#6. Pukul Empat Sore

94 6 2
                                    

Taman Gladiator di Kampus Pertanian selalu menjadi tempat menyenangkan untuk bersantai selepas kuliah. Aku memilih pukul empat sore sebagai waktu yang tepat. Dengan bangku-bangku yang tertutupi kanopi, seperti halte berdinding tebal, aku bisa merasa aman dari panas atau hujan. Cukup berjalan kaki delapan menit dari koridor H—tempat kelasku berada.

Dari sana, aku bisa menyusuri jalan setapak yang sedikit menanjak di bawah lindungan pohon rindang yang seakan mengawal jalan itu. Padahal sebenarnya, sore begini biasanya sudah mulai mendung. Setelah sampai di ujung jalan, aku menyeberang ke kanan dan menuruni tangga menuju bangku taman yang menjadi kesukaanku untuk merenung selama ini.

Satu hal yang unik dan kusukai dari Bogor: hujannya yang tidak mengenal musim. Seperti air mata yang bisa jatuh kapan saja; meriak di pipi yang kering dan menggenang di danau penyesalan. Mereka yang lama tinggal di kota ini seakan tahu kapan saja hujan akan turun. Dan di Kampus Pertanian ini, ia menampung segala kenangan itu.

Menulis selalu menjadi pelampiasan terbaik atas segala hal yang meranggas pikiran dan dadaku. Taman Gladiator merupakan tempat terbaik untuk itu. Sebulan setelah UTS, semuanya masih tampak sama. Nilai yang jatuh, Arindya yang makin rewel, dan Iza; segenggam perasaan yang kini mulai menipis bayangnya di dalam dadaku.

Ada ketakutan sendiri tentang menipisnya bayang itu. Selama ini, dengan menghadirkan bayangnya di dalam dadaku, aku bisa merasakan ketakutan-ketakutan untuk kehilangannya. Ketakutan itu yang membuatku terus berharap bahwa suatu waktu nanti aku bisa bersama dengan gadis itu.

Memangnya salah bila aku terus menunggui seseorang yang hatinya bahkan taktersedia lagi untukku?

Aku pernah menanyakan itu pada Arindya dan dengan lantang dia mengatakan bahwa aku memang salah. Gadis itu selalu kuat pada pendapatnya—tentang benar dan salah.

Namun, ada satu perkataan Arindya yang membekas, "Apakah Iza sudah mengatakan kalau kamu tidak pantas bersamanya?"

Sejujurnya, aku ingin sekali menanyakannya pada Iza. Sudah sejak lama, sejak awal pertemuan kami yang begitu biasa berubah menjadi sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang membuatku kuat, memberi cahaya di antara lorong yang gelap gulita.

Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Pepohonan yang menancap kokoh di sepanjang sisi seberang bangku taman dan di belakangku membuat tempat ini begitu segar dan tenteram. Lalu-lalang kendaraan tak mengusikku sekali pun.

Kegelapan memang tempat yang pernah kudatangi. Setelah kepergian Ayah dan Ibu di saat usiaku sepuluh tahun, kupikir aku tahu segalanya. Tentang kehidupan.

Sepuluh tahun, aku tenggelam dalam kesepianku sendiri. Bertemu dengan beberapa orang yang pernah mencoba membantuku keluar dari tempat gelap itu. Tetapi, mereka gagal. Sebaliknya, mereka pergi. Sampai akhirnya aku bertemu dengannya; Iza. Dia menunjukkanku cara keluar dari lorong sepi.

Hanya saja, tanpa memilikinya, aku takkan pernah benar-benar keluar dari tempat itu.

Melihatnya bersama lelaki lain, seperti sebuah pedang bermata dua. Aku ingin keluar dari kegelapan itu. Tetapi, aku juga tidak mampu menerbitkan segenggam keberanian pun. Keraguan menyergapku. Bodoh? Entahlah. Bisa jadi.

Arindya pernah berada di kegelapan yang sama denganku. Dia mengerti. Tapi dia pun tidak memberiku cahaya. Dia sudah punya cahaya lain yang menuntunnya keluar dari kesepian itu.

Aku? Hanya dengan duduk di taman ini aku bisa menyingkirkan semua beban di kepala. Rasanya seperti dihantam godam. Menunggu pecah saja menjadi keping-keping. Berserakan di jejalanan taman ini yang selalu penuh kesendirian ketika hujan datang.

Mungkin, orang-orang melihat Iza sebagai sosok yang menarik secara fisik. Aku akui itu. Iza tidak pernah membuat dirinya menjadi menarik. Dengan tampil apa adanya, semua lelaki sadar bahwa ada seseorang yang mereka siap curi hatinya.

Tetapi lebih dari itu, di kedalaman matanya, aku sadar, Iza bukan hanya menarik secara fisik. Aku merasa teduh. Aku merasa kegelapan dari tubuhku tersapu perlahan. Hanya dengan melihat di kedalaman matanya. Cahaya yang bisa menuntunku keluar dari kegelapan itu.

Tidak seperti perempuan lain yang pernah singgah di perasaanku. Iza bukan seseorang yang begitu saja ingin kudapatkan. Oh, memang perempuan sebelumnya yang datang ke hidupku mengatakan perasaannya terlebih dahulu, sehingga aku dengan mudah mengiakan.

Ternyata, cara itu salah. Hatiku tidak pernah benar-benar setuju dengan cara itu. Dia hanya memilih tiga orang di dunia ini di sepanjang hidupku, dan dua di antaranya sudah pergi—selamanya. Dan Iza, aku tidak ingin kehilangannya juga.

Terkadang, untuk satu-dua orang yang takpernah bisa manusia miliki, mereka cenderung untuk mengambil langkah menjauh. Tidak denganku. Tidak hanya langkah menjauh; aku memastikan bahwa dia benar-benar bahagia. Meskipun bukan denganku.

Gerimis yang turun menyadarkan kontemplasiku. Aku buru-buru mengenakan jaketku sampai akhirnya langkahku terhenti:

Iza duduk di seberang sana sendirian, memegang payung yang terbuka menutupi tubuhnya.

Apa yang kaulakukan, Iza?

Hujan pun menderas.

UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang