Hujan di kota Bogor selalu berbeda untukku. Aku pernah hidup di beberapa pulau di negara ini, dan hujan di kota ini mengandung sesuatu yang dalam: rindu dan kenangan. Karena hanya di kota ini, aku bisa merasakan degup-degup kepergian yang jatuh bersama hujan.
Ibu dan Ayah selalu mengirimiku pesan teks untuk pulang setiap akhir pekan. Walaupun hanya berjarak tiga jam saja, aku lebih suka berada di kota ini. Setidaknya, aku bisa jauh dari kesumpekan kota Jakarta-penuh asap.
Gerimis sudah berjatuhan satu-satu. Di Bogor, siapa pun akan belajar tipe hujan. Mana yang bisa diterobos atau dilalui dengan santai, mana yang harus ditunggui reda. Hampir empat tahun tinggal di sini cukup untuk memahami itu.
Arindya berjanji menjemputku di depan halte bekas di pintu kecil di samping Bank depan kampus pukul sepuluh pagi. Dia mau menraktirku es doger di Taman Sempur. Kabarnya es gerobak di tempat itu paling enak se-Bogor.
Gadis itu terlambat lima belas menit. Senyumnya lebar, seakan-akan mencari pengampunan atas keterlambatannya. Dia setengah berlari menyeberang jalan sembari memegang payung hitam yang cukup untuk kami berdua.
"Maaf. Tadi ngantri mandi di kos. Tiba-tiba anak kosku pada mandi pagi," katanya terkekeh.
Rasanya ingin kujitak kepalanya. Dia pikir aku termakan alasan konyol itu. Aku menyetop dari pinggir jalan angkot jurusan Laladon, terminal kecil untuk kemudian nanti menyambung dengan angkot lain menuju Taman Sempur. Arindya kalau sedang ada kiriman lebih, selalu rajin menraktirku.
Hal ini terkadang membuatku berpikir, mengapa enggak dari dulu saja kujadikan dia pacar? Lalu, aku menepis pikiran bodoh itu. Arindya jadi pacarku kalau dunia punya kesempatan kedua setelah kiamat. Memikirkan itu membuat senyumku tersungging sedikit dan mengundang curiga Arindya.
"Ngapain ketawa lihat aku? Demen?" katanya di bangku seberangku. Aku tertawa pelan.
"Kenapa? Mau?"
Gadis itu memang ekspresi jijik yang dibuat-buat. "Ogah!"
Dan kali ini kami berdua tertawa. Penumpang lain hanya bisa melihat kami dengan keheranan. Ya, Arindya salah satu gadis tereceh yang pernah kutemui. Apa pun kelakar yang kulontarkan, dia selalu tertawa. Dan sebaliknya juga.
Setelah hampir satu jam, lebih lama dua puluh menit karena macet yang cukup menyebalkan, angkot ini sampai di persimpangan Taman Sempur. Kami turun dan aku memberi supir selembar sepuluh ribuan. Arindya menarikku ke bawah, ke sisi belakang tulisan "Sempur" atau lebih tepatnya ke sebuah taman yang lebih mirip bangku penonton stadion sepakbola menurutku.
Di sanalah, tukang es doger legendaris itu berjualan. Arindya memesan dua porsi untuk kami. Aku duduk menghampar di taman Ekspresi; di atas lapisan yang disemen itu. Taman Ekspresi berada persis di belakang taman Sempur. Arindya datang membawa es doger. Gerimis di daerah ini sudah berhenti. Belakangan Bogor lebih sering dilanda hujan lokal.
"Kalau ke taman ini aku ingat mantan terakhir. Dia yang ngasih tahu aku es doger ini."
Aku tersedak. "Jadi, kamu masih ingat mantan, nih?"
Aku tidak bisa tahan untuk tidak meledek Arindya. Pipinya sedikit memerah. Dia terus menyendokkan es ke mulutnya. Sekali lagi, entah bagaimana caranya, pakaian yang kami kenakan sama dan senada warnanya. Kemeja flanel dan kaus biru ditambah celana jeans dan sepatu berwarna hitam.
Aku curiga takdir lagi iseng. Seperti momen yang sebelumnya. Arindya masih saja asyik mengulum es doger itu. Di belakangnya seorang anak kecil kira lima tahunan bermain bola dengan bapaknya. Meskipun gerimis dan jaket parasut, keduanya terlihat bahagia.
