#9. Kesempatan Terbaik

63 4 0
                                    

"Hei! Sendirian aja?"

Di tengah lamunanku sewaktu jam makan siang di kantin Sapta, sebuah suara yang tidak asing terdengar dan membuat lamunan itu berantakan. Aku menoleh. Iza dan seseorang lain lagi yang tidak kukenal. Berbeda dengan Iza yang hari ini menggunakan kerudung biru, senada dengan kemeja jeansnya, gadis yang bersama Iza itu memiliki rambut cokelat sebahu. Tatapannya begitu tajam—seakan tidak suka ada di sini.

"Ya, kelasku Kamis ini cuman tadi pagi aja yang bareng kamu."

Di semester tujuh seperti ini, kelas perkuliahan biasanya hanya tersisa sedikit. Mereka yang dapat sks lebih itu disebabkan mengulang mata kuliah (nilai jelek) atau mengambil kelas jurusan lain untuk membayar utang sks. Aku sudah membayar semua utang sks di semester lalu.

Gadis di sebelah Iza tadi menatapku seakan sedang memeriksa lamat-lamat, lalu melepas tatapan itu sekejap. Aku kenal wajahnya sekilas karena dulu sepertinya kami pernah berada di satu grup ospek fakultas. Namun, mustahil untukku mengenal baik tiga puluh dua anggota grup hanya dalam tiga hari.

"Kenalin, ini Mia. Anak Manajemen. Sesama pencinta puisi juga."

Iza menyenggol tangan gadis yang sedikit cuek itu—matanya sibuk pada ponsel di tangannya, lalu dia menyodorkan tangan kanannya ke arahku. Aku balas menjabatnya. Mereka pun duduk di hadapanku. Iza meletakkan beberapa buku dari pelukannya ke atas meja. Pemandangan yang selalu kulihat selama tiga tahun mengenalnya.

"Mia ini teman satu kosanku. Kami suka tukar-tukaran buku puisi," kata Iza melirik ke arah Mia.

Gadis itu tersenyum terpaksa. "Aku sebenarnya dipaksa dia ikut ke sini biar bisa temenin. Kamu tahulah, si I—"

Iza menatap Mia cukup tajam, matanya sedikit melotot, dengan ekspresi yang seolah mengatakan, "Jangan ngomong aneh-aneh."

Mereka duduk di hadapanku. Mia duduk dengan wajah dengan ekspresi datar. Seperti orang yang memang benar-benar dipaksa datang ke sini. Kupikir tadi dia hanya bercanda. Penampilannya tidak seperti anak jurusan Manajemen di sini kebanyakan, yang tampil dengan selera fesyen baik.

"Tadinya aku mau ajak Ihsan, tapi dia ...."

"Ya, aku tahu dia lagi ada lomba olimpiade Ekonomi di Bandung," jawabku melanjutkan kalimat Iza.

Aku tahu nama lelaki yang akan disebutnya: sahabatku sendiri. Bukan berarti aku membenci lelaki itu. Dia bahkan tidak tahu bahwa aku (masih) menautkan perasaan pada Iza. Mungkin hanya butuh sedikit waktu untuk terbiasa. Apa yang terjadi di antara kami—dengan Ihsan—mungkin serupa kompetisi. Setidaknya begitu yang terjadi, ketika lelaki itu tetiba menjauhiku.

Iza merogoh buku dari dalam tas dan memisahkan beberapa buku itu di atas meja. Dia mengambil satu dan mendorongkannya ke arahku. Aku melihatnya dan kemudian cukup terkagum.

"Wow. Hujan Matahari karya Mas Gun. Salah satu favoritku."

Iza tersenyum. Semanis gula. Dan rasanya aku rela menderita diabetes bila Iza penyebabnya. Aku membereskan peralatan menulisku yang tadi meletak sembarangan di atas meja sebelum melamun. Memikirkan perihal masa depan tanpamu. Sebuah keklisean yang lain. Namun, aku tidak keberatan dengan itu.

"Kamu udah baca?"

"Tiga kali."

Tiada pernah terbesit di kepala percakapan seperti ini bisa dilahirkan. Setelah jarak yang memisahkan antara perasaan dan realita, momen ini benar-benar berharga untukku.

"Aku suka kata-kata Mas Gun. Sederhana dan kena," kata Iza.

"Tentu," kataku singkat. "Mas Gun, Azhar Nurun Ala, Bara, mereka penulis yang jadi referensiku. Tulisanku turut bertumbuh seiring membaca karya-karya mereka."

UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang