"Kau senang sekali hari ini?" Arindya bertanya.
Dia mengawasi gurat wajahku yang begitu semringah hari ini. Katanya, gurat ini beda dari biasanya. Setengah jam lalu ketika matahari kian membakar kulit, aku buru-buru pulang ke indekos, membonceng Arindya, dan gadis itu langsung mengeluarkan seperangkat permainan monopoli setibanya kami di sana. Dia menghamparkannya di atas lantai.
"Masa, sih?" kataku pura-pura. Menggerakkan bidak monopoli beberapa langkah. "Aku beli Brazil!"
Arindya sedikit menggerutu. Selain karena itu adalah negara yang diincarnya sedari tadi untuk dibeli, juga karena pertanyaannya dijawab pertanyaan. Gadis itu menghentikan bidak monopolinya.
"Ada apa?" protesku. Berusaha untuk tidak semringah lebih lama lagi. Arindya memandangku dengan kesal.
"Aku yakin kau menyembunyikan sesuatu dariku."
"Kau bukan ibuku, Rin."
"Ya, tetapi, kau jelas-jelas merahasiakan sesuatu. Mana mungkin kau yang murung sekian bulan lantas tetiba bahagia kayak bocah dikasih hadiah ulang tahun playstation."
Aku mengocok dadu kembali dan melemparkannya. Dua dadu itu menunjuk enam titik dan tiga titik. Aku memindahkan bidak monopoli sejumlah titik yang tadi terbuka. Arindya masih mengawasiku dengan sebal. Memang, tidak ada pernah ada perjanjian di antara kami untuk saling bercerita paling rahasia. Namun, salah satu cara bersahabat yang baik ialah terbuka satu-sama lain.
"Ini tentang Iza, kan?"
Aku menoleh. Kepo sekali Arindya ini, batinku. Takbisa dipungkiri bahwa ajakan Iza memang menerbitkan bahagia yang hangat di dalam dada. Setelah sekian lama hanya bisa merutuki kepergiannya, dia kembali dengan sebuah harapan, bahwa barangkali masa ada jalan untukku menuju ke hatinya.
Mungkin, kelak, di dalam keterdiaman, aku bisa bicara banyak hal padanya. Tentang apa-apa yang telah dibakar oleh kepala; dilupakan oleh hati. Mencintai, tidak mengenal konsep waktu. Sekalipun, dia telah bersama orang lain, barangkali itu sebuah pilihan yang belum tepat.
"Lah, bengong."
"Eh," kataku terkesiap. Tidak menyadari pikiranku jatuh pada Iza lagi.
"Tuh, kan, pipinya merah," goda Arindya. Ia menggulung rambutnya ke belakang, menyerupai model-model perempuan Jepang dengan menyisakan sepotong poni di depan.
"Apa yang terjadi di antara kalian?"
Aku masih ragu-ragu untuk mengatakannya. Rasanya ingin menikmati kebahagiaan ini sendiri saja. Apa yang berharga bagi seseorang, maka biarkan itu menetap selamanya.
"Okey, kalau enggak mau cerita. Aku di—"
"Iza mengajak nulis bareng," potongku cepat.
Seperti yang sudah diduga, Arindya membeliak. Jika kau pernah menonton acara televisi dengan host perempuan yang ekspresif dan sedikit overreacting, nah itu bentuk Arindya saat ini.
"I knew it! Ini kesempatanmu, Qy!"
"Aku belum menjawabnya."
"Kaugila."
"Ya ...."
"Dia enggak hanya mengajakmu begitu saja, Ariqy. Dia pasti punya maksud tertentu."
"Kau Tuhan?"
"Bukan begitu," Arindya melenguh, "kau ini bebal sekali. Perempuan bila mengajak duluan pasti punya maksud tertentu karena dia berharap lelakilah yang duluan ngajakin. Kau yang duluan ngajakin. Tetapi, kau itu emang dasarnya enggak peka, ya, jadinya gitu."
"Kata siapa aku enggak peka?"