"Berhenti pacaran bukan berarti aku harus lupain dia sepenuhnya!" katanya, "emangnya kau ...."
Dia melirikku dengan menyebalkan, membalas ledekanku tadi. Aku meletakkan gelas es doger itu dan kemudian balas meliriknya. "Yee ... barangkali, kan, biar bisa move on."
"Nggak perlu, Ri. Meskipun kau memadu kasih dengan siapa pun, semua orang yang pernah kaucintai bakal ninggalin residu yang benar-benar nggak akan disadari. Contohnya es doger ini. Saat aku udah suka, apa harus berhenti beli cuman karena putus? Bodoh itu namanya. Justru aku ingin mengajakmu dan nanti siapa pun pacarku buat nyobain juga. Kalau kesukaan nggak boleh dipendam sendiri. Gitu ...."
Arindya menjetikkan jarinya di hadapan wajahku. Ada beberapa pesan tersirat yang ditangkap otakku. Sepertinya gadis ini sengaja berkata seperti itu, karena ada kemungkinan dia akan mengerucutkan pembicaraan ke ...
"Makanya, kau jangan setengah-setengah kalau mau bikin Iza sadar perasaanmu!"
Benar, kan. Aku menghabiskan sisa es doger sembari menelan sepenuhnya perkataan Arindya.
"Ya. Aku tahu. Aku sadar di mana batas kita. Aku dan Iza. Aku dan Ih ...." Tenggorokanku sedikit tercekat, "... san. Karena aku tidak ingin mengorbankan segalanya hanya karena perasaan ini. Melalui puisi sepertinya cukup untuk saat ini."
Arindya memandangi sisi kanannya, pada orang-orang yang duduk di taman Ekspresi. Pada sekelompok orang yang melingkar takjauh dari kami, pada bocah-bocah yang asyik bermain bola plastik dengan orangtuanya. Ah, aku jadi ikut memperhatikan.
"Kelas kita banyak penggosip. Aku pernah jadi korban sekali. Jadi sebaiknya jangan sampai ada berita aneh-aneh."
Kali ini Arindya benar-benar serius. Ya, saat putus dengan pacarnya setahun lalu, dia memang jadi bahan pembicaraan teman-teman yang dijuluki penggosip itu. Bukan karena mereka benci, hanya karena mereka suka membicarakan keburukan orang.
"Aku sedang mencoba mempersiapkan sesuatu yang lain. Mungkin di waktu yang tepat Iza akan tahu itu."
"Apaan, tuh?" tanya Arindya.
"Lihat saja nanti."
"Kalau dilihat lagi lucu, ya. Kau yang dua bulan lalu sempat frustasi gara-gara akhirnya Iza benar-benar memilih Ihsan, dan kau memilih bakar kenangan, dan sekarang malah mau ngumpulin abu kenangan itu lagi. Berarti motivasiku dahsyat, ya?"
"Sial!" kataku tertawa, melemparinya dengan remukan kertas kecil berbentuk bola dari saku kemejaku. "Nggak juga, sih, Rin. Sebagian kecil dari hatiku bilang bahwa selalu ada kesempatan untukku bila aku mau menunjukkannya. Dan, karena, masih ada Ihsan, aku juga tidak bisa berbuat banyak. Tetapi, kau memang benar. Lepaskan atau perjuangkan. Sekarang, aku memilih memperjuangkan."
"Wis, aku dukung, lah, selama kau nggak murung. Dan, ya elah, ngaku sajalah kalau motivasiku itu dahsyat."
"Dahsyat kepalamu."
Arindya mengeluh. Mukanya dirupakan sekecut mungkin. Hal itu hanya mengundang tawaku lebih banyak lagi. Menuju senja, aku ingin menghabiskan waktu di sini bersama Arindya. Menikmati sejuknya taman di musim penghujan. Membakar segala resah di dada. Cuman dia teman yang mengerti. Terutama setelah Ihsan menjauhiku.
Hanya untuk seseorang, aku menjadi serumit ini. Benar kata Arindya, aku tidak boleh membakar semua kenangan begitu saja menjadi abu-sesuatu yang telah kulakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Usai
RomantizmDi hadapan kehilangan, aku membakar semua kenangan masa silam menjadi abu. Di tengah hening malam yang dingin, abu itu kerlap-kerlip di udara dan musnah bersama waktu. Semua sudah selesai. Aku telah kalah oleh semua ketidakberanian yang meranggas da...