Aku sudah setengah jalan menuju kelas Matematika Ekonomi di lantai 4 koridor H ketika Arindya mencegat di depan koridor terakhir. Wajahnya berseri-seri. Di pelukannya ada buku diktat Chang terbitan lama. Seperti biasa, kupluk menutupi rambut merah ikalnya.
"Bagaimana pagimu?"
Arindya menyerahkan buku itu ke pelukanku dan itu sungguh menyebalkan. Siapa yang punya siapa yang bawa. Aku mencibir ke arahnya dan itu membuat Arindya semakin keras tergelak.
"Sama saja seperti biasa."
Aku memelankan langkah yang tadi sedikit terburu-buru—tadi kupikir aku sendiri yang telat, nyatanya banyak yang juga baru datang—dan membetulkan posisi buku itu di pelukanku agar tidak jatuh.
"Hidupmu datar sekali!" seru Arindya, diiringi cibiranku yang kedua.
"Tidak ada yang salah," kataku. "Orang mau bilang supaya mengubah cara pandang hidup juga tidak akan ngaruh, Rin. Bukan urusan mereka mencampuri hidup orang lain."
"Kau yakin bicara seperti itu?"
"Ya ...." Aku sedikit mempercepat langkah setelah merasa langkah kami cukup lambat. Untuk menyimpan beberapa detik yang berharga demi mengerjakan satu nomor pekerjaan Matematika Ekonomi yang belum kuselesaikan.
Langkah kami sudah dekat dengan pintu kelas hingga seseorang muncul dari balik pintu dan pandangan kami saling bertemu—Iza. Aku terkejut karena tidak menyangka dia akan muncul dari sana. Aku sedikit gelagapan, karena momen dadakan ini, sebelum akhirnya Arindya mencairkan suasana dengan menyapamu.
Senyummu kala itu sungguh membekukan tubuhku. Senyum yang ingin sekali kuberi pigura dan dipajang di kamarku. Tapi, nyatanya aku hanyalah seorang pemimpi di siang bolong.
"Kamu sakit, Qy?"
Entah apa wajahku mendadak memias karena gugup tadi atau memang dia bisa membaca pikiranku, Iza menanyaiku seakan aku tidak seperti biasanya. Aku yakin sekali dia tidak hanya membaca pikiranku, tetapi dari gelagat ini. Sial.
"Ah ... oh, nggak ... aku baik-baik saja ... kebanyakan begadang."
Senyumku yang dipaksakan mampu menipu gadis itu. Iza mengernyitkan dahinya. Dia membetulkan posisi kacamatanya dan kemudian berlalu melewatiku. Menyusuri gang dan menghilang ke ujung koridor. Arindya menahan gelaknya sebelum dia lepaskan di dalam kelas. Anak-anak kelas yang lain memandangi gadis itu dengan heran.
"Mikirin apa kau tadi dengan alasan itu?"
"Cuman itu yang aku tahu!" seruku dalam bisik kepada Arindya.
Sahabatku itu tertawa yang menyebalkan sambil menarik kursi di barisan paling belakang. Aku mengikuti di sampingnya. Aku juga tidak tahu mengapa aku harus berpura-pura di hadapan Iza. Padahal sudah tiga tahun kami berada di kelas yang sama.
"Jika Iza tahu sesuatu soal perasaanku, dia pasti akan menatapku dengan cara yang lain. Tadi itu dia benar-benar menanyaiku dengan biasa saja."
"Well," tukas Arindya, "Sekarang kau percaya padaku bahwa aku nggak membocorkan apa pun."
***
Terkadang, ada hal-hal di dunia ini yang harus direlakan. Takpeduli apa itu meruntuhkan perasaan yang sedang dibangun atau bahkan menghancurkannya menjadi serpihan. Iza menjadi semesta yang takpernah selesai untukku. Kepingan terakhir takpernah bisa kudapatkan.
Karena untuk mendapatkannya, aku harus mengatakan perasaanku kepada Iza.
Di sinilah yang paling sulit, aku takpunya keberanian apa pun. Seperti sekarang, saat aku memandangi seberang meja di kantin Sapta, saat dia sedang menikmati makan siangnya dengan sahabatku sendiri—membuat segalanya menjadi rumit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Usai
RomanceDi hadapan kehilangan, aku membakar semua kenangan masa silam menjadi abu. Di tengah hening malam yang dingin, abu itu kerlap-kerlip di udara dan musnah bersama waktu. Semua sudah selesai. Aku telah kalah oleh semua ketidakberanian yang meranggas da...