"Bagaimana kalau ternyata Iza juga suka sama kamu?"
Sialan, Arindya hanya menumbuhkan harapan saja. Tidak, tidak, aku tidak ingin berjalan hingga sejauh ini. Tetapi, bukankah benar ini adalah sebuah kesempatan? Aku berbohong pada Arindya perihal belum menerima ajakan karena benar-benar enggak tahu harus bagaimana mengatakannya.
Terkesan mudah, tetapi untuk manusia sepertiku? Sulit. Seperti menjawab soal Matematika Ekonomi yang tiada pahamnya samasekali.
"Hei, hei, kau sudah berani minum alkohol sekarang, heh? Menceracau begitu."
"Ye, dibilangin." Arindya berdiri dan duduk di bahu kasur. Mencuri guling dan memeluknya. "Percaya, deh. Kesempatan begini enggak akan datang dua kali."
"Aku tahu."
"Lalu?"
"Oke, oke. Aku mengiyakan tawaran Iza. Puas?"
Itu yang tergurat di wajah Arindya. Dia tersenyum menang. Tangannya mencuri dadu dari hadapanku dan melemparkannya ke atas papan monopoli. Dadu empat dan tiga. Dia menggerakkan bidak sesuai angka, lalu memeriksa uang monopoli miliknya. Bidak itu berhenti di kotak negara Belanda.
"Belum tahu kapan, sih. Mungkin segera. Setahuku dia mau trip sama Ihsan kan bulan depan. Aku mendengar mereka daftar program studi banding jurusan ke Malaysia itu."
"Kau enggak ikut?"
"Enggak punya uang."
Sekarang gantian aku yang beranjak dan rebah di atas kasur. Badan rasanya pegal sekali. Sudah beberapa bulan belakangan jarang futsal. Sebenarnya sejak Ihsan dan Iza bersama. Lelaki itu teman bermain futsal. Namun, sejak kebersamaan itu dia sudah jarang mengajak lagi. Entah alasan apa yang membuat Ihsan membenciku.
Bukan salahku kami mencintai perempuan yang sama. Meski itu bukan salahku pula, bila aku masih mengabadikan perasaan ini ke dalam kata-kata.
"Apa yang harus kulakukan?"
"Pesan indomi di warkop depan, gih."
Aku melempar bantal ke kepalanya. Bicara seenak jidat saja. Seharusnya dia yang pesankan. Di indekosku, tamu bukan raja, tetapi penghuninya.
"Aku serius."
"Tumben?"
"Sial."
"Okay, santai, Qy ...," goda Arindya, "aku juga enggak tahu. Toh, dengan Ihsan saja ngambil jarak sama kau, sekarang Iza malah ngajak nulis bareng. Kebayang, kan, apa yang bakal terjadi di waktu yang datang?"
Arindya benar. Ini akan menjadi rumit. Sangat rumit.
"Tapi, ini kesempatan besar untukmu," lanjut Arindya. "Ini momen yang tepat buat kau mulai memastikan arah perasaanmu itu. Selama ini kau selalu murung dan menggerutu karena setelah bertahun-tahun di kelas yang sama, kau enggak bisa dekat. Bayangin, bertahun-tahun kalian enggak pernah berpapasan bacain puisi di mading Fakultas I dan tetiba kau berani kirim ke sana lalu berpapasan baca? Menurutku itu bukan kebetulan."
Sembari mendengar Arindya, perutku ternyata benar memberontak. Aku beranajak dari kasur, mencari lembaran dua puluh ribuan dan bergegas menuju warkop di depan indekos. Memesan dua indomi. Namun, perkataan gadis itu terus terngiang.
Setelah sekian lama terpendam, mungkin ini waktunya untuk mengatakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Usai
RomanceDi hadapan kehilangan, aku membakar semua kenangan masa silam menjadi abu. Di tengah hening malam yang dingin, abu itu kerlap-kerlip di udara dan musnah bersama waktu. Semua sudah selesai. Aku telah kalah oleh semua ketidakberanian yang meranggas da...