adalah hal terburuk di dunia ini.

Aku tidak tahu dendam apa yang dia simpan. Iza sudah dia dapatkan. Dia menjauhiku begitu saja, ya, aku memberinya ruang untuk itu.

"Sana, kembali ke kursimu! Hukumannya adalah bikin ulasan setengah buku Mankiw!"

Aku hanya bisa melenguh dan berjalan kembali ke bangku dengan lemas. Ini tidak baik, dipermalukan di depan kelas. Meskipun sebenarnya masa bodoh. Tetapi, aku hanya memikirkan apa pendapat Iza tentang ini. Dan karena itu, aku begitu marah di dalam dadaku.

Begitu bodoh dan egois. Beberapa hari terakhir memang aku sulit sekali berkonsentrasi. Menghabiskan malam untuk memikirkan tulisan demi tulisan. Mengiringi kepala yang terus menceracau tanpa henti.

Arindya melirik ke arahku. Mukanya yang tadi bahagia sekali tiba-tiba berubah. Pak Arifin kembali menuliskan sesuatu di papan tulis, sepertinya sebuah rumus metode kuantitatif yang lain, dan anak-anak kelas pun kembali fokus. Mataku mencerap dan menemukan Iza sekali berusaha mencuri sitatap padaku. Sesaat setelah aku membalas tatapannya dia langsung memalingkan wajah dan kembali memandang papan tulis.

***

"Bagaimana rasanya?"

Arindya menanyaiku dengan senyum semringah. Kupikir ketika dia mengubah gurat wajahnya tadi, gadis ini mengerti apa yang sedang kurasakan belakangan ini. Arindya menghabiskan sisa es teh manisnya dengan cepat dan kembali menatapku.

"Enggak ada enak-enaknya. Sepet."

Arindya tertawa. "Lagian tidurnya enggak profesional."

"Otakku lagi korslet kayaknya. Enggak bisa fokus."

"Kenapa? Mikirin Iza terus?"

"Bukan ...."

Tidak mungkin segamblang itu mengatakan "Iya" duhai Arindya, bodoh. Meskipun itu kepadamu. Kelas berikutnya masih dua jam lagi. Aku dan Arindya nongkrong sejenak di kantin Sapta sebelum nanti bergabung dengan Ari cs. ke belakang Gymnasium untuk main OUIJA, permainan papan mirip pemanggilan Jelangkung. Memang bodoh, kelihatannya.

"Aku sedang mengerjakan sesuatu dan itu menyita pikiranku banyak sekali. Kepalaku seperti komputer yang tidak pernah mati dan terus-menerus panas. Geraknya cepat tetapi tidak terkendali."

"Kau harus istirahat, Qy. Ambil jatah saja. Jangan pergi, jangan ngerjain apa pun. Istirahat, tok."

Aku memainkan sendok garpu di dalam piring kosongku yang berisi indomi rebus. Mengaduk-aduk sisa kuah yang berwarna gelap karena sudah bercampur bumbu itu. Beberapa teman Arindya yang tak kukenal menyapanya sembari berlalu melintasi kantin yang sudah serupa koridor terbuka dengan wewangian menggugah perut.

"Boleh nanya sesuatu, Rin?"

Arindya mengernyitkan dahinya. "Tentu saja. Apa, tuh?"

"Entah bagaimana cara menjelaskannya. Emm ... salah enggak, sih, mencintai seseorang yang sudah bareng sama orang lain?"

"Tergantung. Kalau orangnya jahat ceweknya baik, kamu bisa tikung."

"Sialan, aku serius."

Arindya tertawa lagi. Mungkin sebentar lagi dia bisa jadi gila. "Menurutku mungkin salah. Kau enggak bisa berharap kebahagiaan seseorang jadi rusak, kan? Itu artinya kau mendoakan sesuatu yang buruk."

"Bener, sih. Tetapi perasaan itu enggak bisa mengontrol kepada siapa dia jatuh cinta. Manusia yang bisa ngontrol perasaan untuk memilah mana saja yang pantas diikat dengan komitmen. Saat ini, aku tidak mampu mengendalikannya."

"Ini baru satu bulan, Qy. Wajar kalau otakmu itu masih berpikir yang kacau. Walaupun termasuk lama untuk enggak bisa move on. Percaya, deh, cari gadis lain aja. Kampus Pertanian segeda gaban begini dan kamu hanya terpaut pada seseorang. Ingat, Ihsan itu sahabatmu. Dan kau yang bilang bahwa enggak mungkin mengorbankan persahabatan daripada sebuah perasaan, bukan?"

Apa yang dikatakan Arindya menohok ruang-ruang pikiranku. Dia benar. Tetapi, aku tidak pernah ingin menyerah. Setidaknya meskipun dalam diam, aku ingin Iza tahu bahwa ada beberapa hal takterungkapkan yang berdiam diri di dadaku, menunggu waktu untuk mencipta pertemuan dengannya.

"Tetapi, aku mendukungmu bukan untuk mengatakan perasaanmu pada Iza? Melalui puisi atau mengatakannya langsung?"

"Yep."

"Aku mendukungmu karena aku tidak ingin kau terjebak dalam rasa penyesalan dan kau melakukan itu. Tetapi, bila memang pada akhirnya tidak berujung pada harapanmu, jangan memaksakan. Segalanya punya jalan yang baik dan memaksakan diri merupakan jalan yang buruk untuk mencintai seseorang."

Sekali lagi, perkataan Arindya benar-benar menohok diriku dengan telak.

UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang