Jangan kautanyakan seperti apa rasanya menunggu. Bagaimana bisa kauingin aku mengatakan sementara kauterus pergi?
Ini api, Puan. Menyala dengan nyalang di dadaku. Menyelusupkan rasa hangat—bukan dari perasaanmu. Api ini membakar semua lembar-lembar harapan yang (pernah) kuterbitkan untukmu.
Ini api, Puan. Mendaki gunung di mataku yang malam—membakar api unggun untuk seluruh kenangan. Di dingin yang menyergap tubuh kita. Segalanya punya titik. Pun kita.
—AR—
Dua minggu kemudian puisiku kembali lahir di mading FEMA. Sebuah mading milik fakultas I. Fakultas yang mempelajari ilmu komunikasi dan ilmu keluarga. Dan, ya, sungguh lucu mahasiswa dari fakultas tetangga harus menerbitkan karyanya di sini. Karena memang belum ada apresiasi yang baik dari fakultasku—H—untuk karya sastra seperti ini.
Mungkin mereka berpikir ekonomi tidak cocok dengan sastra. Dalam hati aku hanya bisa tertawa getir. Sebuah pemikiran yang lucu—tetapi memang bagi sebagian orang, berkomentar memang lebih mudah daripada sekadar berpikir lebih jauh lagi.
"Puisimu makin bagus aja. Tentang kekecewaan sekarang, nih?" tanya Arindya menggoda. Aku mengusap rambutnya dengan sebal dan dia hanya tergelak meledek.
"Sudah saatnya aku harus bikin sesuatu yang lebih 'dekat' dengan dia."
Arindya memeriksaku dari atas ke bawah. Dia memandangku heran. "Kau yakin? Bukankah dulu kaubilang lebih baik mati menyimpan rahasia ini daripada mengatakannya? Kau sendiri yang bilang aku gila."
"Haha ...." Aku tertawa pelan karena menyadari hal itu. Arindya ada benarnya. "Aku ... hanya berusaha mengikuti nasihatmu dulu, dan ...."
"Dan apa?"
"Dan ... pertemuan dengan Iza dan temannya Mia dua minggu lalu itu. Aku merasa Mia juga sependapat denganmu."
Arindya mengumpulkan rambut keritingnya yang serupa mi itu ke belakang dan kemudian mengikatnya dengan penjepit rambut. Dari semua karya sastra di mading ini—totalnya ada 3 dan dua lainnya adalah cerpen, aku hanya tertarik pada puisi ini. Karyaku sendiri.
"Sini, Qy." Aku menoleh ke belakang. Arindya memanggilku dan menepuk kursi kosong di sebelahnya, tepat di seberangku.
"Sekarang kau mau bilang kalau kau siap untuk menciptakan langkah lagi buat Iza? Kau tahu apa yang nanti dipikirkan oleh Ih—"
"Jangan sebut nama itu."
"—San."
"Come on," keluhku. Arindya menatapku tajam. Mata cokelatnya sedikit berkilat.
"Ayolah! Apa salahnya menyebut nama dia? Toh, dia sahabatmu?!"
Aku sedikit gusar mendengar pernyataan itu. Aku tidak pernah membenci lelaki itu sama sekali. Sekali lagi kutekankan. Terlalu banyak kebaikan di masa silam yang dia lakukan kepadaku. Hanya saja untuk urusan perasaan, aku tidak bisa menyembunyikan kekecewaan kepada diri sendiri.
Lelaki itu adalah teman baikku dari semester pertama hingga menginjak angka ketujuh ini. Dan, ketika aku tahu dia mendekati Iza setahun yang lalu, rasanya aku seperti membeku di kutub utara. Aku tidak mungkin melangkah maju di jalan yang sama dengan orang yang sudah kuanggap penting di dalam hidupku.
"Sahabat mana yang menghindarimu—dan bahkan kamu melakukan hal yang sama pula—hampir selama enam bulan sampai sekarang? Sahabat mana yang mencoba menjauh hanya karena kalian mengejar gadis yang sama. Ini nggak baik, Ariqy!"
Lagi. Arindya ikut campur terlalu jauh. Dia memang selalu tidak suka jika aku terjebak pada ketidakpercayaan diri atau melihatku murung. Tetapi, aku tidak bisa memungkiri Arindya. Sang ssahabatku itu sejak pergantian semester ke tujuh, memang seakan mulai memasung jarak.
Meskipun tidak secara langsung aku bisa merasakannya. Bahkan, teman-temannya yang memang dari dulu juga kerap berdiskusi di kelas denganku juga melakukan hal serupa. Entah apa kesalahan yang kulakukan, mengingat demi pertemanan ini, aku memilih mengurangi langkah menuju Iza satu-satu.
"Yah, aku tidak mempermasalahkan pertemananku dengan lelaki itu ...."
"Mengapa kau takmau menyebut namanya lagi? Jadi beranilah!" potong Arindya karena kesal. Dia mensidekap tangannya.
"Ya! Oke," kataku, muak dengan tekanan ini. "Ihsan. Kau senang?"
Arindya mengeluh. Aku tahu. Dia benci aku seperti ini. Arindya selalu menjadi pendukungku dari dulu—jadi alasannya kuat mengapa dia nggak suka aku seperti ini.
"Aku tidak punya masalah dengan Ihsan. Kami baik-baik saja, meskipun faktanya dia seperti itu."
Beberapa adik kelas menyapa kami saat mereka baru muncul dari bawah tangga sebelah kanan kami, melintasi koridor I dan juga mading itu. Sedari tadi koridor ini sepi, sampai adik kelas tadi melintas. Arindya sebenarnya juga tidak peduli koridor ini sepi apa bukan. Dia bisa berkata keras atau pelan tanpa memedulikan situasi apa pun.
"Itulah kenapa aku terus memikirkan nasihatmu dulu. Dan pertemuan dengan Iza dan Mia membuatku sadar satu hal: satu-satunya ikatan resmi itu ya pernikahan. Sampai waktunya dia akan segera benar-benar memilih, kesempatan itu tetap ada."
"Semua perkataanmu adalah 180 derajat terbalik dari apa yang kamu kataka ketika Iza memilih Ihsan sebagai kekasihnya. Aku harap kau memang benar waras dan yakin dengan apa yang kaulakukan.
Aku hanya menggoyangkan sedikit kepalaku sembari mengulum bibir. Arindya mulai cerah seperti matahari pagi. Dia membetulkan posisi tas di punggungnya dan kemudian menyilakan kaki kanannya ke kaki satunya. Dia memangku tangannya di dagu lalu menatap ke seberang. Ke arah mading FEMA.
"Lalu, itu solusimu?" tunjuk Arindya ke mading.
"Ya, aku harap cukup," balasku. "Dan sesuatu hal yang lain, tetapi tidak sekarang."
Arindya mendelik. Sementara angin mulai berdesir di tempat kami duduk. Di belakang kami ada sebuah taman kecil, milik fakultas I, dengan dua saung berada di sisinya dan beberapa jenis bebungaan berada di sekeliling saung dan jantung taman itu. Arindya suka sekali taman itu—meskipun kini kami duduk membelakanginya.
"Apa pun yang kaulakukan, selama itu tidak membuatmu seakan seperti lelaki yang hendak bunuh diri, akan kudukung. Tetapi, ingat satu hal: kau sudah terlambat untuk mengikat hubungan dengannya. Sejauh yang bisa kaulakukan ialah membuat dia sadar soal perasaanmu."
Aku tersenyum. "Itulah yang akan kulakukan. Kau bisa membaca pikiranku."
Arindya ikutan tersenyum. Lebar. Dia bangkit dan menarikku pergi. Aku tanya ke mana. Dia tidak menjawab. Dia hanya mengalungkan tangannya di lenganku dan pergi dengan suasana hati yang tampak bahagia. Ada apa dengan perempuan ini? Kataku dalam hati. Ya, perempuan memang sebuah teka-teki yang sulit kupecahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Usai
RomantizmDi hadapan kehilangan, aku membakar semua kenangan masa silam menjadi abu. Di tengah hening malam yang dingin, abu itu kerlap-kerlip di udara dan musnah bersama waktu. Semua sudah selesai. Aku telah kalah oleh semua ketidakberanian yang meranggas da...